PUISI TAHUN 2000
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak
awal ‘70–an, puisi-puisi Indonesia
dipenuhi oleh puisi kontemporer. Bentuk-bentuk
tipografi yang kadang membingungkan masih sering ditemukan hingga akhir ‘90–an.
Namun, semakin hari semakin tampak adanya perubahan corak puisi-puisi karya
penyair-penyair Indonesia. Perubahan itu, pada akhirnya memunculkan angkatan
baru dalam dunia perpuisian Indonesia.
Salah satu tanda tumbuhnya
angkatan baru, yang oleh banyak pihak disebut angkatan 2000, adalah munculnya
buku Korrie Layun Rampan yang berjudul Angkatan 2000. Puisi-puisi yang kami
bahas dan kami tampilkan dalam makalah ini dipilih karena menurut kami
puisi-puisi ini cukup mewakili corak baru angkatan 2000. Puisi-puisi yang akan
kami bahas antar lain Mengharap Hujan
karya D. Zawawi Imron, Sonet I karya Sapardi Djoko D, Menggali Bahasa karya Isbedy Setiawan, Saatku di Pintu Kubur karya Dianing Widya Yudhistira, dan Napas Gunung karya Acep Zamzam Noor.
Kami menggunakan dua pendekatan dalam menganalisis
puisi-puisi tersebut, yaitu pendekatan analitik dan pendekatan moral filosofis.
Pendekatan analitik kami gunakan untuk mengetahui karakteristik puisi-puisi
angkatan 2000, antara lain karakteristik bahasa, bentuk, dan isi. Sedangkan
pendekatan moral filosofis digunakan untuk mengetahui nilai-nilai moral dalam
puisi yang diapresiasi. Pendekatan ini dipilih karena banyak nilai-nilai
kebaikan dan pemikiran-pemikiran baru dalam puisi-puisi angkatan 2000.
Tujuan
Makalah ini disusun
sebagai salah satu tindak lanjut akan ketertarikan kami pada puisi-puisi
angkatan 2000. Kelompok ingin mencoba menampilkan corak dan warna baru yang
tampak pada puisi-puisi angkatan 2000. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa
masih ada beberapa keterkaitan corak dengan angkatan sebelumnya.
Pengertian Pendekatan dan
Prosedur Kerja Apresiasi
Dalam mengungkapkan
karakteristik puisi kami menggunakan pendekatan analitik. Pendekatan ini
dimaksudkan untuk memahami arsitektur atau bangunan puitik dari sebuah puisi.
Langkah-langkah apresiasi dengan pendekatan ini antara lain menetapkan butir
yang akan dianalisa, menganalisa puisi sesuai dengan masalah dan tata urutan
yang telah ditentukan, menyusun konsep hasil analisa dan menyimpulkannya. Untuk menemukan nilai-nilai kebaikan dalam
puisi, kami menggunakan pendekatan moral filosofis. Pendekatan moral filosofis
mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai moral/ etika, nilai-nilai
pengajaran yang berarti dan bermanfaat bagi pembentukan pribadi dan filsafat
hidup (Soedjijono, ___). Dengan pendekatan ini kami berupaya mendapatkan inti
dari puisi tersebut. Inti tersebut diambil dengan mengupas makna tersirat dalam
puisi.
KARAKTERISTIK PUISI
Karakteristik Bahasa
Diksi
Diksi merupakan salah satu
unsur yang cukup menentukan dalam penulisan puisi. Diksi berarti pemilihan kata
yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan
yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya (Sayuti, 2002). Menurut Suroto
(1989) diksi adalah ketepatan pemilihan dan penggunaan kata. Badrun (1989)
menegaskan bahwa kata-kata dalam puisi hendaknya disusun sedemikian rupa
sehingga dapat menyalurkan pikiran dan perasaan penulis dengan baik. Oleh
karena itu, diksi sangat berperan penting dalam puisi.
Puisi-puisi angkatan 2000 banyak menggunakan
kata-kata maupun frasa yang bermakna konotatif. Kata-kata tersebut sering bermakna ganda dan
menimbulkan beragam tanya, contohnya antara lain:
...
Ah, bukan. Pakaian yang
panas bukan kiri. Tidak ada sungai
dengan jembatan kecil
tempat kau menunggu sejarah di sana
...
membeli sofa. Ah, ada
paris, amsterdam, juga singapur di
surabaya. Ah apakah pintu
rumahmu tak bisa lagi dikunci?
...
(1 Meter Jalan ke Kiri, Afrizal Malna)
...
Di Desa Tembok, semesta
tua
Kau yakin benar tentang
pagi yang terbit
...
(Seorang Penyair
di Desa Tembok, Made Adnyana Ole)
Namun, meski dipenuhi oleh frasa bermakna
konotatif kita masih dapat menemui frasa atau kata lugas yang bersifat konkret.
Frasa itu antara
lain:
...
Ia selalu siap
dengan gunting dan sisir
Di bawah pohon
yang demikian pesing, anyir
...
(Tukang
Cukur, Mashuri).
Kata-kata yang dipilih dalam
puisi-puisi angkatan 2000 banyak menyindir keadaan sekitar baik sosial, budaya,
lingkungan, globalisasi, dan lain-lain. Kata-kata sederhana yang digunakan justru menambah kedalaman makna
puisi-puisi tersebut. Pengandaian-pengandaian yang tampak menampilkan sesuatu
yang baru dan menambah khazanah kiasan bahasa Indonesia. Contohnya pada puisi
karya Afrizal Malna, 1 Meter Jalan ke Kiri, terdapat farsa /Ah, apakah pintu rumahmu tak bisa lagi dikunci?/ yang tidak bermakna
lugas pintu rumah, tapi dapat pula menimbulkan banyak makna antara lain terlalu
terbukanya negara ini menerima dan terseret dalam arus globalisasi.
Imajeri
Menurut Priminger (dalam
Badrun, 1989) imajeri adalah produksi imaji dalam pikiran dan bahasa. Sedangkan
imaji adalah reproduksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh
persepsi yang bersifat pisik. Waluyo (2003) menerangkan bahwa pengimajian
adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret
apa yang dinyatakan oleh penyair.
Jadi, imaji berhubungan
dengan indra, sedangkan imajeri adalah gambaran ulang pikiran dalam bahasa.
Dengan imaji, pembaca dapat seolah-olah mendengar, melihat, dan merasakan inti
puisi dari penyair dan gambaran.
Imaji visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa
yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh pembaca
(Waluyo, 2003). Hal itu dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini:
...
lantas kau
bentangkan peta bencana
kota-kota
mati orang-orang mulai bertukar
barang
...
dan
kapal kita terancam tenggelam
beberapa
di antara kita harus dibuang
...
(Jangan panggil siapa-siapa,
Wowok Hesti Prabowo)
...
Tetapi
bukankah sesaat cuaca begitu meneduh
dan langit
yang jernih, dengan awan dan bening cahaya,
atau
matahari yang lindap tapi menajamkan warna
adalah juga
lanskap yang dulu ...
(Dan Sebelum
Lepas Senja, Wendoko).
Pada contoh-contoh di atas terdapat gambaran-gambaran yang jelas tentang
apa yang ingin disajikan oleh aku liris. Kata-kata sederhana mengungkapkan
bayangan yang seolah dapat dilihat oleh pembaca.
Imaji auditif adalah
penciptaan ungkapan oleh penyair sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan
suara seperti yang digambarkan oleh penyair (Waluyo, 2003). Imaji ini berpusat
pada pendengaran. Dalam puisi-puisi angkatan 2000 dapat ditemui beberapa contoh
imaji auditif antara lain:
...
Di menara
masjid raya, sangkakala menggelegar.
Sekujur
kota pun gemetar. Sepucat pasien pada brankar.
...
Ia
memejamkan mata dan mendengar erang bengawan
...
(Madiun, Arif
Bagus Prasetyo)
frasa tersebut merupakan salah satu contoh tampilan imaji auditif dalam
puisi-puisi angkatan 2000. Imaji ini juga sering digunakan untuk menambahkan
suasana tertentu yang ingin dicapai oleh pengarang.
Imaji taktil
(perasaan) adalah penciptaaan ungkapan oleh penyair yang mampu mempengaruhi
perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya (Waluyo, 2003). Dalam puisi-puisi yang kami analisis
banyak ditemui imaji ini, antara lain:
Dan bukankah angin
yang lembut mengusap rumput,
Pohonan lebat,
dengan pokok dan cabang yang menunas
Atau sesekali cericit
burung membangun sarang di dahan
Adalah juga lanskap yang
dulu ...
...
(Dan Sebelum
Lepas Senja, Wendoko)
Perasaan aku liris dapat terungkap melalui pemilihan diksi dalam puisi.
Pengimajian taktil pengarang dapat juga ditemui dalam puisi-puisi angkatan 2000
pada umumnya.
Bahasa Kias
Simile adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan,
akan tetapi sengaja dianggap sama (Suroto, 1989). Sedangkan menurut Budianta
(2003) simile membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain namun masih
memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Bentuk perbandingan simile umumnya
bersifat tersurat. Hal ini ditegaskan oleh Sayuti (2002), dalam simile bentuk
perbandingannya bersifat eksplisit yang ditandai oleh pemakaian unsur
konstruksional semacam kata seperti,
sebagai, serupa, bagai, laksana, bagaikan, dan lain-lain. Contoh-contoh simile yang ditemukan dalam
puisi-puisi angkatan 2000 antara lain:
...
kunang-kunang. Kuning
seperti daun lerai dari
ranting.
...
(Tiga Catatan Terakhir, Aan Mansyur)
...
Merah seperti tirai
merah,
memar seperti payudaramu,
gundah seperti telur
Paskah,
sabar seperti langit
biru,
...
(Apel, Nirwan Dewanto)
...
di malam terang,
terkadang, ibu merebus kenangan
seperti nenek merebus
ubi dengan kuali:
...
(Dapur Ibu,
Oyos Saroso HN)
... menjadi batu-batu pemujaan,
batu-batu yang keramat
seperti bintang yang berakar
di angkasa legam!
...
(Nightmare,
Sunlie Thomas alexander)
... menjadi batu-batu pemujaan,
batu-batu yang keramat
seperti bintang yang berakar
di angkasa legam!
...
(Nightmare,
Sunlie Thomas alexander)
... menjadi batu-batu pemujaan,
batu-batu yang keramat
seperti bintang yang berakar
di angkasa legam!
...
(Nightmare,
Sunlie Thomas alexander).
Simile merupakan salah satu bahasa kias yang paling banyak digunakan dalam
puisi-puisi angkatan 2000. Hal-hal yang diperbandingkan umumnya menggunakan
kata-kata konotatif.
Personifikasi adalah
jenis gaya bahasa perbandingan yang melekatkan sifat-sifat suatu benda tak
bernyawa pada manusia atau insane (Suroto, 1989:116). Hal ini ditegaskan oleh
Budianta ( 2003:41) bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang
menampakkan benda-benda mati seolah-olah bernyawa dan melakukan sesuatu atau
menjadi manusiawi. Contoh personifikasi dalam puisi-puisi angkatan 2000:
...
Apakah kau telah mendaki terlalu jauh
ke julang lebam,
punggung hitam memetik batu?
...
(Seorang Penyair di Desa Tembok, Made Adnyana Ode)
...
Bila musim merentang
lengan dan langit terpana parasmu yang
sentosa,
...
(Lembah Lantana, Sitok Srengenge)
...
Siapa pun yang menemukan
kata-kataku
Berlari di atas kertas
basah oleh embun
...
(Surat yang Tersesat, Frans Nadjira)
...
Tumpukan debu, dan tumpukan
debu yang heran melihat jam
sudah memenuhi lehermu.
...
(1 Meter Jalan ke Kiri, Afrizal Malna)
sebenarnya hari telah
letih
ketika ia dijemput pergi
.....
(Fragmen
Pertempuran: 1.Menjelang Berangkat, Iswadi Pratama).
Personifikasi juga sering ditemui dalam puisi-puisi angkatan 2000. Yang
baru dalam penggunaan personifikasi pada puisi angkatan 2000 adalah pemilihan
hal-hal yang di-andaikan. Pada puisi lama, yang banyak ditemui contohnya frasa
”nyiur melambai”, ”pena menari di atas kertas”, dan lain sebagainya. Namun,
dalam puisi angkatan 2000 banyak pengandaian baru yang memperkaya khasanah
bahasa Indonesia.
Metafora pada dasarnya adalah sebuah kata atau ungkapan yang
maknanya bersifat kiasan, dan bukan harfiah karena ia berfungsi menjelaskan
suatu konsep. Dengan demikian, konsep tersebut menjadi lebih kuat (Budianta,
2003: 40), berbeda dengan simile, metafora membandingkan dua hal secara
implisit. Contoh-contoh metafora:
...
Lidah fajar menjilam
pelupukmu terpejam,
Ekor mimpi tersangkut
di rumbing rambut
...
(Lembah Lantana, Sitok Srengenge)
...
akal dari ketuaan semesta
akan memberi denyut
bagi jiwa yang belia, di antara keterjagaan
...
(Seorang Penyair di Desa Tembok, Made Adnyana Ode)
...
kadang aku mengira bunga
padi adalah alang-alang
kerap tak sengaja aku
cabut alang-alang yang ternyata bunga padi
...
(Bunga Padi dan
Alang-alang, Lupita Lukman).
Meski banyak digunakan , metafora kadang sulit ditemukan karena gaya bahasa
ini unik dan impilisit.
Sarana Retorika
Hiperbola adalah
jenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan baik jumlah,
ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekankan, memperhebat,
meningkatkan kesan dan pengaruhnya (Suroto, 1989: 199). Contoh hiperbola dalam
puisi-puisi angkatan 2000:
...
aaarrrggghhh, semut-semut
mahagaib
menggerogoti
dinding-dinding kanal kakiku
...
(Seseorang akan
Memanggilku dari Kobaran Api, Zen Hae)
...
Di menara
masjid raya, sangkakala menggelegar.
Sekujur
kota pun gemetar. Sepucat pasien pada brankar.
...
(Madiun, Arif Bagus Prasetyo).
Penggunaan hiperbola sering menjadikan puisi lebih kuat, baik dalam suasana,
nada, makna, dan dapat pula semakin memperjelas pikiran-pikiran aku liris.
Ironi adalah sejenis
majas yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang
sebenarnya (Suroto, 1989: 120). Oleh karena itu, kadang majas ini dikategorikan
sebagai majas sindiran. Majas ironi dalam puisi yang dianalisis antara lain:
...
Bapak, untuk apa kau
tanam pepohon di sana
Kalau hanya membuat
rimbun sengketa?
Biarlah kutebang pohon
laranganmu
Agar kuganti singkong
atau mengkudu
(Kidung Pohon,
Jimmy Maruli Alfian)
Sarkasme adalah
sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran yang pedas dan kasar
(Suroto, 1989). Kata-kata
kasar itu kadang tidak enak didengar dan tidak pantas untuk diucapkan. Namun,
penggunaan unsur sarkasme dapat memperkuat situasi atau konflik dalam puisi.
Dalam puisi angkatan 2000 banyak ditemukan majas sarkasme, antara lain:
...
Yang harus aku babat
adalah rambutmu, bukan kuping
Atau lehermu yang tak
terawat”
...
(Tukang Cukur, Mashuri)
...
dan bilang. ”Kota ini
telah mati. Kau tak perlu lagi berkarib
dengan hotel-hotel sialan! Mulailah hidup dengan sarung,
matahari, dan keringat
anyir. Mulailah hidup dengan jalan
becek, teroris badoh, dan
penodong kurus di Tugu Muda.”
...
(Kota Senja,
Triyanto Triwikromo).
Pengarang menampilkan pemberontakan
secara total, salah satunya adalah denagn menggunakan sarkasme sebagai sarana
retorika.
Paradoks adalah gaya
bahasa yang mengandung pertentangan antara perasaan dengan kenyataan. Contoh
paradoks dari puisi angkatan 2000 adalah:
sesekali, singgahlah ke ruang sunyi di antara riuh
rindu sajakku,
sajak
yang menyertaiku dua windu sejak terakhir kali ku tatap matamu,
mata yang dihuni gadis pemberani perentang tali,
...
(Ruang Singgah:
Suara Bhisma,Sitok Srengenge)
...
dentang logam, kau dengar,
senyap lengking begitu tajam
...
(Akar
Berpilin,1, Gus TF).
Karakteristik Bentuk
Perulangan Bunyi
Peran utama bunyi dalam
puisi adalah agar puisi itu merdu jika didengarkan sebab pada hakekatnya puisi
adalah untuk didengarkan. Bunyi di dalam puisi berfungsi sebagai pendukung atau
pembawa arti simbolik yang ada hubungannya dengan rasa. Perulangan bunyi banyak macamnya, antara lain
persajakan (rima), aliterasi dan asonansi, versifikasi, dll.
Persajakan adalah kesamaan atau kemiripan bunyi di dalam dua kata
atau lebih, baik diakhir maupun dalam larik-larik puisi. Menurut Slamet Muljana
rima atau sajak adalah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan suara yang
diusahakan dan dialami dengan kesadaran (dalam Badrun, 1989). Berikut contoh
puisi yang mengandung persajakan (rima):
...
Tubuhku pohon ranggas
yang bertunas kembali,
sajak cinta yang ditulis
ulang
oleh tangan tersembunyi
...
(Sehabis Sakit,
Joko Pinurbo)
Dalam puisi di atas terdapat kemiripan bunyi
diakhir larik, yaitu persamaan bunyi a i a i sehingga bait dari puisi ini
berima a b a b. Adapun contoh yang lain, tetapi masih dalam satu puisi:
...
Bilur-bilur tatu telah
membiru
Pada punggung yang
dicambuki waktu
Dan tubuhku yang aus
terus menari
Sampai kuyub ia
sebelum mandi
...
(Sehabis
Mandi, Joko Pinurbo).
Pada puisi di atas persamaan bunyi terdapat di larik-larik terakhir di
setiap lariknya. Kemiripan
yang terjadi antara larik pertama dengan larik kedua dan larik ketiga dengan
larik keempat. Persamaan itu adalah u u i i sehingga pada bait ini berima a a b b.
Aliterasi dan asonansi,
aliterasi adalah persamaan bunyi konsonan yang sama pada awal kata atau
perulangan konsonan yang berjarak dekat, sedangkan yang berupa vokal disebut asonansi. Berikut adalah contoh puisi
yang terdapat aliterasi dan asonansi:
...
Di lekuk liku lukamu, di
mana dendam terbenam,
keteduhan membalur bilur waktu biru lebam,
sepasang cuping hidung saling singgung
Bagai rerajut rumput dan lumut, hidup dan maut
bersipagut,
gairah mendesing dari reruntuk puing, ingatan lekang
...
(Lembah Lantana, Sitok Srengenge)
Pada puisi
tersebut di atas terdapat persamaan bunyi konsonan dalam satu larik. Larik
pertama, terdapat persamaan bunyi konsonan /l/, /k/, /m/, /n/, dan /d/,
terdapat pula persamaan vokal /u/ dan /a/. Larik kedua, konsonan yang sama /b/,
/m/ dan /r/, serta vokal /u/. Larik
ketiga, persamaan konsonannya pada huruf /s/, /ng/, dan /p/, sedangkan
perulangan vokalnya adalah /a/, /i/, /u/. Larik keempat, persamaan konsonan pada huruf
/r/, /t/, serta penggunaan vokal /u/ dan /i/ yang diulang-ulang. Larik kelima
merupakan percampuran perulangan tak tentu, tetapi api masih saling berkait
antara kata satu dengan kata yang lain.
Versifikasi
Irama (ritme) berasal dari bahasa Yunani rheo
yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak
putus-putus. Irama berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan
kalimat. Irama dapat juga berarti pergantian keras-lembut, tinggi-rendah, atau
panjang-pendek kata secara berulang dengan tujuan menciptakan gelombang yang memperindah
puisi (Waluyo, 2003: 12). Dalam puisi yang kami analisis terdapat beberapa contoh ritma antara
lain:
...
ketika
ingin aku katakan pada telingamu
aku tak lagi memiliki
suara,
ketika ingin aku katakan
pada matamu
aku tak lagi memiliki
cahaya
...
(Tiga Catatan Tarakhir, Aan Mansyur)
...
Lalu lenguhmu
selembut lembu
Tanah kuyup,
cahaya redup
...
(Lembah Lantana,
Sitok Srengenge).
Pada contoh pertama yang tampak jelas adalah ritme penjedaan, kata yang
dipilih mirip antara larik pertama dan ketiga. Begitu pula pada larik kedua dan ke-empat.
Ritme pada puisi dapat menimbulkan unsur penegasan. Penyair pada puisi pertama
seolah menegaskan ketidak-mampuan aku liris dalam mengungkapkan perasaannya.
Contoh puisi kedua hampir mirip, tapi yang menonjol dalam penggalan puisi
tersebut adalah bentukan bait yang pada akhirnya mempengaruhi pembacaan puisi
dan secara tidak langsung juga membentuk ritme puisi. Dalam puisi Mukhid yang
berjudul “Tulislah Namaku Dengan Abu”, baris-baris puisi diikat dengan
pengulangan kata tertentu sehingga menciptakan gelombang yang teratur.
....
Tulislah namaku
dengan abu
Sebab kenangan
hanyalah cacatan yang berdebu
…
Tulislah namaku
dengan abu
Untuk sekedar
memberi kemungkinan sang waktu
...
Tulislah namaku dengan
abu
Berdoalah agar dari
kematianku
...
Tulislah namaku dengan
abu
Karena rasa berdaya tidak
boleh mati begitu saja
...
Tulislah namaku dengan
abu
sebab kita tidak pernah
berencana bertemu
tulislah namaku dengan
abu
biarkan angin membawa
pergi kemanapun dia mau
(Tulislah
Namaku Dengan Abu, Mukhid)
Baris atau larik puisi tidak membangun periodisitet atau yang disebut paragraf, namun
membentuk bait. Baris tidak
bermula dari tepi kiri dan berakhir ditepi kanan. Tepi kiri maupun tepi kanan
belum tentu terpenuhi tulisan. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi diri
(Waluyo, 2003: 97).
Pengaturan baris dalam
puisi sangat berpengaruh terhadap pemaknaan menentukan pemaknaan puisi, karena
menentukan kesatuan makna dan juga berfungsi untuk memunculkan ketaksaan makna
(ambiguitas). Larik dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan
diakhiri dengan titik (.). Pengaturan
dalam bait-bait terlihat jelas pada anggkatan 70-an, namun sudah berkurang pada
puisi modern. Namun ada
beberapa contoh permainan baris pada puisi-puisi angkatan 2000 antara lain:
...
”Ya, kota semacam itulah
yang kuimpikan. Kota cahaya
sulapan. Kota cinta,
tanpa tipuan. Apakah Tuan
punya cinta dan
cahaya yang
meneduhkan? Saya tidak punnya. Saya hanya
punya
kenangan. Saya hanya
punya impian-impian Sampean. Saya
hanya punya keinginan.
Sampanlah yang mewujudkan,” kata
...
(Kota Senja, Triyanto Triwikromo)
penulisan-penulisan seperti ini sangat berpengaruh pada pemaknaan puisi.
Meskipun puisi-puisi angkatan 2000 banyak yang berpola prosais tapi bentuk
penulisannya masih dapat dibedakan dengan prosa sebenarnya. Hal ini disebabkan
bukan hanya karena bentuk tapi juga akibat pemilihan diksi.
Kuda-kuda
yang berlesatan di atas laut
Ladamnya menekar-nekar percik gelombang
Semburat
bunga-bunga kunyit api
Menyembur fajar-ringkik-merah-merekah
Yang berpantulan di sampan-sampan kecil
Sorotkan
bayangan tubuh-sebgar-purbani
...
(Gairah Penyair, H.U Mardi Luhung)
Pada salah satu puisi karya H.U Mardi Luhung di atas seakan mengingatkan
kita pada puisi Armin Pane yang berjudul ”Hamba Buruh”
...
Aku menimbang
nimbang-mungkin
Kita berdua menjadi satu;
Gaji dihiting-hitung,
Cukup tidak untuk berdua.
...
(Hamba Buruh, Armin Pane)
diantara larik yang menjorok ke dalam bertujuan memberi jawaban kepada
larik sebelumnya dan membentuk hubungan kausal seperti kisah dua orang sedang
melakukan tanya jawab. Namun, pada contoh puisi angkatan 2000 di atas,
pengaturan baris tersebut bukan dimaksudkan untuk memberikan simbol bahwa yang
menjorok atau yang tidak adalah semacam
teta-teki atau jawaban atas pertanyaan, namun lebih kepada bukti tetap adanya
pengaruh penciptaan puisi baru dengan puisi angkatan sebelumnya. Pengaturan
bentuk baris sudah berkurang, walau masih bisa kita jumpai beberapa penyair
yang menggunakan gaya tipografi seperti puisi-puisi kontemporer yang
menonjolkan bentuk, namun hal itu sangat sedikit. Dari kumpulan puisi angkatan
2000 yang ditemukan, memang sangat sedikit permainan bentuk baris, ada tetapi
tidak dominan. Puisi angkatan 2000 masih berkembang, dan sejauh ini bentuk yang
paling dominan adalah prosais.
Bentuk puisi pada
angkatan 2000 lebih mengarah pada bentuk bebas. Menurut Budianta (2003) puisi bebas/konkret
merupakan salah satu ciri puisi modern yang menekankan pada efisiensi kata dan
menghindari abstraksi. Pada puisi bebas, bunyi dan suasana masih dominan
sedangkan rima kadang tidak lagi menjadi prasyarat.
Puisi-puisi angkatan 2000 umumnya merupakan puisi
panjang yang bernuansa prosais. Puisi-puisi yang dianalisis dalam makalah ini
juga termasuk puisi panjang. Lihat saja puisi 1 Meter Jalan ke Kiri (Afrizal Malna) yang terdiri dari 5 bait dan
29 baris, Seorang Penyair di Desa Tembok
(Made Adnyana Ole) yang terdiri dari 8 bait dan 34 baris, Apel (Nirwan Dewanto) yang terdiri dari 6 bait dan 15 baris, serta
puisi-puisi lain yang juga mempunyai pola puisi panjang. Meskipun terdapat
puisi pendek tapi keberadaan puisi panjang lebih mendominasi.
Bentuk tipografi pada angkatan 2000 tidak lagi
se-aneh puisi kontemporer pada tahun ’70-an.
Puisi-puisi angkatan 2000 umumnya ditulis membujur dari pias kiri menuju pias
kanan kertas. Bersama-sama dengan permainan bunyi dan berbagai gaya bahasa yang
ada, bentuk turut membangun makna atau suasana tertentu.
Karakteristik Isi
Sayuti (2002) menjelaskan bahwa tugas utama
pembaca adalah “merebut makna” dari puisi yang dibacanya karena salah satu
unsur puisi adalah kesatuan semantik. Dalam proses merebut makna itulah upaya
pemahaman dalam kegiatan apresiasi akan berujung pada pencapaian.
Tema merupakan ide dasar suatu puisi. Menurut Suroso
(1989), tema adalah pokok persoalan atau pokok pikiran yang mendasari
terbentuknya puisi. Puisi-puisi angkatan 2000 memiliki tema yang sangat
beragam. Tema ketuhanan tampak pada puisi karya Dianing W. “Saatku di Pintu Kubur”.
Hal itu tertera pada bait-bait terakhir puisinya. Tema protes sosial juga
banyak mewarnai puisi-puisi angkatan 2000. tidak dapat dipungkiri bahwa situasi
lingkungan, negara, dan dunia saat ini merupakan isu hangat yang dapat menjadi
inspirasi bagi pengarang. Namun,
dalam angkatan 2000 ini belum ditemukan satu tema yang menonjol.
Waluyo (2003) menjelaskan bahwa nada dan perasaan
puisi akan dapat jelas dirasakan saat dilakukan pembacaan puisi (poetry reading). Nada puisi pada angkatan 2000 sangat
beragam, tapi nada itu sangat bergantung
pada pembacaannya. Umumnya
puisi-puisi angkatan 2000 bernada keras, lugas, dan apa adanya. Suasananya pun
juga cenderung syahdu, sedih, dan terluka. Namun tidak semua puisi bernada dan
suasana seperti itu. Kita
masih dapat menemukan nada dan suasana yang romantis kadang jenaka dalam
puisi-puisi angkatan 2000.
Amanat dan pesan dalam puisi adalah sesuatu yang
ingin disampaikan oleh penyair kepada pembaca lewat puisinya. Amanat dalam
puisi angkatan 2000 biasanya masih tersirat. Perlu pemahaman lebih untuk
mendapatkan amanat dan pesan itu. Secara umum amanat dari puisi-puisi ini
adalah mengajak pembaca agar menyadari perubahan besar dalam kehidupan akibat
pengaruh dari dalam dan dari luar, dan agar pembaca lebih mendekatkan diri pada
Tuhan.
UNTAIAN MAKNA PUISI-PUISI
ANGKATAN 2000
Puisi ” Menggali Bahasa” Karya Isbedy Stiawan
Menggali Bahasa
Menggali
bahasa purba,tapi yang
kudengar
kata konotasi, imaji auditif
cuma
kawat-kawat, berjuta
antena parabola
kata konotasi, imaji visual,
hiperbola
tertanam di benakku. Aku bercakap-cakap dengan
paris,
kata konotasi, kata konkret,
australia,
bon, berlin, amerika
kata konkret
telah
kusaksikan ketelanjangan
dunia. Perempuan-perempuan yang
kata konotasi, imaji visual,
depersonifikasi
tersenyum di
depan kamera
kata konkret, imaji visual
menawarkan peradaban tubuh!
kata konotasi, sarkasme
Aku tak paham.
Ingin kubahasakan dengan apalagi
kata konkret, imaji taktil
segala
peradaban? Telah kukirim berbagai
kata konkret
bahasa ke
login-loginmu, tapi
parabola
kata konkret
menggantinya
dengan perempuan dan darah
kata konotasi
hingga anak-anakku
kini bisa tersenyum
kata konkret, imaji visual,
paradoks
saat
menyaksikan sebilah clurit di leher
kata konkret, imaji visual,
paradoks
perempuan
sambil memerkosanya
kata konkret, sarkasme
Peradaban
macam apa ini? Parabola
terus saja
kata konkret
dipancangkan
di benakku: akupun membaca
london,
kata konotasi, imaji taktil
denhag,
bosnia, rusia
kata konkret
lalu di tempat
mana kerinduanku untuk
kata konkret
bersujud dan
bertasbih dilabuhkan?
kata konkret
Aku telah disesaki
percakapan. Berjuta parabola
kata konotasi, imaji taktil,
hiperbola
yang digantungkan
dibenakku semakin menyileti
kata konotasi, imaji taktil,
hiperbola
lidahku. Aku
berkata-kata dengan bahasa London,
kata konkret
paris, amerika,
australia, ataupun rusia
kata konkret
Aku semakin jauh
meninggalkan bahasa ibu
kata konotasi
kelahiran yang ditebus
dengan darah dan cinta
kata konotasi
Isbedy
Stiawan
Dalam puisi di atas penyair banyak memakai kata
konkret. Meskipun begitu, untuk pemaknaan terhadap puisi ini diperlukan
pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan subjek yang dituju oleh sang
penyair.
Terdapat perulangan bunyi ”aku” yang pada awal
larik yang dimaksudkan untuk menggiring dan memfokuskan pembaca pada apa yang
diinginkan penyair dalam puisi ini. Perulangan ini sangat mempengaruhi makna
dari puisi bahwa dia telah melupakan dirinya sendiri sebagai bangsa Indonesia
yang sangat pandai berbicara dengan bahasa asing dan perlahan meninggalkan
bahasanya sendiri.
Puisi karya Isbedy Stiawan ini secara garis besar
berisi tentang protes sosial yang terjadi di Indonesia pad saat ini. Dampak
globalisasi begitu kuat mempengaruhi budaya dan bahasa Indonesia.
Pada bait pertama, terdapat kata “parabola”.
Penyair menggunakan kata tersebut yang melambangkan keadaan pada era
globalisasi bahwa informasi begitu mudahnya kita terima seolah tiada lagi
batas-batas negara. Penyair menggambarkan betapa para perempuan sudah tidak
malu lagi mempertontonkan auratnya di depan khalayak umum.
Pada bait kedua, penyair menceritakan bahwa
kejahatan begitu merajalela. Kita begitu sering mendengar beita pemerkosaan
baik dari televisi maupun radio seolah itu menjadi santapan kita sehari-hari
sehingga menjadi hal yang biasa.
Di samping protes sosial, penyair menyatakan
kerinduannya untuk beribadah kepada Tuhan. Ini terdapat pada bait ketiga. Di
tenga hiruk-pikuk kehidupan di era globalisasi ini sangat memungkinkan
seseorang untuk Tuhannya, tetapi tak jarang keadaan seperti ini membuat kita
bosan. Maka dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhanlah kita
mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya.
Pada bait keempat, penyar menggambarkan bahwa
bangsa Indonesia perlahan telah meninggalkan bahasanya sendiri. Penyair
menceritakan bahwa ia begitu lancer berbicara dengan berbagai macam bahasa di
dunia, tetapi bahasanya sendiri mulai ditinggalkannya. Hal ini dipertegas pada
bait kelima. Yang dimaksud dengan “bahasa ibu” pada bait kelima adalah bahasa
kita, bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia tidak diperoleh bangsa Indonesia
begitu saja. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang diperjuangkan dengan
pengorbanan dan cinta terhadap tanah air . Sehingga sangat ironis jika kita
tidak bangga terhadap bahasa Indonesia dan bahkan lebih bangga jika menggunakan
bahasa lain.
Dengan demikian, terdapat pesan tersirat dari
karya Isbedy Setiawan ini bahwa budaya dan bahasa Indonesia merupakan identitas
bangsa kita yang harus kita pertahankan. Terbunuhnya suatu bangsa dari muka
bumi diawali dengan terbunuhnya bahasa. Maka sebagai bangsa Indonesia kita
harus bangga terhadap bangsa kita sendiri.
Puisi ”Sonet 1” karya Sapardi Djoko Damono
Sonet 1
:Andy, Pengamen
“Aku menyanyi
untukmu,” katamu. Aku
diam,
imaji
auditif imaji visual
mendengarkan gerimis yang berderai lalu
imaji auditif imaji taktil
bagai
benang terurai dari langit yang dalam
simile
Adakah kau
saksikan aku mendengarkanmu?
imaji auditif imaji taktil
Aku diam,
mendengar dan tidak mendengar
Imaji visual
suaramu. “Biar
aku menyanyi, hanya untukmu,”
imaji auditif
katamu. Aku
diam, mungkin gerimis bergetar
imaji visual personifikasi
bagai tirai
warna-warni, hanya
untukku.
simile
Apakah kau yakin aku
bisa menyaksikan
imaji taktil
Mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,
personifikasi
Apakah yang kau
inginkan dariku yang bertahan
imaji visual
Agar tak
sebutir pun dari mata menetes?
personifikasi
“Aku menyanyi
untukmu, selalu”, katamu
imaji
auditif
Gila,
kautusukkan juga senyap senar itu!
imaji
taktil imaji visual, metafora
(Sapardi Djoko Damono)
Puisi buah karya
Sapardi Djoko Damono banyak menggunakan
kata-kata maupun frasa yang bermakna konkret. Frasa itu antara lain: /“Aku
menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam, mendengarkan gerimis yang berderai lalu/ /Adakah
kau saksikan aku mendengarkanmu/ /Aku diam,
mendengar dan tidak mendengar/ /suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/. Selain itu, terdapat frasa
konotatif. Frasa itu antara
lain: /mendengarkan gerimis yang berderai lalu/ /Aku
diam, mungkin gerimis bergetar/.
Dalam puisi Sapardi Joko Damono terdapat auditif visual yaitu
kata-kata yang dapat dilihat oleh pembaca. Imajeri itu antara lain: /Aku
diam, mendengar dan tidak mendengar/. Selain itu, ditemukan imaji auditif
yaitu penciptaan ungkapan oleh penyair sehingga pembaca seolah-olah
mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair. Frasa auditif tampak
dalam kutipan berikut: /“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam, Mendengarkan gerimis yang
berderai lalu/. Imaji
taktil turut menghiasi puisi Sapardi Joko Damono, tampak dalam kutipan berikut:
/Mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis/ /Apakah kauinginkan dariku yang bertahan/
/Agar tak sebutir
pun dari mata menitis/.
Bahasa kias yang ada dalam puisi Sapardi Joko
Damono berupa simile, personifikasi, metafora. Bahasa kias berupa simile tampak
dalam kutipan berikut: /Mendengarkan gerimis yang
berderai lalu/ /Bagai
benang terurai dari langit yang dalam/ /Adakah kau saksikan aku
mendengarkanmu?/ /katamu. Aku diam, mungkin gerimis
bergetar/ /Bagai
tirai warna-warni, hanya untukku./. Bahasa kias berupa personifikasi tampak dalam
kutipan berikut: /Aku diam, mungkin gerimis bergetar/ /Mahasunyi
yang meniti butir-butir gerimis/. Bahasa kias berupa metafora tampak dalam kutipan
berikut: /“Aku
menyanyi untukmu, selalu”, katamu/ /Gila, kau tusukkan juga senyap senar itu!/.
Perulangan bunyi yang tampak dalam puisi
Sapardi Joko Damono berupa persajakan dan versifikasi. Berikut kutipan persajakan: /Aku
diam, mendengar dan tidak mendengar/ /Suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/ / Katamu. Aku diam, mungkin gerimis
bergetar / /Bagai
tirai warna-warni, hanya untukku/.
Pada penggalan puisi di atas, terjadi persamaan
bunyi diakhir larik yaitu ar u ar u. Hal ini berarti puisi tersebut berima atau
bersajak a b a b. Rima tidak hanya terdapat pada akhir larik(sering disebut
rima akhir), tetapi juga terdapat di larik-larik puisi. Contoh lain misalnya:/Apakah
kau yakin aku bisa menyaksikan/ /mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,/ /apakah yang kau
inginkan dariku yang bertahan/ /agar tak sebutir pun dari mata menitis?/.
Pada contoh 1
terdapat persamaan bunyi di akhir larik
yaitu an is an is. Hal ini sebagai penanda bahwa pada bait ini puisi berima a b
a b karena adanya perulangan bunyi yang sama, yaitu baris 1 sama dengan baris 3
dan baris 2 sama dengan baris 4.
Versifikasi dalam puisi Sapardi Joko Damono
berupa baris. Terdapat permainan
baris pada puisi-puisi yang berjudul Sonet 1 yaitu: /aku diam,
mendengandan tidak mendengar/ /suaramu. ”Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/ /katamu. Aku
diam, mungkin gerimis bergetar/.
Puisi yang berjudul “Sonet
1” ini secara umum menceritakan ungkapan hati seorang pengamen yang ingin
menunjukkan pada masyarakat tentang keberadaannya, namun di tengah kondisi
masyarakat yang individual, keberadaan pengamen ini tidak terlalu diperhatikan,
maka pengamen mulai bersuara supaya kata hatinya didengar oleh lingkungan
sekitar. Keberadaan pengamen ditampakkan penyair pada perulangan kata /Aku/
yang ada dalam tiap baris puisi Sapardi. Selanjutnya, puisi ini juga
menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang tidak peduli pada keberadaan
masyarakat kecil. Tampak pada
kutipan /“Aku diam, mendengarkan gerimis yang berderai lalu”/. Pada
puisi ini juga menggambarkan adanya perbedaan status atau kondisi dalam suatu masyarakat.
Keadaan ini benar-benar peristiwa nyata yang ada dalam kehidupan masyarakat
saat ini.Hal ini dapat kita lihat pada bait ketiga dilukiskan peristiwa itu
dalam larik /bagai benang terurai dari langit yang paling dalam/.
Baris kedua pada puisi Sonet 1 isinya tidak hampir
beda dengan puisi baris kesatu, yaitu lebih mempertegas lagi eksistensi
pengamen pada masyarakat agar tersalurkan suara hatinya. Pengamen tidak peduli
dan tidak pernah lelah untuk bernyanyi. Tampak pada kutipan berikut “Biar
aku menyanyi, hanya untukmu,”. Namun yang didapatkan pengamen tersebut
tetap rasa acuh. Nyanyian pengamen diibaratkan sebagai luapan kesedihan mengapa
pengamen tersebut memiliki nasib yang berbeda dengan yang lain. Tampak pada
kutipan berikut /Aku diam, mungkin gerimis bergetar bagai tirai warna-warni,
hanya untukku/.
Baris ketiga berisi jawaban atas luapan hati
pengamen. Mereka (bisa masyarakat) mengungkapkan bahwa mereka tidak yakin bisa
membantu kehidupan pengamen supaya lebih layak, maka buat apa pengamen terlalu
banyak meminta harapan pada mereka. Pengamen telah salah bila mengharapkan
kelangsungan hidupnya pada mereka /Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan/
mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,/ apakah yang kau inginkan dariku
yang bertahan/ agar tak sebutir pun dari mata menetes?
Baris terakhir susah
sekali ditangkap maknanya. Dapat diartikan, pengamen tidak pernah lelah untuk
terus bernyanyi, walaupun tidak ada harapan untuk kemajuan hidupnya. Jadi,
kesimpulan yang dapat kita ambil dalam puisi ini adalah potret kemiskinan yang
mewarnai Indonesia. Apabila tidak dihentikan akan semakin parah kemiskinan di
Indonesia. Selain itu, puisi ini berupa sindiran kepada Pemerintah supaya lebih
memperhatikan nasib kaum miskin.
Nilai filosofi yang tampak dalam puisi yang
berjudul Sonet 1 berupa nilai budaya dan nilai pendidikan. Nilai budaya yang
tampak pada puisi Sapardi Joko Damono adalh sikap individualitas sosok manusia. Saat
ini sering kita temui sikap individualitas berupa sifat acuh tak acuh. Orang
memiliki sifat acuh tak acuh tidak pernah peduli akan keadaan orang lain,
khususnya keadaan orang yang miskin. Dalam puisi ini, pengarang mengangkat
kehidupan sosok pengamen yang sering mendaptkan perlakuan acuh dari orang lain,
khususnya saat sedang mengamen. Terlihat jelas terdapat harapan dan keinginan
yang tidak sejalan untuk mencapai sebuah keinginan yaitu ingin diperhatikan dan
diakui keberadaan dirinya. Tampak dalam kutipan berikut: /“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam,/
/mendengarkan
gerimis yang berderai lalu/ /bagai benang terurai dari langit yang dalam/ /Adakah kau saksikan aku mendengarkanmu?/.
Puisi
Sapardi menggambarkan realitas nyata keadaan Indonesia. Realitas nyata
itu sebagai dampak dari kemiskinan. Kemiskinan adalah potret kehidupan yang menunjukkan kesenjangan antara si kaya dengan si miskin.
Salah satu dampak kemiskinan berupa pendidikan yang masih rendah cukup
mendominasi Negara kita. Hal ini tampak dari banyaknya pengamen yang menjamur
dimana-mana. Kesulitan mencari pekerjaan membuat para pencari kerja membanting
setir menjadi pengamen. Walupun sering mendapat perlakuan yang kurang
menyenangkan, pengamen tetap menjalankan kehidupannya sebagai pengamen. Tampak dalam kutipan berikut: /Aku
diam, mendengar dan tidak mendengar/ /suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/ /katamu./.
Kutipan puisi di atas menggambarkan percakapan
antara pengamen dengan seseorang (yang memiliki kehidupan yang layak). Mereka
memiliki pandangan hidup yang berbeda. Tokoh aku liris menginginkan mengerjakan
apa yang ia kuasai tanpa peduli kenyamanan orang lain, sedangkan maksud dari
seseorang dalam puisi ini adalah perasaan terganggu dengan kehadiran seorang
pengamen yang semakin menyesaki hampir di seluruh daerah Indonesia.
Puisi “Mengharap Hujan” karya D. Zawawi Imron
Mengharap
Hujan
Daun-daun
berhijauan di rimba hutan
kata konkret, imaji visual, asonansi
membuat aku
dan engkau percaya lagi pada hujan
kata konotatif, asonansi
pada esok yang
kapan
kata konotatif, imaji taktil
bunga-bunga
liar akan mekar
kata konotatif, imaji visual
Tapi pada
kemudian yang kesekian
kata konotatif, imaji taktil
ada janji
diingkar
imaji taktil
Aku tak tahu,
imaji taktil
kita atau
siapa
imaji taktil
yang membuat
semua ini jadi terbakar
kata konotatif, imaji visual
Termasuk hujan
kata konkret, imaji visual
dan kupu-kupu
kata konkret, imaji visual
dan bangku
bambu
kata konkret, imaji visual
tempat kau
dulu menunggu aku
kata konkret, imaji visual
Sambil
mengusap dada
kata konkret, imaji visual
aku hanya bisa
mengira-ngira
kata konkret, imaji visual
atau curiga,
imaji taktil
tentang
laki-laki yang melangkah ke masa depan
kata konotatif, imaji visual
ke sebuah
lembah gembur
kata konotatif, imaji visual
yang akan jadi
rawa oleh selembar nota
kata konotatif, imaji visual
yang konon menghalakan makan kuman-kuman
kata konotatif, imaji visual, sarkasme
asal
dimasukkan dengan cara yang sopan
kata konotatif, imaji visual, ironi
Langkah-langkah
itu akan mengalir
kata konotatif, imaji visual
ke seutas
sejarah
kata konotatif, imaji taktil, metafora
Tanyakan saja
kepada daun kemukus
kata konotatif, imaji visual
bunga bungur
dan kembang-kembang kaktus
kata konotatif, imaji visual
Mereka akan
menjawab dengan takut,
kata konotatif, imaji visual, personifikasi
bahwa untuk
rakus
imaji taktil,
ritma, sarkasme
orang tak
perlu kursus
kata konkret, ritma
untuk serakah
ritma
barangkali
diperlukan sekolah
kata konkret,
ritma
Tambah lagi
tentang bintang berekor
kata konotatif, imaji visual,
aliterasi
yang
dipercaya menentukan nasib baik aktor
kata konotatif, imaji visual,
aliterasi
yang mungkin
tak jujur
imaji taktil, aliterasi
bicara tentang beda kapur dan putih telur
kata konotatif, imaji visual,
aliterasi
yang ditemukan
dibawah kursi terhormat itu
kata konotatif, imaji visual
Silahkan saja
engkau terbahak
kata konkret, imaji visual, imaji
auditif
mengganti palu
dengan kapak
kata konotatif, imaji visual
kalau ada
gunanya
imaji taktil
tapi jangan
sampai menambah
imaji taktil
jumlah korban
yang tidak bersalah
imaji visual
Sedangkan aku
masih ingin bernafas
kata konotatif, imaji taktil
Ingin tertegun
sekian jenak
kata konotatif, imaji visual,
metafora
Untuk
meluruskan rasa malu yang sudah aus
kata konotatif, imaji visual
Jika masih
punya rasa sayang
kata konkret, imaji taktil
Apa tak
sebaiknya, kita mengharap hujan
kata konotatif, imaji taktil
meniru hujan
kata konotatif, imaji taktil
menjadi hujan
kata konotatif, imaji taktil
di atas bumi
yang kehausan
kata konotatif, imaji taktil
(D. Zawawi Imron)
Puisi ini merupakan puisi panjang yang terdiri
dari 7 bait dan 48 larik. Diksi yang digunakan sederhana, meskipun dalam
kesederhanaannya terdapat makna yang dalam dan berisi. Penyair banyak
menggunakan kata konotatif untuk menggambarkan pikiran-pikiran aku liris. Imaji
yang digunakan kebanyakan adalah imaji visual. Aku liris mencoba memperlihatkan
keprihatinannya terhadap lingkungan dan kondisi di sekitarnya. Dalam puisi ini
juga ditemukan penggunaan personifikasi untuk menegaskan pendapat aku liris.
Dalam beberapa barisnya tampak penggunaan sarana retorika sarkasme.
Judul Mengharap
Hujan yang dipilih secara sepintas menggambarkan pemilihan diksi yang
sederhana. Puisi karya D. Zawawi Imron
ini banyak menggunakan kata yang digunakan sehari-hari. Namun, rangkaian kata-katanya menimbulkan
pengertian dan makna yang mendalam. Meski sederhana, kadang sulit menangkap
makna kata-katanya bila hanya dibaca satu kali. Puisi ini secara umum menceritakan tentang
tanggapan terhadap kondisi pemerintahan. Pada bait pertama aku liris
menggambarkan setitik harapan yang tak pasti, yang tergambar dalam baris kedua
dan ketiga. Harapan tersebut
benar-benar tidak pasti karena penyair memilih menggunakan diksi ganda, yaitu
kata /esok/ yang belum pasti dan kata /kapan/ yang semakin
menimbulakan tanda tanya.
Pada dunia
nyata, hujan merupakan fenomena alam yang sering terjadi, terutama di daerah
tropis. Namun, dalam puisi ini hujan diartikan sebagai janji, selain itu hujan juga digambarkan sebagai
harapan akan datangnya kebaikan, kemakmuran dan keindahan. Meski akhirnya
harapan itu tidak terjadi (tidak ditepati). Karena aku liris menemukan sebuah
janji yang diingkari. Aku liris hanya
bisa menyimpan tanya tanpa tahu kenyataannya. Banyak orang yang mungkin menjadi
dalang dalam pengingkaran tersebut. Hal itu tampak pada diksi /kita atau siapa/.
Pengingkaran itu, walaupun masih dipertanyakan pelakunya, telah
mengakibatkan kehancuran yang besar, kehancuran kehidupan dan kehancuran
kenangan.
Dalam tanya aku liris
tetap bersabar meskipun dia diliputi tanda tanya hingga berujung pada kecurigaan.
Yang dicurigai oleh aku liris adalah orang yang terpilih menjadi pemimpin,
memimpin negara selama kurun waktu tertentu ke depan. Laki-laki yang
digambarkan oleh aku liris merupakan seorang pemimpin yang ditangannya-lah
nasib ditentukan. Pemimpin, apalagi pembuat kebijakan, selama masa jabatannya
akan berada pada posisi yang sangat menguntungkan, hingga banyak orang yang
menyebut posisi itu “lahan basah” dan dalam puisi diumpamakan “lembah gembur”.
Bagi petani lembah gembur adalah tempat yang subur dan banyak menghasilkan.
Kadang kebijakan yang salah dan hanya mencari untung bisa membuat lahan subur
itu tidak dapat diolah lagi.
Walau demi keuntungan itu,
orang harus melakukan tindakan yang tidak baik, dan dapat berujung masalah.
Namun, dengan taktik dan tipu daya serta licinnya sogokan, hal itu dianggap
sah-sah saja. Geramnya aku liris menimbulkan sindiran yang terlihat pada bait
ke-dua. Kuman adalah pembawa penyakit, dan memakan makanan pembawa penyakit itu
dilarang (mungkin diharamkan oleh agama). Namun, oknum tertentu menyiasati hal
itu dengan menghalalkan segala cara.
Perjalanan karir laki-laki
itu akan terus berlanjut hingga akan berujung pada sebuah goresan tinta dalam
sejarah. Mengapa begitu? Hal itu dikarenakan hanya waktu yang selalu terjaga
dalam kehidupan. Jejak waktu menyisakan sebuah sejarah, dan sejarah tak pernah
lengah. Sejarahlah yang selalu setia mengawal masa, merekam kejadian demi
kejadian meski ada oknum-oknum yang ingin mengubah kebenaran sejarah. Tapi
tidak semua seperti itu, masih ada juga orang-orang yang tetap mencoba bertahan
hidup dengan kejujuran.Daun kemukus, bunga bungur dan kembang kaktus adalah
tanaman yang selalu mencoba bertahan dalam kemandirian, tegar menghadapi
kekurangan dan tidak memaksakan diri untuk meminta belas kasihan (meminta
disiram). Penyair mengajak pembaca bertanya pada mereka. Apa yang harus
ditanyakan? Kebenaran. Kenyataan. Hal itu tampak pada bait ke-tiga.
Pada bait keempat, muncul
seorang tokoh lagi yaitu bintang berekor. Siapa bintang berekor? Dalam astronomi,
munculnya bintang berekor selalu diamati, dipuja-puja, dan banyak ketertarikan
ditimbulkan. Sama dengan tokoh
masyarakat, entah pejabat,
pengusaha, atau yang lain kehadirannya menimbulkam kepercayaan, meski hal itu
belum dapat dibuktikan. Bahkan, yang sudah ditemukan perbedaannya dengan jelas,
bisa saja disembunyikan sesuatu itu berhubungan langsung dengan kedudukan
pemimpinnya.
Hingga aku liris merasa
masa bodoh dengan mempersilakan oknum-oknum tidak bertanggung jawab itu
bertindak semaunya. Bersenang-senang dan berpesta pora merayakan kemenangannya.
Hal ini tampak pada bait kelima. Aku liris juga tidak akan peduli meskipun
hukum aka diganti dengan kekerasan, bila hal itu memiliki manfaat entah untuk
siapa. Aku liris hanya menginginkan ketenangan untuk mendapatkan introspeksi diri agar bisa mengembalikan inti
dari pandangan hidupnya (rasa malu).
Pada akhirnya aku liris
tetap berusaha mengajak dan menyadarkan oknum-oknum itu mempertanyakan perasaan
mereka. Aku liris untuk menanam kembali harapan, merawat hinga benar-benar
mewujudkan harapan itu untuk mengembalikan hidupnya menjadi lebih baik. /meniru hujan/, /menjadi hujan/, /diatas
bumi yang kehausan/.
Puisi ini memberikan sindiran baik halus maupun kasar terhadap pemerintah agar
tidak hanya memberi harapan tapi juga mewujudkannya. Agar tidak tertipu pada
pesona orang-orang licik, dan agar tidak tergoda oleh keuntungan dengan
mengorbankan segalanya dan menghalalkan segala cara.
Puisi ”Saatku di Pintu Kubur” karya Dianing Widya Yudhistira
Saatku di Pintu Kubur
Kucari diri dalam segelas anggur, Segelas tuak penawar kemarau
Kata konkret, simile, imaji
visual
Padang luas hamparan lolongan anjing
Metafora, kata konkret, imaji
visual
Diantara rak-rak sepatu terapak kakimu masih membekas warna
Imaji visual, kata konkret
kesumba darah. Kukecap rindumu lewat darah mengalir,
kata konotatif, imaji taktil
membelah luka. Laksana lengkung di pematang padi.
Simile, kata konotatif, imaji
visual
Menawar segar desah ngiau napasmu, kutamukan di atas ranjang
Imaji auditif, kata konotatif
Tertata rapi buku-buku kuno di rak yang lapuk.
kata konkret, imaji visual
Di lenganmu kubaca pergulatan tubuh dangan tubuh
Imaji visual, kata konotatif
Tersingkap kain, larut ke telaga tak berwarna. Kubangun rindu
Kata konotatif, imaji visual
Menjelma lembah nan sunyi dari makna
Kata konotatif, imaji taktil
Rembulan di atas masjid
Imaji visual, kata konkret
Terdengar alunan makna, menyusup ke dada melewati parit-parit kecil
Imaji auditif, kata kontatif,
Aku cari di lorong-lorong masa, hingga gang-gang sungai-Mu
Kata konotatif,
Di ketiakmu, kelangkangmu dan anyir bau ketiakmu.
kata konkret
kutemukan damai yang hilang kembali
imaji taktil,
Bacakan aku ayat-ayat suci.
kata konkret, Imaji auditif
Panggilkan aku nabi
kata konotatif
Berikan aku kaca mata
kata konotatif, kata konkret
Aku rindu parit Allah mengalir madu
Kata konotatif, imaji taktil
Aku rindu parit Allah mengalir susu
Kata konotatif, imaji taktil
Aku juga rindu akan nabiku duduk disisisku
Kata konotatif,
Damai
kata konotatif, imaji taktil
(Dianing Widya Yudhistira)
Pada puisi ”Saatku di
Pintu Kubur” diksi yang digunakan lebih bermakna konotatif. Frasa-frasanya
banyak yang bermakna konotasi sehingga kita tidak langsung bisa mengetahui
pesan atau makna apa yang terkandung di dalamnya. Contohnya pada larik ke-9 dan
10 bermakna bahwa si Penyair merasakan suatu kerinduan dan ia berusaha untuk
mengobati rindunya itu, tetapi semakin Penyair mencari pengobat rindu itu
semakin maka yang Penyair rasakan adalah kehampaan. Imajeri yang digunakan
dalam puisi ini antara lain imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil.
Bahasa kias yang digunakan dalam puisi ”Saatku di Pintu Kubur” karya Dianing
Widya beragam diantaranya, yaitu pada larik ke-2 termasuk jenis gaya bahasa
metafora. Sarana retorika terdaaapat pada larik ke-14 merupakan suatu
pernyataan atau frasa yang dilebih-lebihkan secara kasar.
Bentuk puisi ini dapat
dilihat dari berbagai segi diantaranya persajakan, aliterasi, asonansi, irama,
baris atau larik, dan bentuk puisi itu sendiri. Pertama, dilihat dari
persajakannya ada yang kemiripan bunyi di awal larik dan ada juga diakhir
larik-larik puisi, untuk yang diawal larik contohnya pada larik 19, larik 20,
dan larik 21 ada kemiripan bunyi yaitu ”aku rindu” ini mengalami perulangan
berkali-kali. Kedua, aliterasi pada puisi ini untuk larik 1 bunyi konsonan yang
sama /g/ dan /s/, larik 2 konsonan yang sama /n/, larik 3 bunyi yang sama
adalah /k/ dan /m/, larik 4 yang sama adalah konsonan /k/ dan /m/, larik 5
persamaan bunyi konsonan /l/ dan /ng/, larik 6 persamaan pada /m/ dan /n/,
larik 7 yang sama huruf /t/ dan /k/, larik 8 terdapat kesamaan bunyi /t/ dan
/n/, larik 9 konsonan yang sama yaitu /k/ dan /n/, larik 10 persamaan terdapat
pada huruf /m/ dan /n/, larik 11 persamaan pada huruf /m/, larik 12 konsonan
yang sama /m/ /t/ dan /n/, larik 13 persamaan yang sama /ng/, larik 14
persamaannya adalah /k/ dan /m/, larik 15 terdapat persamaan konsonan pada
huruf /k/, larik 16 persamaan pada /y/ dan /k/, larik 17 huruf konsonan yang sama
adalah /g/, larik 18 yang sama adalah /k/, larik 19 konsonannya adalah /l/,
larik 20 persamaan konsonannya /l/, larik 21 persamaan bunyi konsonan pada
huruf /d/ /s/ /dan /k/. Ketiga, asonansi untuksetiap larik pada dasarnya
didominasi oleh huruf vokal /a/, /i/, /e/, /u/, dan /o/. Keempat, irama
berhubungan dengan perulangan bunyi untuk puisi ”Saatku di Pintu Kubur” ini
terdapat pengulangan frasa pada larik 19, larik 20, dan larik 21 yaitu frasa /aku rindu/ yang menegaskan kerinduan
penyair pada Sang Nabi dan Pencipta alam semesta ini. Kelima, baris atau larik
berpengaruh pada pemaknaan puisi. Contoh pada larik 3 sampai larik 5. Keenam,
bentuk puisi ini termasuk dalam puisi bebas dan tidak terikat oleh aturan
seperti puisi lama.
Puisi yang berjudul “Saatku di Pintu Kubur” karya
Dianing Widya Y. menceritakan tentang kisah perjalanan seorang hamba yang
merindukan Allah. Ia sangat merindukan kehidupan akhirat yang tergambar indah
dalam angannya.
Di sini aku liris ingin bertaubat atas segala kesalahannya. Dalam
pencariannya mencari Allah tak kunjung mendapat jalan atau petunjuk. Setiap aku liris akan menemukan jalan itu,
tapi dengan itu pula jalan pun hilang kembali. Ia bingung ke mana harus
mencari. Segala macam cara telah ia lakukan demi pencarian itu, tetapi hasilnya
nol tanpa hasil. Pencarian ini dapat dilihat pada larik /kucari diri dalam segelas anggur/ /di antara rak-rak sepatu kakimu/
/aku cari di lorong-lorong masa, hingga gang-gang sungai-Mu/ /di ketiakmu,
kelangkangmu, dan anyir bau ketiakmu/.
Berdasarkan
kata-kata tersebut dapat diidentifikasikan bahwa aku liris dalam pencarian
menuju Jannah-Nya tidak hanya melalui satu jalan, tetapi banyak jalan. Selain
pencarian Tuhan, aku liris juga mencari jati dirinya. Ini terlihat dari frasa /kucari diri dalam segelas anggur, segelas
tuak penawar kemarau/ /ku bangun rindu/ /menjelma lembah yang sunyi dari makna/
/bacakan aku ayat-ayat suci/, /panggilkan aku nabi/ /beri aku kaca mata/.
Dalam puisi ini pengarang Dianing Widya Y., ingin
menggambarkan kehidupan seseorang yang salah menempuh jalan sesat saat hidupnya
dan ketika ajal tlah menjemput, ia masih dalam pencarian pada Tuhan-nya. Dalam
balutan kain kafan dari seorang mayat manusia, penyair mencoba menelusuri atau
menghayati hikmah apa yang dapat diambil dari kejadian kematian manusia. Mayat
itu pun dibacakan ayat-ayat suci dan dishalatkan. Dalam hati ia berteriak /bacakan aku ayat-ayat suci/ /panggilkan aku
nabi/ /aku rindu parit Allah mengalir madu/ /aku rindu parit Allah mengalir
susu/ /aku juga rindu akan nabiku duduk di sisiku/ /damai/.
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari puisi ini
adalah bagaimana seseorang memaknai hidupnya ketika ia masih mempunyai
kesempatan hidup karena apabila ajal telah menjemputnya semua akan terlambat
untuk menyesal. Penekanan dalam puisi “Saatku di Pintu Kubur” yaitu kerinduan
penyair terhadap Allah SWT dan ketika melihat kematian ia teringat akan
perdamaian dan keindahan kehidupan akhirat.
Puisi “Napas Gunung” karya Acep Zamzam Noor
Seperti senja
yang bersimpuh ke kaki langit
Kata konotatif, imaji taktil,
imaji visual
Kupuja bola
matamu yang melelehkan cahaya redup
Kata konotatif, imaji taktil,
imaji visual
Serta
hurup-hurup samar yang menuliskan
Kata konotatif, imaji taktil
Keabadian.Senyummu
yang tergantung di udara
Kata konotatif, imaji taktil,
imaji visual
Dinaungi
gumpalan mendung yang kemerahan
Kata konotatif, imaji taktil
Tuturmu yang menggulirkan
butir-butir embun
Kata konotatif, imaji taktil,
imaji visual
Tak bisa
kutampung dengan bibirku yang bergetar
Kata konotatif, imaji visual
Nafas gunung
yang dikibarkan kerudungmu
Kata konotatif, imaji taktil,
imaji visual
Menghijaukan
sawah-sawah di hatiku
Kata konotatif, imaji taktil
Selembar
sajadah yang dihamparkan rindu
Kata konotatif, imaji taktil
Membuatku
tersungkur lagi.Kuhirup wangi tanah
Kata konotatif, imaji taktil
Kucium akar
rerumputan dan dingin batu:
Kata konotatif, imaji taktil
Seorang lelaki
berlumuran darah itu
Kata konotatif, imaji visual
Agar langit
menampakkan rahasia keindahannya
Kata konotatif, imaji visual
Pada bumi.
Parasmu yang dipantulkan sinar bulan
Kata konotatif, imaji visual
Dengan
bulu-bulu halusnya yang tersapu tiupan angin
Kata kongktret, imaji visual
Seakan
menyibakkan yang selama ini tertutupi
Kata kongkret, imaji taktil
Itulah
sebabnya aku memuja bola matamu
Kata kongket , imaji taktil
Seperti seribu
laron mengerumuni satu-satunnya
Kata konotatif, imaji visual
Nyala lampu
Kata kongktret, imaji visual
(Acep Zamzam Noor)
Berdasarkan analisis struktual, puisi Napas Gunung
di atas didominasi oleh kata konotasi dan imaji taktil. Majas yang digunakan adalah
majas metafora, simili, hiperbola, dan paradoks. Metafora memandingkan dua hal
secara implisit. /Kupuja bola
matamu yang melelehkan cahaya
redup/ seakan membandingkan antara bola
mata dengan benda yang dapat melelehkan sesuatu. Simili membandingkan sesuatu
secara eksplisit yang ditandai dengan pemakaian kata seperti, sebagai, serupa,
bagai, laksana dan lainya. Pada salah satu puisi karya Acep Zamzam Noor
tersebut terdapat majas simili, yaitu yang terdapat pada bait pertama dan
sembilan belas. Pengarang memakai pilihan kata yang bermakna perbanding yang
ditandai dengan kata ”bagai” /Seperti
senja yang bersimpuh ke kaki langit/ dan
/Seperti seribu laron mengerumuni satu-satunnya/ . Hiperbola tampak pada
baris ke empat, /Keabadian. Senyummu yang
tergantung di udara/ adanya pernyataan yang dilebih-lebihkan dan tidak
wajar pada kata konotasi /..senyummu yang
tergantung.../. Gaya bahasa yang menampakkan benda-benda mati seolah-olah
bernyawa dan melakukan sesuatu, personifikasi tampak pada baris delapan /Nafas gunung yang dikibarkan kerudungmu/.
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan antara perasaan
dengan kenyataan. Dalam puisi
di atas, paradoks terdapat pada bait ke lima /Dinaungi gumpalan mendung yang kemerahan/ . Adanya pertentangan
antara mendung, namun warnanya kemerahan, secara kenyataan apabila mendung
tentu berwarna hitam, bukan merah.
Sekilas puisi ini seperti
menceritakan tentang seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta atau mengagumi
seorang wanita yang elok paras dan agamanya, yang tecermin pada
pesonanya.Wanita yang sempurna di mata akulirik yang begitu teguh imanya dan
muslimah yang baik. Namun, apabila kita telusuri lebih lanjut puisi ini
sebenarnya berisi tentang kerinduannya akan kebesaran Tuhan dengan segala
kuasan-Nya.
Aku liris menggambarkan
kekuasaan Tuhan yang tanpa batas dan tidak tertandingi sebagai gunung yang
senantiasa berdiri tegak, tidak terkalahkan oleh badai, topan, ataupun tangan jahil manusia, akan tetapi
apabila dia marah, maka segala yang ada di hadapanya akan tersapu habis, karena
memang kekuasaanya tidak tak terbatas. /nafas
gunung/ mensimbolkan bahwa Tuhan itupun hidup, Dia benar-benar ada.
Aku liris
bertekuk lutut terhadap pesona Tuhan. Diapun jatuh cinta. Berasa begitu agung
dan mulia kehadiranNya /seperti senja
yang bersimpuh di kaki/. Namun mulai timbul kesadaran akan siapa dia bisa
mengagumi Tuhan yang begitu agung. /cahaya
redup/ melukiskan bahwa dirinya tidak ada apa-apanya, tak akan ada yang
mempedulikannya karena begitu buruk dirinya yang telah kehilangan cahaya, namun
dia berharap cahaya yang berasal dari Tuhan akan datang kepadannya. Cahaya
tersebut yang akan membuatnya bisa melihat, menerangi hidupnya yang redup,
memberikannya warna baru.
Aku liris menyadari begitu
jauh perbedaan dirinya dengan Tuhan yang seakan /tergantung di udara/, melukiskan bahwa Tuhan sangat jauh tempatnya
dari kita, di tempat agung di atas segala yang tinggi. Tuhan yang tidak akan
bisa dia gapai, bahkan untuk senyum-Nyapun tidak. Rasanya begitu mahal senyum
itu oleh karena /dinaungi gumpalan
mendung yang kemerahan/. /mendung/
tersebut menggambarkan kedukaannya melihat ulah ciptaan-Nya. Aku liris begitu
haru akan kesabaran yang dimiliki Tuhan yang empunnya segalanya, bahwa tutur
kata yang begitu halus bagaikan /embun/,
menyejukkan dan dinantikan setiap orang tidak bisa dimiliki aku liris secara
penuh. Dia terlalu tidak layak, tak ada kekonsistenan dalam dirinya ketika
menyerukan namanNya. /bibirku yang bergetar/ membuktikan bahwa
kesalahan yang dibuat oleh karena ucapannya tidak layak mendengar /tuturmu/. Bibir yang penuh dengan dosa
membuatnya sadar bahwa untuk memanggil nama-Nya saja, sebenarnya tidak layak.
Kebesaran yang ada pada
Tuhan dilukiskannya sebagai gunung yang tangguh tersebut sangat diharapkan oleh
aku liris agar mau menampakkan diri-Nya, walau dia merasa bahwa hal itu kecil
kemungkinan untuk terjadi, namun dia tetap berharap. Menyadari bahwa hanya Dia
saja yang mampu memberikan kesegaran terhadap dirinya yang sudah rapuh, kering
dan sepi. Aku liris memuja Tuhan yang telah menghidupkan imanya, karena telah
lama dia tidak menghampiri-Nya, berdoa atau sembahyang kepadan-Nya. Aku
lirispun merindukan-Nya.
Aku liris adalah seorang
muslim, ini terlihat dari kata /kerudung/
dan /sajadah/ yang dipakainya untuk
mengungkapkan identitas agamanya. Menyadari bahwa dosa yang tergambarkan dalam
frasa /berlumuran darah/ membuat
dirinya dan Tuhan yang dipujannya itu semakin menjauh dan tidak dapat
dijangkaunya, walau begitu Tuhan yang membuatnya berlutut bukan Tuhan yang
kejam, Dia memberikan kesempatan dengan menikamkan pandangan yang bermakna
sebagai pernyataan bahwa Tuhan menginginkan aku liris pula. Aku lirispun sadar
akan keberadaanya sebagai makhluk yang berdosa dan tak patut untuk di ampuni. /rerumputan/ menggambarkan sesuatu yang
lebih pantas untuk diinjak-injak, dilupakan, dibuang karena dianggap
mengganggu. /dingin batu/ yang
menggambarkan keras kepala dan hati yang tidak mau di bentuk, ibarat seorang anak
yang bandel. Aku liris mengakui dirinya sebagai orang yang berlumuran dosa,
tidak layak menerima belas kasihan, pantas untuk diinjak-injak, dan dibuang ke
api neraka sebagai hukuman yang setimpal. Tanpa daya apa lagi bisa bertahan,
tersungkurlah hingga menghirup /wangi
tanah/.
Aku liris begitu kagum
akan kebesaran Sang Pencipta yang ternyata dilupakan begitu mudah olehnya dan
manusia yang lain. Namun dari kesadaran yang telah diperolehnya tersebut
membuatnya semakin ingin dekat bersaman-Nya dan ingin bertemu langsung, serta
menatap wajah-Nya yang penuh kemulyaan. /Tariklah
sedikit ujung kerudungmu itu/ menggambarkan keingintauannya lebih terhadap
Tuhan, akuliris meminta hanya sedikit untuk membuka kerudung yang menutupi dan
membuat-Nya menyembunyikan wajah karena manusia telah mencemarkan
nama-Nya.Kalau Dia mau menyingkapkan kekuasaan-Nya secara langsung, maka sudah
pasti langit dan bumi yang tunduk pada-Nya akan menceritakan kemulyaan-Nya
serta menceritakan kebesaran-Nya.
Pada akhirnya pun aku
liris mulai menyadari bahwa dirinnya tidak layak untuk sekedar memandang oleh
karena terlalu berlimpah dosa dalam dirinya, hingga bumi yang ingin melihat
kemulyaan-Nya hanya mampu menatap sinar yang /dipantulkan sinar bulan/. /dipantulkan/ menandakan bahwa tidak ada yang setara
dengan-Nya, bahwa Dia terlalu berbeda jauh dengan aku liris. Begitu sempurnanya
hingga dia menggambarkanya dengan /bulu-bulu
halus yang tersapu tiupan angin/. Begitu lembut hati-Nya bagai bulu halus
yang ringan. Namun karena ketamakkan dan kesewenangan manusia sehingga hanya
merasakan kehadiran-Nya sebagai /tiupan
angin/. Seakan Tuhan seperti hal yang mudah diingat dalam fikiran, dan bila
sedang tidak ingin mengingat, maka mudah saja untuk membuangnya. Hanya dengan hidayah-Nyalah
segala kemunafikan manusia dapat tersingakapkan, karena hanya Dialah yang bisa
/ menyibakkan yang selama ini tertutupi/
oleh dosa-dosa manusia. Akuliris mangagumi Tuhan yang disadari olehnya sebagai
terang yang selayakknya dan sepantasnya menjadi yang utama dan terutama. Bahwa
sinar kehidupan, awal kehidupan dan hidup itu sendiri berasal dari Dia dan
berakir dalam Dia pula. Dialah /nyala
lampu/ yang akan dicari segenap penjuru dunia yang telah terbutakan dan
digelapkan akan siapa dirinya yang sebenarnya. Disibukkan dengan urusan
masing-masing. Kata /satu-satunya/
menyatakan bahwa hanya Dia saja yang pantas untuk dimuliakan, oleh karena itu
sangat berharaplah aku liris agar Tuhan mau memandanganya. Hal tersebut yang
membuatnya mengatakan dua kali frasa /memuja
bola matamu/ menandakan bahwa aku
liris hanya memuja benar-benar Tuhan dengan segenap hatinya. Hanya Tuhanlah
yang pantas menerima segala pujian /Seperti
seribu laron mengerumuni satu-satunnya Nyala lampu/. Lampu sebagai benda
yang memberikan terang terhadap sesuatu yang gelap, tak ada yang mampu
menyembunyikan sesuatu ketika terang itu ada. Semua kecurangan akan
tersingkapkan, dosa-dosa akan terlihat, yang telanjang akan kesalahan
dibuat-Nya malu, namun itulah yang dicari oleh semua umat manusia. Cahaya yang
menerangi dirinya yang gelap akan dosa, karena pada hakikatnya semua manusia
telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Tuhan. Maka yang empunya kemulyaan
yang sejati itu saja yang mampu mengembalikan manusia pada tempat yang
sebenarnya, sebagai ciptaan yang baik dihadapan-Nya.
Puisi “Nafas Tuhan” diatas
menggambarkan perjalanan manusia yang sadar akan posisi dirinya seutuhnya dan
bertobat untuk kembali pada Sang Pencipta. Bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih
besar dari diri-Nya, dialah sumber terang, sumber segala kehidupan. Itulah
nilai moral filosofis yang terkandung dalam puisi Napas Gunung.
PENUTUP
Setelah menggunakan pendekatan analitik untuk
mengetahui karakteristik umum puisi-puisi angkatan 2000, maka dapat disimpulkan
bahwa puisi-puisi angkatan 2000 memiliki perkembangan corak dan warna baru yang
berbeda dari puisi kontemporer pada era ’70-an. Yang membedakan antara lain:
diksi yang tidak beraturan, menggunakan banyak frasa konotatif, dipenuhi oleh
imaji visual dan taktil, bahasa kias diwarnai simile dan personifikasi, sarana
retorika yang digunakan adalah sarkasme. Selain itu, bentuk puisi angkatan 2000
kebanyakan berupa puisi bebas dan ada beberapa puisi yang menggunakan
pemenggalan kalimat yang menimbulkan ambiguitas. Ciri yang menonjol adalah
bentuk puisi yang panjang dan bernuansa prosais. Yang paling membedakan antara
puisi angkatan 2000 dengan angkatan sebelumnya adalah tidak terlalu banyak
menggunakan tipografi yang membingungkan. Tema yang diangkat pada puisi-puisi angkatan 2000
sangat beragam.
Puisi-puisi angkatan 2000 menonjolkan pemilihan
diksi. Penyair-penyairnya tidak lagi menggunakan kata-kata bentukan baru yang
membingungkan tapi lebih pada pengguanaan kata-kata sederhana yang dipakai
sehari-hari namun dengan susunan farsa yang sedemikian rupa, kata-kata tersebut
dapat menimbulkan makna yang berbeda. Banyak amanat yang dapat ditemukan dalam
puisi-puisi angkatan 2000. Dengan seiringnya waktu, penyair-penyair angkatan
2000 masih terus berproses dan menghasilkan karya terbaiknya. Mungkin saat ini
kita masih belum dapat mengupas secara tuntas ciri-ciri umum angkatan 2000 dan
juga belum dapat menjawab pertanyaan ”apa
yang paling menonjol dalam puisi-puisi angkatan 2000”. Namun, semoga
makalah ini sudah dapat memberi gambaran umum mengenai puisi-puisi angkatan
2000 yang telah memberikan warna baru dunia perpuisian Indonesia.
Daftar Rujukan
Badrun, Ahmad. 1989. Teori Puisi.
Jakarta: Dirjen Dikti.
Budianto, Melani, dkk. 2003. Membaca
Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Imron, D. Zawawi. 2003. Kujilat Manis
Empedu. Yogyakata: Gama Media.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan
2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Widia Sarana Indonesia.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan
dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Soedjijono.___. Apresiasi Puisi.
Makalah Tidak Diterbitkan. IKIP Malang.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan:
Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi
Puisi: Panduan untuk Belajar Siswa dan Mahasiswa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
____. 2008. 100 Puisi Indonesia
Terbaik 2008. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar