Senin, 02 Juli 2012

PUISI TAHUN 2000


PUISI TAHUN 2000 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Sejak awal ‘70–an, puisi-puisi Indonesia dipenuhi oleh puisi kontemporer. Bentuk-bentuk tipografi yang kadang membingungkan masih sering ditemukan hingga akhir ‘90–an. Namun, semakin hari semakin tampak adanya perubahan corak puisi-puisi karya penyair-penyair Indonesia. Perubahan itu, pada akhirnya memunculkan angkatan baru dalam dunia perpuisian Indonesia.
            Salah satu tanda tumbuhnya angkatan baru, yang oleh banyak pihak disebut angkatan 2000, adalah munculnya buku Korrie Layun Rampan yang berjudul Angkatan 2000. Puisi-puisi yang kami bahas dan kami tampilkan dalam makalah ini dipilih karena menurut kami puisi-puisi ini cukup mewakili corak baru angkatan 2000. Puisi-puisi yang akan kami bahas antar lain Mengharap Hujan karya D. Zawawi Imron, Sonet I  karya Sapardi Djoko D, Menggali Bahasa karya Isbedy Setiawan, Saatku di Pintu Kubur karya Dianing Widya Yudhistira, dan Napas Gunung karya Acep Zamzam Noor. 

Kami menggunakan dua pendekatan dalam menganalisis puisi-puisi tersebut, yaitu pendekatan analitik dan pendekatan moral filosofis. Pendekatan analitik kami gunakan untuk mengetahui karakteristik puisi-puisi angkatan 2000, antara lain karakteristik bahasa, bentuk, dan isi. Sedangkan pendekatan moral filosofis digunakan untuk mengetahui nilai-nilai moral dalam puisi yang diapresiasi. Pendekatan ini dipilih karena banyak nilai-nilai kebaikan dan pemikiran-pemikiran baru dalam puisi-puisi angkatan 2000.
Tujuan
            Makalah ini disusun sebagai salah satu tindak lanjut akan ketertarikan kami pada puisi-puisi angkatan 2000. Kelompok ingin mencoba menampilkan corak dan warna baru yang tampak pada puisi-puisi angkatan 2000. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa keterkaitan corak dengan angkatan sebelumnya.

Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi
            Dalam mengungkapkan karakteristik puisi kami menggunakan pendekatan analitik. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami arsitektur atau bangunan puitik dari sebuah puisi. Langkah-langkah apresiasi dengan pendekatan ini antara lain menetapkan butir yang akan dianalisa, menganalisa puisi sesuai dengan masalah dan tata urutan yang telah ditentukan, menyusun konsep hasil analisa dan menyimpulkannya. Untuk menemukan nilai-nilai kebaikan dalam puisi, kami menggunakan pendekatan moral filosofis. Pendekatan moral filosofis mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai moral/ etika, nilai-nilai pengajaran yang berarti dan bermanfaat bagi pembentukan pribadi dan filsafat hidup (Soedjijono, ___). Dengan pendekatan ini kami berupaya mendapatkan inti dari puisi tersebut. Inti tersebut diambil dengan mengupas makna tersirat dalam puisi.

KARAKTERISTIK PUISI
Karakteristik Bahasa
Diksi
            Diksi merupakan salah satu unsur yang cukup menentukan dalam penulisan puisi. Diksi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya (Sayuti, 2002). Menurut Suroto (1989) diksi adalah ketepatan pemilihan dan penggunaan kata. Badrun (1989) menegaskan bahwa kata-kata dalam puisi hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga dapat menyalurkan pikiran dan perasaan penulis dengan baik. Oleh karena itu, diksi sangat berperan penting dalam puisi.
Puisi-puisi angkatan 2000 banyak menggunakan kata-kata maupun frasa yang bermakna konotatif. Kata-kata tersebut sering bermakna ganda dan menimbulkan beragam tanya, contohnya antara lain:
...
Ah, bukan. Pakaian yang panas bukan kiri. Tidak ada sungai
dengan jembatan kecil tempat kau menunggu sejarah di sana
...
membeli sofa. Ah, ada paris, amsterdam, juga singapur di
surabaya. Ah apakah pintu rumahmu tak bisa lagi dikunci?
...
(1 Meter Jalan ke Kiri, Afrizal Malna)
...
Di Desa Tembok, semesta tua
Kau yakin benar tentang pagi yang terbit
...
(Seorang Penyair di Desa Tembok, Made Adnyana Ole)
Namun, meski dipenuhi oleh frasa bermakna konotatif kita masih dapat menemui frasa atau kata lugas yang bersifat konkret. Frasa itu antara lain:
...
Ia selalu siap dengan gunting dan sisir
Di bawah pohon yang demikian pesing, anyir
...
(Tukang Cukur, Mashuri).
Kata-kata yang dipilih dalam puisi-puisi angkatan 2000 banyak menyindir keadaan sekitar baik sosial, budaya, lingkungan, globalisasi, dan lain-lain. Kata-kata sederhana yang digunakan justru menambah kedalaman makna puisi-puisi tersebut. Pengandaian-pengandaian yang tampak menampilkan sesuatu yang baru dan menambah khazanah kiasan bahasa Indonesia. Contohnya pada puisi karya Afrizal Malna, 1 Meter Jalan ke Kiri, terdapat farsa /Ah, apakah pintu rumahmu tak bisa lagi dikunci?/ yang tidak bermakna lugas pintu rumah, tapi dapat pula menimbulkan banyak makna antara lain terlalu terbukanya negara ini menerima dan terseret dalam arus globalisasi.
Imajeri
            Menurut Priminger (dalam Badrun, 1989) imajeri adalah produksi imaji dalam pikiran dan bahasa. Sedangkan imaji adalah reproduksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh persepsi yang bersifat pisik. Waluyo (2003) menerangkan bahwa pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair.
            Jadi, imaji berhubungan dengan indra, sedangkan imajeri adalah gambaran ulang pikiran dalam bahasa. Dengan imaji, pembaca dapat seolah-olah mendengar, melihat, dan merasakan inti puisi dari penyair dan gambaran.
            Imaji visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh pembaca (Waluyo, 2003). Hal itu dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini:
...
lantas kau bentangkan peta bencana
kota-kota mati orang-orang mulai bertukar barang
...
dan kapal kita terancam tenggelam
beberapa di antara kita harus dibuang
...
(Jangan panggil siapa-siapa, Wowok Hesti Prabowo)
...
Tetapi bukankah sesaat cuaca begitu meneduh
dan langit yang jernih, dengan awan dan bening cahaya,
atau matahari yang lindap tapi menajamkan warna
adalah juga lanskap yang dulu ...
(Dan Sebelum Lepas Senja, Wendoko).
Pada contoh-contoh di atas terdapat gambaran-gambaran yang jelas tentang apa yang ingin disajikan oleh aku liris. Kata-kata sederhana mengungkapkan bayangan yang seolah dapat dilihat oleh pembaca.
Imaji auditif adalah penciptaan ungkapan oleh penyair sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair (Waluyo, 2003). Imaji ini berpusat pada pendengaran. Dalam puisi-puisi angkatan 2000 dapat ditemui beberapa contoh imaji auditif antara lain:
...
Di menara masjid raya, sangkakala menggelegar.
Sekujur kota pun gemetar. Sepucat pasien pada brankar.
...
Ia memejamkan mata dan mendengar erang bengawan
...
(Madiun, Arif Bagus Prasetyo)
frasa tersebut merupakan salah satu contoh tampilan imaji auditif dalam puisi-puisi angkatan 2000. Imaji ini juga sering digunakan untuk menambahkan suasana tertentu yang ingin dicapai oleh pengarang.
Imaji taktil (perasaan) adalah penciptaaan ungkapan oleh penyair yang mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya (Waluyo, 2003). Dalam puisi-puisi yang kami analisis banyak ditemui imaji ini, antara lain:
Dan bukankah angin yang lembut mengusap rumput,
Pohonan lebat, dengan pokok dan cabang yang menunas
Atau sesekali cericit burung membangun sarang di dahan
Adalah juga lanskap yang dulu ...
...
(Dan Sebelum Lepas Senja, Wendoko)
Perasaan aku liris dapat terungkap melalui pemilihan diksi dalam puisi. Pengimajian taktil pengarang dapat juga ditemui dalam puisi-puisi angkatan 2000 pada umumnya.
Bahasa Kias
            Simile adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan, akan tetapi sengaja dianggap sama (Suroto, 1989). Sedangkan menurut Budianta (2003) simile membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain namun masih memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Bentuk perbandingan simile umumnya bersifat tersurat. Hal ini ditegaskan oleh Sayuti (2002), dalam simile bentuk perbandingannya bersifat eksplisit yang ditandai oleh pemakaian unsur konstruksional semacam kata seperti, sebagai, serupa, bagai, laksana, bagaikan, dan lain-lain. Contoh-contoh simile yang ditemukan dalam puisi-puisi angkatan 2000 antara lain:
...
kunang-kunang. Kuning
seperti daun lerai dari ranting.
...
(Tiga Catatan Terakhir, Aan Mansyur)
...
Merah seperti tirai merah,
memar seperti payudaramu,
gundah seperti telur Paskah,
sabar seperti langit biru,
...
(Apel, Nirwan Dewanto)
...
di malam terang, terkadang, ibu merebus kenangan
seperti nenek merebus ubi dengan kuali:
...
(Dapur Ibu, Oyos Saroso HN)
... menjadi batu-batu pemujaan,
batu-batu yang keramat
seperti bintang yang berakar
di angkasa legam!
...
(Nightmare, Sunlie Thomas alexander)
... menjadi batu-batu pemujaan,
batu-batu yang keramat
seperti bintang yang berakar
di angkasa legam!
...
(Nightmare, Sunlie Thomas alexander)
... menjadi batu-batu pemujaan,
batu-batu yang keramat
seperti bintang yang berakar
di angkasa legam!
...
(Nightmare, Sunlie Thomas alexander).
Simile merupakan salah satu bahasa kias yang paling banyak digunakan dalam puisi-puisi angkatan 2000. Hal-hal yang diperbandingkan umumnya menggunakan kata-kata konotatif.
Personifikasi adalah jenis gaya bahasa perbandingan yang melekatkan sifat-sifat suatu benda tak bernyawa pada manusia atau insane (Suroto, 1989:116). Hal ini ditegaskan oleh Budianta  ( 2003:41) bahwa  personifikasi adalah gaya bahasa yang menampakkan benda-benda mati seolah-olah bernyawa dan melakukan sesuatu atau menjadi manusiawi. Contoh personifikasi dalam puisi-puisi angkatan 2000:
...
Apakah kau  telah mendaki terlalu jauh
ke julang lebam, punggung hitam memetik batu?
...
(Seorang Penyair di Desa Tembok, Made Adnyana Ode)
...
Bila musim merentang lengan dan langit terpana parasmu yang
sentosa,
...
(Lembah Lantana, Sitok Srengenge)
...
Siapa pun yang menemukan kata-kataku
Berlari di atas kertas basah oleh embun
...
(Surat yang Tersesat, Frans Nadjira)
...
Tumpukan debu, dan tumpukan debu yang heran melihat jam
sudah memenuhi lehermu.
...
(1 Meter Jalan ke Kiri, Afrizal Malna)

sebenarnya hari telah letih
ketika ia dijemput pergi
.....
(Fragmen Pertempuran: 1.Menjelang Berangkat, Iswadi Pratama).
Personifikasi juga sering ditemui dalam puisi-puisi angkatan 2000. Yang baru dalam penggunaan personifikasi pada puisi angkatan 2000 adalah pemilihan hal-hal yang di-andaikan. Pada puisi lama, yang banyak ditemui contohnya frasa ”nyiur melambai”, ”pena menari di atas kertas”, dan lain sebagainya. Namun, dalam puisi angkatan 2000 banyak pengandaian baru yang memperkaya khasanah bahasa Indonesia.
            Metafora pada dasarnya adalah sebuah kata atau ungkapan yang maknanya bersifat kiasan, dan bukan harfiah karena ia berfungsi menjelaskan suatu konsep. Dengan demikian, konsep tersebut menjadi lebih kuat (Budianta, 2003: 40), berbeda dengan simile, metafora membandingkan dua hal secara implisit. Contoh-contoh metafora:
...
Lidah fajar menjilam pelupukmu terpejam,
Ekor mimpi tersangkut di rumbing rambut
...
(Lembah Lantana, Sitok Srengenge)
...
akal dari ketuaan semesta akan memberi denyut
bagi jiwa yang belia, di antara keterjagaan
...
(Seorang Penyair di Desa Tembok, Made Adnyana Ode)
...
kadang aku mengira bunga padi adalah alang-alang
kerap tak sengaja aku cabut alang-alang yang ternyata bunga padi
...
(Bunga Padi dan Alang-alang, Lupita Lukman).
Meski banyak digunakan , metafora kadang sulit ditemukan karena gaya bahasa ini unik dan impilisit.
Sarana Retorika
Hiperbola adalah jenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekankan, memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya (Suroto, 1989: 199). Contoh hiperbola dalam puisi-puisi angkatan 2000:
...
aaarrrggghhh, semut-semut mahagaib
menggerogoti dinding-dinding kanal kakiku
...
(Seseorang akan Memanggilku dari Kobaran Api, Zen Hae)
...
Di menara masjid raya, sangkakala menggelegar.
Sekujur kota pun gemetar. Sepucat pasien pada brankar.
...
 (Madiun, Arif Bagus Prasetyo).
Penggunaan hiperbola sering menjadikan puisi lebih kuat, baik dalam suasana, nada, makna, dan dapat pula semakin memperjelas pikiran-pikiran aku liris.
Ironi adalah sejenis majas yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya (Suroto, 1989: 120). Oleh karena itu, kadang majas ini dikategorikan sebagai majas sindiran. Majas ironi dalam puisi yang dianalisis antara lain:
...
Bapak, untuk apa kau tanam pepohon di sana
Kalau hanya membuat rimbun sengketa?
Biarlah kutebang pohon laranganmu
Agar kuganti singkong atau mengkudu
(Kidung Pohon, Jimmy Maruli Alfian)
Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran yang pedas dan kasar (Suroto, 1989). Kata-kata kasar itu kadang tidak enak didengar dan tidak pantas untuk diucapkan. Namun, penggunaan unsur sarkasme dapat memperkuat situasi atau konflik dalam puisi. Dalam puisi angkatan 2000 banyak ditemukan majas sarkasme, antara lain:
...
Yang harus aku babat adalah rambutmu, bukan kuping
Atau lehermu yang tak terawat”
...
(Tukang Cukur, Mashuri)
...
dan bilang. ”Kota ini telah mati. Kau tak perlu lagi berkarib
dengan hotel-hotel sialan! Mulailah hidup dengan sarung,
matahari, dan keringat anyir. Mulailah hidup dengan jalan
becek, teroris badoh, dan penodong kurus di Tugu Muda.”
...
(Kota Senja, Triyanto Triwikromo).
 Pengarang menampilkan pemberontakan secara total, salah satunya adalah denagn menggunakan sarkasme sebagai sarana retorika.
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan antara perasaan dengan kenyataan. Contoh paradoks dari puisi angkatan 2000 adalah:
            sesekali, singgahlah ke ruang sunyi di antara riuh rindu sajakku,
            sajak yang menyertaiku dua windu sejak terakhir kali ku tatap matamu,
            mata yang dihuni gadis pemberani perentang tali,
...
            (Ruang Singgah: Suara Bhisma,Sitok Srengenge)
...
dentang logam, kau dengar, senyap lengking begitu tajam
...
(Akar Berpilin,1, Gus TF).
Karakteristik Bentuk
Perulangan Bunyi
            Peran utama bunyi dalam puisi adalah agar puisi itu merdu jika didengarkan sebab pada hakekatnya puisi adalah untuk didengarkan. Bunyi di dalam puisi berfungsi sebagai pendukung atau pembawa arti simbolik yang ada hubungannya dengan rasa. Perulangan bunyi banyak macamnya, antara lain persajakan (rima), aliterasi dan asonansi, versifikasi, dll.
            Persajakan adalah kesamaan atau kemiripan bunyi di dalam dua kata atau lebih, baik diakhir maupun dalam larik-larik puisi. Menurut Slamet Muljana rima atau sajak adalah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran (dalam Badrun, 1989). Berikut contoh puisi yang mengandung persajakan (rima):
            ...
Tubuhku pohon ranggas
yang bertunas kembali,
sajak cinta yang ditulis ulang
oleh tangan tersembunyi
...
(Sehabis Sakit, Joko Pinurbo)
Dalam puisi di atas terdapat kemiripan bunyi diakhir larik, yaitu persamaan bunyi a i a i sehingga bait dari puisi ini berima a b a b. Adapun contoh yang lain, tetapi masih dalam satu puisi:
...
Bilur-bilur tatu telah membiru
Pada punggung yang dicambuki waktu
Dan tubuhku yang aus terus menari
Sampai kuyub ia sebelum mandi
...
(Sehabis Mandi, Joko Pinurbo).
Pada puisi di atas persamaan bunyi terdapat di larik-larik terakhir di setiap lariknya. Kemiripan yang terjadi antara larik pertama dengan larik kedua dan larik ketiga dengan larik keempat. Persamaan itu adalah u u i i sehingga pada bait ini berima  a a b b.
            Aliterasi dan asonansi, aliterasi adalah persamaan bunyi konsonan yang sama pada awal kata atau perulangan konsonan yang berjarak dekat, sedangkan yang berupa vokal disebut asonansi. Berikut adalah contoh puisi yang terdapat aliterasi dan asonansi:
...
Di lekuk liku lukamu, di mana dendam terbenam,
keteduhan membalur bilur waktu biru lebam,
sepasang cuping hidung saling singgung
Bagai rerajut rumput dan lumut, hidup dan maut bersipagut,
gairah mendesing dari reruntuk puing, ingatan lekang
...
(Lembah Lantana, Sitok Srengenge)
Pada puisi tersebut di atas terdapat persamaan bunyi konsonan dalam satu larik. Larik pertama, terdapat persamaan bunyi konsonan /l/, /k/, /m/, /n/, dan /d/, terdapat pula persamaan vokal /u/ dan /a/. Larik kedua, konsonan yang sama /b/, /m/ dan /r/, serta vokal /u/. Larik ketiga, persamaan konsonannya pada huruf /s/, /ng/, dan /p/, sedangkan perulangan vokalnya adalah /a/, /i/, /u/. Larik keempat, persamaan konsonan pada huruf /r/, /t/, serta penggunaan vokal /u/ dan /i/ yang diulang-ulang. Larik kelima merupakan percampuran perulangan tak tentu, tetapi api masih saling berkait antara kata satu dengan kata yang lain.
Versifikasi
Irama (ritme) berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus. Irama berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Irama dapat juga berarti pergantian keras-lembut, tinggi-rendah, atau panjang-pendek kata secara berulang dengan tujuan menciptakan gelombang yang memperindah puisi (Waluyo, 2003: 12). Dalam puisi yang kami analisis terdapat beberapa contoh ritma antara lain:
...
            ketika ingin aku katakan pada telingamu
aku tak lagi memiliki suara,
ketika ingin aku katakan pada matamu
aku tak lagi memiliki cahaya
...
(Tiga Catatan Tarakhir, Aan Mansyur)
...
Lalu lenguhmu
selembut lembu

Tanah kuyup,
cahaya redup
...
(Lembah Lantana, Sitok Srengenge).
Pada contoh pertama yang tampak jelas adalah ritme penjedaan, kata yang dipilih mirip antara larik pertama dan ketiga. Begitu pula pada larik kedua dan ke-empat. Ritme pada puisi dapat menimbulkan unsur penegasan. Penyair pada puisi pertama seolah menegaskan ketidak-mampuan aku liris dalam mengungkapkan perasaannya. Contoh puisi kedua hampir mirip, tapi yang menonjol dalam penggalan puisi tersebut adalah bentukan bait yang pada akhirnya mempengaruhi pembacaan puisi dan secara tidak langsung juga membentuk ritme puisi. Dalam puisi Mukhid yang berjudul “Tulislah Namaku Dengan Abu”, baris-baris puisi diikat dengan pengulangan kata tertentu sehingga menciptakan gelombang yang teratur.
....
Tulislah namaku dengan abu
Sebab kenangan hanyalah cacatan yang berdebu
Tulislah namaku dengan abu
Untuk sekedar memberi kemungkinan sang waktu
...
Tulislah namaku dengan abu
Berdoalah agar dari kematianku
...
Tulislah namaku dengan abu
Karena rasa berdaya tidak boleh mati begitu saja
...
Tulislah namaku dengan abu
sebab kita tidak pernah berencana bertemu
tulislah namaku dengan abu
biarkan angin membawa pergi kemanapun dia mau
            (Tulislah Namaku Dengan Abu, Mukhid)

Baris atau larik puisi tidak membangun periodisitet atau yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ditepi kanan. Tepi kiri maupun tepi kanan belum tentu terpenuhi tulisan. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi diri (Waluyo, 2003: 97).
            Pengaturan baris dalam puisi sangat berpengaruh terhadap pemaknaan menentukan pemaknaan puisi, karena menentukan kesatuan makna dan juga berfungsi untuk memunculkan ketaksaan makna (ambiguitas). Larik dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan diakhiri dengan titik (.).  Pengaturan dalam bait-bait terlihat jelas pada anggkatan 70-an, namun sudah berkurang pada puisi modern. Namun ada beberapa contoh permainan baris pada puisi-puisi angkatan 2000 antara lain:
...
”Ya, kota semacam itulah yang kuimpikan. Kota cahaya
sulapan. Kota cinta, tanpa tipuan. Apakah Tuan punya cinta dan
cahaya yang meneduhkan? Saya tidak punnya. Saya hanya punya
kenangan. Saya hanya punya impian-impian Sampean. Saya
hanya punya keinginan. Sampanlah yang mewujudkan,” kata
...
(Kota Senja, Triyanto Triwikromo)

penulisan-penulisan seperti ini sangat berpengaruh pada pemaknaan puisi. Meskipun puisi-puisi angkatan 2000 banyak yang berpola prosais tapi bentuk penulisannya masih dapat dibedakan dengan prosa sebenarnya. Hal ini disebabkan bukan hanya karena bentuk tapi juga akibat pemilihan diksi.
Kuda-kuda yang berlesatan di atas laut
Ladamnya menekar-nekar percik gelombang
Semburat bunga-bunga kunyit api

Menyembur fajar-ringkik-merah-merekah
Yang berpantulan di sampan-sampan kecil
Sorotkan bayangan tubuh-sebgar-purbani
...
(Gairah Penyair, H.U Mardi Luhung)

Pada salah satu puisi karya H.U Mardi Luhung di atas seakan mengingatkan kita pada puisi Armin Pane yang berjudul ”Hamba Buruh”
...
Aku menimbang nimbang-mungkin
Kita berdua menjadi satu;
Gaji dihiting-hitung,
Cukup tidak untuk berdua.
...
(Hamba Buruh, Armin Pane)

diantara larik yang menjorok ke dalam bertujuan memberi jawaban kepada larik sebelumnya dan membentuk hubungan kausal seperti kisah dua orang sedang melakukan tanya jawab. Namun, pada contoh puisi angkatan 2000 di atas, pengaturan baris tersebut bukan dimaksudkan untuk memberikan simbol bahwa yang menjorok  atau yang tidak adalah semacam teta-teki atau jawaban atas pertanyaan, namun lebih kepada bukti tetap adanya pengaruh penciptaan puisi baru dengan puisi angkatan sebelumnya. Pengaturan bentuk baris sudah berkurang, walau masih bisa kita jumpai beberapa penyair yang menggunakan gaya tipografi seperti puisi-puisi kontemporer yang menonjolkan bentuk, namun hal itu sangat sedikit. Dari kumpulan puisi angkatan 2000 yang ditemukan, memang sangat sedikit permainan bentuk baris, ada tetapi tidak dominan. Puisi angkatan 2000 masih berkembang, dan sejauh ini bentuk yang paling dominan adalah prosais.
Bentuk puisi pada angkatan 2000 lebih mengarah pada bentuk bebas. Menurut Budianta (2003) puisi bebas/konkret merupakan salah satu ciri puisi modern yang menekankan pada efisiensi kata dan menghindari abstraksi. Pada puisi bebas, bunyi dan suasana masih dominan sedangkan rima kadang tidak lagi menjadi prasyarat.
Puisi-puisi angkatan 2000 umumnya merupakan puisi panjang yang bernuansa prosais. Puisi-puisi yang dianalisis dalam makalah ini juga termasuk puisi panjang. Lihat saja puisi 1 Meter Jalan ke Kiri (Afrizal Malna) yang terdiri dari 5 bait dan 29 baris, Seorang Penyair di Desa Tembok (Made Adnyana Ole) yang terdiri dari 8 bait dan 34 baris, Apel (Nirwan Dewanto) yang terdiri dari 6 bait dan 15 baris, serta puisi-puisi lain yang juga mempunyai pola puisi panjang. Meskipun terdapat puisi pendek tapi keberadaan puisi panjang lebih mendominasi.
Bentuk tipografi pada angkatan 2000 tidak lagi se-aneh  puisi kontemporer pada tahun ’70-an. Puisi-puisi angkatan 2000 umumnya ditulis membujur dari pias kiri menuju pias kanan kertas. Bersama-sama dengan permainan bunyi dan berbagai gaya bahasa yang ada, bentuk turut membangun makna atau suasana tertentu.
Karakteristik Isi
Sayuti (2002) menjelaskan bahwa tugas utama pembaca adalah “merebut makna” dari puisi yang dibacanya karena salah satu unsur puisi adalah kesatuan semantik. Dalam proses merebut makna itulah upaya pemahaman dalam kegiatan apresiasi akan berujung pada pencapaian.
Tema merupakan ide dasar suatu puisi. Menurut Suroso (1989), tema adalah pokok persoalan atau pokok pikiran yang mendasari terbentuknya puisi. Puisi-puisi angkatan 2000 memiliki tema yang sangat beragam. Tema ketuhanan tampak pada puisi karya Dianing W. “Saatku di Pintu Kubur”. Hal itu tertera pada bait-bait terakhir puisinya. Tema protes sosial juga banyak mewarnai puisi-puisi angkatan 2000. tidak dapat dipungkiri bahwa situasi lingkungan, negara, dan dunia saat ini merupakan isu hangat yang dapat menjadi inspirasi bagi pengarang. Namun, dalam angkatan 2000 ini belum ditemukan satu tema yang menonjol.
Waluyo (2003) menjelaskan bahwa nada dan perasaan puisi akan dapat jelas dirasakan saat dilakukan pembacaan puisi (poetry reading). Nada puisi pada angkatan 2000 sangat beragam, tapi nada itu  sangat bergantung pada pembacaannya. Umumnya puisi-puisi angkatan 2000 bernada keras, lugas, dan apa adanya. Suasananya pun juga cenderung syahdu, sedih, dan terluka. Namun tidak semua puisi bernada dan suasana seperti itu. Kita masih dapat menemukan nada dan suasana yang romantis kadang jenaka dalam puisi-puisi angkatan 2000.
Amanat dan pesan dalam puisi adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh penyair kepada pembaca lewat puisinya. Amanat dalam puisi angkatan 2000 biasanya masih tersirat. Perlu pemahaman lebih untuk mendapatkan amanat dan pesan itu. Secara umum amanat dari puisi-puisi ini adalah mengajak pembaca agar menyadari perubahan besar dalam kehidupan akibat pengaruh dari dalam dan dari luar, dan agar pembaca lebih mendekatkan diri pada Tuhan.

UNTAIAN MAKNA PUISI-PUISI ANGKATAN 2000
Puisi ” Menggali Bahasa” Karya Isbedy Stiawan
Menggali Bahasa

Menggali bahasa purba,tapi yang kudengar
kata konotasi, imaji auditif
cuma kawat-kawat, berjuta antena parabola
kata konotasi, imaji visual, hiperbola
tertanam di benakku. Aku bercakap-cakap dengan paris,
kata konotasi, kata konkret,
australia, bon, berlin, amerika
kata konkret
telah kusaksikan ketelanjangan dunia. Perempuan-perempuan yang
kata konotasi, imaji visual, depersonifikasi
tersenyum di depan kamera
kata konkret, imaji visual
menawarkan peradaban tubuh!
kata konotasi, sarkasme

Aku tak paham. Ingin kubahasakan dengan apalagi
kata konkret, imaji taktil
segala peradaban? Telah kukirim berbagai
kata konkret
bahasa ke login-loginmu, tapi parabola
kata konkret
menggantinya dengan perempuan dan darah
kata konotasi
hingga anak-anakku kini bisa tersenyum
kata konkret, imaji visual, paradoks
saat menyaksikan sebilah clurit di leher
kata konkret, imaji visual, paradoks
perempuan sambil memerkosanya
kata konkret, sarkasme

Peradaban macam apa ini? Parabola terus saja
kata konkret
dipancangkan di benakku: akupun membaca london,
kata konotasi, imaji taktil
denhag, bosnia, rusia
kata konkret
lalu di tempat mana kerinduanku untuk
kata konkret
bersujud dan bertasbih dilabuhkan?
kata konkret

Aku telah disesaki percakapan. Berjuta parabola
kata konotasi, imaji taktil, hiperbola
yang digantungkan dibenakku semakin menyileti
kata konotasi, imaji taktil, hiperbola
lidahku. Aku berkata-kata dengan bahasa London,
kata konkret
paris, amerika, australia, ataupun rusia
kata konkret
Aku semakin jauh meninggalkan bahasa ibu
kata konotasi
kelahiran yang ditebus dengan darah dan cinta
kata konotasi

                                                                                                            Isbedy Stiawan
Dalam puisi di atas penyair banyak memakai kata konkret. Meskipun begitu, untuk pemaknaan terhadap puisi ini diperlukan pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan subjek yang dituju oleh sang penyair.
Terdapat perulangan bunyi ”aku” yang pada awal larik yang dimaksudkan untuk menggiring dan memfokuskan pembaca pada apa yang diinginkan penyair dalam puisi ini. Perulangan ini sangat mempengaruhi makna dari puisi bahwa dia telah melupakan dirinya sendiri sebagai bangsa Indonesia yang sangat pandai berbicara dengan bahasa asing dan perlahan meninggalkan bahasanya sendiri.
Puisi karya Isbedy Stiawan ini secara garis besar berisi tentang protes sosial yang terjadi di Indonesia pad saat ini. Dampak globalisasi begitu kuat mempengaruhi budaya dan bahasa Indonesia.
Pada bait pertama, terdapat kata “parabola”. Penyair menggunakan kata tersebut yang melambangkan keadaan pada era globalisasi bahwa informasi begitu mudahnya kita terima seolah tiada lagi batas-batas negara. Penyair menggambarkan betapa para perempuan sudah tidak malu lagi mempertontonkan auratnya di depan khalayak umum.
Pada bait kedua, penyair menceritakan bahwa kejahatan begitu merajalela. Kita begitu sering mendengar beita pemerkosaan baik dari televisi maupun radio seolah itu menjadi santapan kita sehari-hari sehingga menjadi hal yang biasa.
Di samping protes sosial, penyair menyatakan kerinduannya untuk beribadah kepada Tuhan. Ini terdapat pada bait ketiga. Di tenga hiruk-pikuk kehidupan di era globalisasi ini sangat memungkinkan seseorang untuk Tuhannya, tetapi tak jarang keadaan seperti ini membuat kita bosan. Maka dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhanlah kita mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya.
Pada bait keempat, penyar menggambarkan bahwa bangsa Indonesia perlahan telah meninggalkan bahasanya sendiri. Penyair menceritakan bahwa ia begitu lancer berbicara dengan berbagai macam bahasa di dunia, tetapi bahasanya sendiri mulai ditinggalkannya. Hal ini dipertegas pada bait kelima. Yang dimaksud dengan “bahasa ibu” pada bait kelima adalah bahasa kita, bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia tidak diperoleh bangsa Indonesia begitu saja. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang diperjuangkan dengan pengorbanan dan cinta terhadap tanah air . Sehingga sangat ironis jika kita tidak bangga terhadap bahasa Indonesia dan bahkan lebih bangga jika menggunakan bahasa lain.  
   Dengan demikian, terdapat pesan tersirat dari karya Isbedy Setiawan ini bahwa budaya dan bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa kita yang harus kita pertahankan. Terbunuhnya suatu bangsa dari muka bumi diawali dengan terbunuhnya bahasa. Maka sebagai bangsa Indonesia kita harus bangga terhadap bangsa kita sendiri.
Puisi ”Sonet 1” karya Sapardi Djoko Damono
Sonet 1
:Andy, Pengamen

Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam,
            imaji auditif                                  imaji visual
mendengarkan gerimis yang berderai lalu
imaji auditif         imaji taktil
bagai benang terurai dari langit yang dalam
                        simile
Adakah kau saksikan  aku mendengarkanmu?
              imaji auditif                       imaji taktil
Aku diam, mendengar dan tidak mendengar
                        Imaji visual
suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”
                        imaji auditif
katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar
              imaji visual                         personifikasi

bagai tirai warna-warni, hanya untukku.
            simile
Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan
                                    imaji taktil
Mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,
                        personifikasi       
Apakah yang kau inginkan dariku yang bertahan
                         imaji visual
Agar tak sebutir pun dari mata menetes?
                        personifikasi
Aku menyanyi untukmu, selalu”, katamu
            imaji auditif
Gila, kautusukkan juga senyap senar itu!
            imaji taktil   imaji visual, metafora

(Sapardi Djoko  Damono)
            Puisi buah karya Sapardi Djoko  Damono banyak menggunakan kata-kata maupun frasa yang bermakna konkret. Frasa itu antara lain: /“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam, mendengarkan gerimis yang berderai lalu/ /Adakah kau saksikan  aku mendengarkanmu/ /Aku diam, mendengar dan tidak mendengar/ /suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/. Selain itu, terdapat frasa konotatif. Frasa itu antara lain: /mendengarkan gerimis yang berderai lalu/ /Aku diam, mungkin gerimis bergetar/.
            Dalam puisi Sapardi Joko Damono terdapat auditif visual yaitu kata-kata yang dapat dilihat oleh pembaca. Imajeri itu antara lain: /Aku diam, mendengar dan tidak mendengar/. Selain itu, ditemukan imaji  auditif yaitu penciptaan ungkapan oleh penyair sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair. Frasa auditif tampak dalam kutipan berikut: /“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam, Mendengarkan gerimis yang berderai lalu/. Imaji taktil turut menghiasi puisi Sapardi Joko Damono, tampak dalam kutipan berikut: /Mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis/ /Apakah kauinginkan dariku yang bertahan/ /Agar tak sebutir pun dari mata menitis/.
Bahasa kias yang ada dalam puisi Sapardi Joko Damono berupa simile, personifikasi, metafora. Bahasa kias berupa simile tampak dalam kutipan berikut: /Mendengarkan gerimis yang berderai lalu/ /Bagai benang terurai dari langit yang dalam/ /Adakah kau saksikan aku mendengarkanmu?/ /katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar/ /Bagai tirai warna-warni, hanya untukku./. Bahasa kias berupa personifikasi tampak dalam kutipan berikut: /Aku diam, mungkin gerimis bergetar/ /Mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis/. Bahasa kias berupa metafora tampak dalam kutipan berikut: /“Aku menyanyi untukmu, selalu”, katamu/ /Gila, kau tusukkan juga senyap senar itu!/.
Perulangan bunyi yang tampak dalam puisi Sapardi Joko Damono berupa persajakan dan versifikasi. Berikut kutipan persajakan: /Aku diam, mendengar dan tidak mendengar/ /Suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/ / Katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar / /Bagai tirai warna-warni, hanya untukku/.
Pada penggalan puisi di atas, terjadi persamaan bunyi diakhir larik yaitu ar u ar u. Hal ini berarti puisi tersebut berima atau bersajak a b a b. Rima tidak hanya terdapat pada akhir larik(sering disebut rima akhir), tetapi juga terdapat di larik-larik puisi. Contoh lain misalnya:/Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan/ /mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,/ /apakah yang kau inginkan dariku yang bertahan/ /agar tak sebutir pun dari mata menitis?/.
Pada contoh 1 terdapat persamaan bunyi  di akhir larik yaitu an is an is. Hal ini sebagai penanda bahwa pada bait ini puisi berima a b a b karena adanya perulangan bunyi yang sama, yaitu baris 1 sama dengan baris 3 dan baris 2 sama dengan baris 4.
Versifikasi dalam puisi Sapardi Joko Damono berupa baris. Terdapat permainan baris pada puisi-puisi yang berjudul Sonet 1 yaitu: /aku diam, mendengandan tidak mendengar/ /suaramu. ”Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/ /katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar/.
            Puisi yang berjudul “Sonet 1” ini secara umum menceritakan ungkapan hati seorang pengamen yang ingin menunjukkan pada masyarakat tentang keberadaannya, namun di tengah kondisi masyarakat yang individual, keberadaan pengamen ini tidak terlalu diperhatikan, maka pengamen mulai bersuara supaya kata hatinya didengar oleh lingkungan sekitar. Keberadaan pengamen ditampakkan penyair pada perulangan kata /Aku/ yang ada dalam tiap baris puisi Sapardi. Selanjutnya, puisi ini juga menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang tidak peduli pada keberadaan masyarakat kecil. Tampak pada kutipan /“Aku diam, mendengarkan gerimis yang berderai lalu”/. Pada puisi ini juga menggambarkan adanya perbedaan status atau kondisi dalam suatu masyarakat. Keadaan ini benar-benar peristiwa nyata yang ada dalam kehidupan masyarakat saat ini.Hal ini dapat kita lihat pada bait ketiga dilukiskan peristiwa itu dalam larik /bagai benang terurai dari langit yang paling dalam/.
Baris kedua pada puisi Sonet 1 isinya tidak hampir beda dengan puisi baris kesatu, yaitu lebih mempertegas lagi eksistensi pengamen pada masyarakat agar tersalurkan suara hatinya. Pengamen tidak peduli dan tidak pernah lelah untuk bernyanyi. Tampak pada kutipan berikut “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”. Namun yang didapatkan pengamen tersebut tetap rasa acuh. Nyanyian pengamen diibaratkan sebagai luapan kesedihan mengapa pengamen tersebut memiliki nasib yang berbeda dengan yang lain. Tampak pada kutipan berikut /Aku diam, mungkin gerimis bergetar bagai tirai warna-warni, hanya untukku/.
Baris ketiga berisi jawaban atas luapan hati pengamen. Mereka (bisa masyarakat) mengungkapkan bahwa mereka tidak yakin bisa membantu kehidupan pengamen supaya lebih layak, maka buat apa pengamen terlalu banyak meminta harapan pada mereka. Pengamen telah salah bila mengharapkan kelangsungan hidupnya pada mereka /Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan/ mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,/ apakah yang kau inginkan dariku yang bertahan/ agar tak sebutir pun dari mata menetes?
            Baris terakhir susah sekali ditangkap maknanya. Dapat diartikan, pengamen tidak pernah lelah untuk terus bernyanyi, walaupun tidak ada harapan untuk kemajuan hidupnya. Jadi, kesimpulan yang dapat kita ambil dalam puisi ini adalah potret kemiskinan yang mewarnai Indonesia. Apabila tidak dihentikan akan semakin parah kemiskinan di Indonesia. Selain itu, puisi ini berupa sindiran kepada Pemerintah supaya lebih memperhatikan nasib kaum miskin.
Nilai filosofi yang tampak dalam puisi yang berjudul Sonet 1 berupa nilai budaya dan nilai pendidikan. Nilai budaya yang tampak pada puisi  Sapardi Joko Damono adalh sikap individualitas sosok manusia. Saat ini sering kita temui sikap individualitas berupa sifat acuh tak acuh. Orang memiliki sifat acuh tak acuh tidak pernah peduli akan keadaan orang lain, khususnya keadaan orang yang miskin. Dalam puisi ini, pengarang mengangkat kehidupan sosok pengamen yang sering mendaptkan perlakuan acuh dari orang lain, khususnya saat sedang mengamen. Terlihat jelas terdapat harapan dan keinginan yang tidak sejalan untuk mencapai sebuah keinginan yaitu ingin diperhatikan dan diakui keberadaan dirinya. Tampak dalam kutipan berikut: /“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam,/ /mendengarkan gerimis yang berderai lalu/ /bagai benang terurai dari langit yang dalam/ /Adakah kau saksikan  aku mendengarkanmu?/.
Puisi  Sapardi menggambarkan realitas nyata keadaan Indonesia. Realitas nyata itu sebagai dampak dari kemiskinan. Kemiskinan adalah potret kehidupan yang menunjukkan  kesenjangan antara si kaya dengan si miskin. Salah satu dampak kemiskinan berupa pendidikan yang masih rendah cukup mendominasi Negara kita. Hal ini tampak dari banyaknya pengamen yang menjamur dimana-mana. Kesulitan mencari pekerjaan membuat para pencari kerja membanting setir menjadi pengamen. Walupun sering mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, pengamen tetap menjalankan kehidupannya sebagai pengamen.  Tampak dalam kutipan berikut: /Aku diam, mendengar dan tidak mendengar/ /suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”/ /katamu./.
Kutipan puisi di atas menggambarkan percakapan antara pengamen dengan seseorang (yang memiliki kehidupan yang layak). Mereka memiliki pandangan hidup yang berbeda. Tokoh aku liris menginginkan mengerjakan apa yang ia kuasai tanpa peduli kenyamanan orang lain, sedangkan maksud dari seseorang dalam puisi ini adalah perasaan terganggu dengan kehadiran seorang pengamen yang semakin menyesaki hampir di seluruh daerah Indonesia.
Puisi “Mengharap Hujan” karya D. Zawawi Imron
Mengharap Hujan

Daun-daun berhijauan di rimba hutan
kata konkret, imaji visual, asonansi
membuat aku dan engkau percaya lagi pada hujan
kata konotatif, asonansi
pada esok yang kapan
kata konotatif, imaji taktil
bunga-bunga liar akan mekar
kata konotatif, imaji visual
Tapi pada kemudian yang kesekian
kata konotatif, imaji taktil
ada janji diingkar
imaji taktil
Aku tak tahu,
imaji taktil
kita atau siapa
imaji taktil
yang membuat semua ini jadi terbakar
kata konotatif, imaji visual
Termasuk hujan
kata konkret, imaji visual
dan kupu-kupu
kata konkret, imaji visual
dan bangku bambu
kata konkret, imaji visual
tempat kau dulu menunggu aku
kata konkret, imaji visual

Sambil mengusap dada
kata konkret, imaji visual
aku hanya bisa mengira-ngira
kata konkret, imaji visual
atau curiga,
imaji taktil
tentang laki-laki yang melangkah ke masa depan
kata konotatif, imaji visual
ke sebuah lembah gembur
kata konotatif, imaji visual
yang akan jadi rawa oleh selembar nota
kata konotatif, imaji visual
yang  konon menghalakan makan kuman-kuman
kata konotatif, imaji visual, sarkasme
asal dimasukkan dengan cara yang sopan
kata konotatif, imaji visual, ironi

Langkah-langkah itu akan mengalir
kata konotatif, imaji visual
ke seutas sejarah
kata konotatif, imaji taktil, metafora
Tanyakan saja kepada daun kemukus
kata konotatif, imaji visual
bunga bungur dan kembang-kembang kaktus
kata konotatif, imaji visual
Mereka akan menjawab dengan takut,
kata konotatif, imaji visual, personifikasi
bahwa untuk rakus
imaji taktil, ritma, sarkasme
orang tak perlu kursus
kata konkret, ritma
untuk serakah
ritma
barangkali diperlukan sekolah
kata konkret, ritma

Tambah lagi tentang bintang berekor
kata konotatif, imaji visual, aliterasi
yang dipercaya  menentukan nasib baik aktor
kata konotatif, imaji visual, aliterasi
yang mungkin tak jujur
imaji taktil, aliterasi
bicara  tentang beda kapur dan putih telur
kata konotatif, imaji visual, aliterasi
yang ditemukan dibawah kursi terhormat itu
kata konotatif, imaji visual

Silahkan saja engkau terbahak
kata konkret, imaji visual, imaji auditif
mengganti palu dengan kapak
kata konotatif, imaji visual
kalau ada gunanya
imaji taktil
tapi jangan sampai menambah
imaji taktil
jumlah korban yang tidak bersalah
imaji visual

Sedangkan aku masih ingin bernafas
kata konotatif, imaji taktil
Ingin tertegun sekian jenak
kata konotatif, imaji visual, metafora
Untuk meluruskan rasa malu yang sudah aus
kata konotatif, imaji visual

Jika masih punya rasa sayang
kata konkret, imaji taktil
Apa tak sebaiknya, kita mengharap hujan
kata konotatif, imaji taktil
meniru hujan
kata konotatif, imaji taktil
menjadi hujan
kata konotatif, imaji taktil
di atas bumi yang kehausan
kata konotatif, imaji taktil

(D. Zawawi Imron)
Puisi ini merupakan puisi panjang yang terdiri dari 7 bait dan 48 larik. Diksi yang digunakan sederhana, meskipun dalam kesederhanaannya terdapat makna yang dalam dan berisi. Penyair banyak menggunakan kata konotatif untuk menggambarkan pikiran-pikiran aku liris. Imaji yang digunakan kebanyakan adalah imaji visual. Aku liris mencoba memperlihatkan keprihatinannya terhadap lingkungan dan kondisi di sekitarnya. Dalam puisi ini juga ditemukan penggunaan personifikasi untuk menegaskan pendapat aku liris. Dalam beberapa barisnya tampak penggunaan sarana retorika sarkasme.
Judul Mengharap Hujan yang dipilih secara sepintas menggambarkan pemilihan diksi yang sederhana. Puisi  karya D. Zawawi Imron ini banyak menggunakan kata yang digunakan sehari-hari. Namun, rangkaian kata-katanya menimbulkan pengertian dan makna yang mendalam. Meski sederhana, kadang sulit menangkap makna kata-katanya bila hanya dibaca satu kali. Puisi ini secara umum menceritakan tentang tanggapan terhadap kondisi pemerintahan. Pada bait pertama aku liris menggambarkan setitik harapan yang tak pasti, yang tergambar dalam baris kedua dan ketiga. Harapan tersebut benar-benar tidak pasti karena penyair memilih menggunakan diksi ganda, yaitu kata /esok/ yang belum pasti dan kata /kapan/ yang semakin menimbulakan tanda tanya.
            Pada dunia nyata, hujan merupakan fenomena alam yang sering terjadi, terutama di daerah tropis. Namun, dalam puisi ini hujan diartikan sebagai janji, selain itu hujan juga digambarkan sebagai harapan akan datangnya kebaikan, kemakmuran dan keindahan. Meski akhirnya harapan itu tidak terjadi (tidak ditepati). Karena aku liris menemukan sebuah janji yang diingkari. Aku liris hanya bisa menyimpan tanya tanpa tahu kenyataannya. Banyak orang yang mungkin menjadi dalang dalam pengingkaran tersebut. Hal itu tampak pada diksi /kita atau siapa/. Pengingkaran itu, walaupun masih dipertanyakan pelakunya, telah mengakibatkan kehancuran yang besar, kehancuran kehidupan dan kehancuran kenangan.
            Dalam tanya aku liris tetap bersabar meskipun dia diliputi tanda tanya hingga berujung pada kecurigaan. Yang dicurigai oleh aku liris adalah orang yang terpilih menjadi pemimpin, memimpin negara selama kurun waktu tertentu ke depan. Laki-laki yang digambarkan oleh aku liris merupakan seorang pemimpin yang ditangannya-lah nasib ditentukan. Pemimpin, apalagi pembuat kebijakan, selama masa jabatannya akan berada pada posisi yang sangat menguntungkan, hingga banyak orang yang menyebut posisi itu “lahan basah” dan dalam puisi diumpamakan “lembah gembur”. Bagi petani lembah gembur adalah tempat yang subur dan banyak menghasilkan. Kadang kebijakan yang salah dan hanya mencari untung bisa membuat lahan subur itu tidak dapat diolah lagi.
            Walau demi keuntungan itu, orang harus melakukan tindakan yang tidak baik, dan dapat berujung masalah. Namun, dengan taktik dan tipu daya serta licinnya sogokan, hal itu dianggap sah-sah saja. Geramnya aku liris menimbulkan sindiran yang terlihat pada bait ke-dua. Kuman adalah pembawa penyakit, dan memakan makanan pembawa penyakit itu dilarang (mungkin diharamkan oleh agama). Namun, oknum tertentu menyiasati hal itu dengan menghalalkan segala cara.
            Perjalanan karir laki-laki itu akan terus berlanjut hingga akan berujung pada sebuah goresan tinta dalam sejarah. Mengapa begitu? Hal itu dikarenakan hanya waktu yang selalu terjaga dalam kehidupan. Jejak waktu menyisakan sebuah sejarah, dan sejarah tak pernah lengah. Sejarahlah yang selalu setia mengawal masa, merekam kejadian demi kejadian meski ada oknum-oknum yang ingin mengubah kebenaran sejarah. Tapi tidak semua seperti itu, masih ada juga orang-orang yang tetap mencoba bertahan hidup dengan kejujuran.Daun kemukus, bunga bungur dan kembang kaktus adalah tanaman yang selalu mencoba bertahan dalam kemandirian, tegar menghadapi kekurangan dan tidak memaksakan diri untuk meminta belas kasihan (meminta disiram). Penyair mengajak pembaca bertanya pada mereka. Apa yang harus ditanyakan? Kebenaran. Kenyataan. Hal itu tampak pada bait ke-tiga.
            Pada bait keempat, muncul seorang tokoh lagi yaitu bintang berekor. Siapa bintang berekor? Dalam astronomi, munculnya bintang berekor selalu diamati, dipuja-puja, dan banyak ketertarikan ditimbulkan. Sama dengan tokoh  masyarakat, entah  pejabat, pengusaha, atau yang lain kehadirannya menimbulkam kepercayaan, meski hal itu belum dapat dibuktikan. Bahkan, yang sudah ditemukan perbedaannya dengan jelas, bisa saja disembunyikan sesuatu itu berhubungan langsung dengan kedudukan pemimpinnya.
            Hingga aku liris merasa masa bodoh dengan mempersilakan oknum-oknum tidak bertanggung jawab itu bertindak semaunya. Bersenang-senang dan berpesta pora merayakan kemenangannya. Hal ini tampak pada bait kelima. Aku liris juga tidak akan peduli meskipun hukum aka diganti dengan kekerasan, bila hal itu memiliki manfaat entah untuk siapa. Aku liris hanya menginginkan ketenangan untuk mendapatkan  introspeksi diri agar bisa mengembalikan inti dari pandangan hidupnya (rasa malu).
            Pada akhirnya aku liris tetap berusaha mengajak dan menyadarkan oknum-oknum itu mempertanyakan perasaan mereka. Aku liris untuk menanam kembali harapan, merawat hinga benar-benar mewujudkan harapan itu untuk mengembalikan hidupnya menjadi lebih baik.  /meniru hujan/, /menjadi hujan/, /diatas bumi yang kehausan/.
Puisi ini memberikan sindiran baik  halus maupun kasar terhadap pemerintah agar tidak hanya memberi harapan tapi juga mewujudkannya. Agar tidak tertipu pada pesona orang-orang licik, dan agar tidak tergoda oleh keuntungan dengan mengorbankan segalanya dan menghalalkan segala cara.
Puisi ”Saatku di Pintu Kubur” karya Dianing Widya Yudhistira
Saatku di Pintu Kubur
Kucari diri dalam segelas anggur, Segelas tuak penawar kemarau
Kata konkret, simile, imaji visual
Padang luas hamparan lolongan anjing
Metafora, kata konkret, imaji visual
Diantara rak-rak sepatu terapak kakimu masih membekas warna
Imaji visual, kata konkret
kesumba darah. Kukecap rindumu lewat darah mengalir,
kata konotatif, imaji taktil
membelah luka. Laksana lengkung di pematang padi.
Simile, kata konotatif, imaji visual
Menawar segar desah ngiau napasmu, kutamukan di atas ranjang
Imaji auditif, kata konotatif
Tertata rapi buku-buku kuno di rak yang lapuk.
kata konkret, imaji visual
Di lenganmu kubaca pergulatan tubuh dangan tubuh
Imaji visual, kata konotatif
Tersingkap kain, larut ke telaga tak berwarna. Kubangun rindu
Kata konotatif, imaji visual
Menjelma lembah nan sunyi dari makna
Kata konotatif, imaji taktil

Rembulan di atas masjid
Imaji visual, kata konkret
Terdengar alunan makna, menyusup ke dada melewati parit-parit kecil
Imaji auditif, kata kontatif,
Aku cari di lorong-lorong masa, hingga gang-gang sungai-Mu
Kata konotatif,
Di ketiakmu, kelangkangmu dan anyir bau ketiakmu.
kata konkret
kutemukan damai yang hilang kembali
imaji taktil,

Bacakan aku ayat-ayat suci.
 kata konkret, Imaji auditif                                                                          
Panggilkan aku nabi
kata konotatif
Berikan aku kaca mata
kata konotatif, kata konkret
Aku rindu parit Allah mengalir madu
Kata konotatif, imaji taktil
Aku rindu parit Allah mengalir susu
Kata konotatif, imaji taktil
Aku juga rindu akan nabiku duduk disisisku
Kata konotatif,
Damai
 kata konotatif, imaji taktil
                                                                                             (Dianing Widya Yudhistira)
            Pada puisi ”Saatku di Pintu Kubur” diksi yang digunakan lebih bermakna konotatif. Frasa-frasanya banyak yang bermakna konotasi sehingga kita tidak langsung bisa mengetahui pesan atau makna apa yang terkandung di dalamnya. Contohnya pada larik ke-9 dan 10 bermakna bahwa si Penyair merasakan suatu kerinduan dan ia berusaha untuk mengobati rindunya itu, tetapi semakin Penyair mencari pengobat rindu itu semakin maka yang Penyair rasakan adalah kehampaan. Imajeri yang digunakan dalam puisi ini antara lain imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil. Bahasa kias yang digunakan dalam puisi ”Saatku di Pintu Kubur” karya Dianing Widya beragam diantaranya, yaitu pada larik ke-2 termasuk jenis gaya bahasa metafora. Sarana retorika terdaaapat pada larik ke-14 merupakan suatu pernyataan atau frasa yang dilebih-lebihkan secara kasar.
            Bentuk puisi ini dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya persajakan, aliterasi, asonansi, irama, baris atau larik, dan bentuk puisi itu sendiri. Pertama, dilihat dari persajakannya ada yang kemiripan bunyi di awal larik dan ada juga diakhir larik-larik puisi, untuk yang diawal larik contohnya pada larik 19, larik 20, dan larik 21 ada kemiripan bunyi yaitu ”aku rindu” ini mengalami perulangan berkali-kali. Kedua, aliterasi pada puisi ini untuk larik 1 bunyi konsonan yang sama /g/ dan /s/, larik 2 konsonan yang sama /n/, larik 3 bunyi yang sama adalah /k/ dan /m/, larik 4 yang sama adalah konsonan /k/ dan /m/, larik 5 persamaan bunyi konsonan /l/ dan /ng/, larik 6 persamaan pada /m/ dan /n/, larik 7 yang sama huruf /t/ dan /k/, larik 8 terdapat kesamaan bunyi /t/ dan /n/, larik 9 konsonan yang sama yaitu /k/ dan /n/, larik 10 persamaan terdapat pada huruf /m/ dan /n/, larik 11 persamaan pada huruf /m/, larik 12 konsonan yang sama /m/ /t/ dan /n/, larik 13 persamaan yang sama /ng/, larik 14 persamaannya adalah /k/ dan /m/, larik 15 terdapat persamaan konsonan pada huruf /k/, larik 16 persamaan pada /y/ dan /k/, larik 17 huruf konsonan yang sama adalah /g/, larik 18 yang sama adalah /k/, larik 19 konsonannya adalah /l/, larik 20 persamaan konsonannya /l/, larik 21 persamaan bunyi konsonan pada huruf /d/ /s/ /dan /k/. Ketiga, asonansi untuksetiap larik pada dasarnya didominasi oleh huruf vokal /a/, /i/, /e/, /u/, dan /o/. Keempat, irama berhubungan dengan perulangan bunyi untuk puisi ”Saatku di Pintu Kubur” ini terdapat pengulangan frasa pada larik 19, larik 20, dan larik 21 yaitu frasa /aku rindu/ yang menegaskan kerinduan penyair pada Sang Nabi dan Pencipta alam semesta ini. Kelima, baris atau larik berpengaruh pada pemaknaan puisi. Contoh pada larik 3 sampai larik 5. Keenam, bentuk puisi ini termasuk dalam puisi bebas dan tidak terikat oleh aturan seperti puisi lama.
Puisi yang berjudul “Saatku di Pintu Kubur” karya Dianing Widya Y. menceritakan tentang kisah perjalanan seorang hamba yang merindukan Allah. Ia sangat merindukan kehidupan akhirat yang tergambar indah dalam angannya.
Di sini aku liris ingin bertaubat atas segala kesalahannya. Dalam pencariannya mencari Allah tak kunjung mendapat jalan atau petunjuk. Setiap aku liris akan menemukan jalan itu, tapi dengan itu pula jalan pun hilang kembali. Ia bingung ke mana harus mencari. Segala macam cara telah ia lakukan demi pencarian itu, tetapi hasilnya nol tanpa hasil. Pencarian ini dapat dilihat pada larik /kucari diri dalam segelas anggur/ /di antara rak-rak sepatu kakimu/ /aku cari di lorong-lorong masa, hingga gang-gang sungai-Mu/ /di ketiakmu, kelangkangmu, dan anyir bau ketiakmu/.
 Berdasarkan kata-kata tersebut dapat diidentifikasikan bahwa aku liris dalam pencarian menuju Jannah-Nya tidak hanya melalui satu jalan, tetapi banyak jalan. Selain pencarian Tuhan, aku liris juga mencari jati dirinya. Ini terlihat dari frasa /kucari diri dalam segelas anggur, segelas tuak penawar kemarau/ /ku bangun rindu/ /menjelma lembah yang sunyi dari makna/ /bacakan aku ayat-ayat suci/, /panggilkan aku nabi/ /beri aku kaca mata/.
Dalam puisi ini pengarang Dianing Widya Y., ingin menggambarkan kehidupan seseorang yang salah menempuh jalan sesat saat hidupnya dan ketika ajal tlah menjemput, ia masih dalam pencarian pada Tuhan-nya. Dalam balutan kain kafan dari seorang mayat manusia, penyair mencoba menelusuri atau menghayati hikmah apa yang dapat diambil dari kejadian kematian manusia. Mayat itu pun dibacakan ayat-ayat suci dan dishalatkan. Dalam hati ia berteriak /bacakan aku ayat-ayat suci/ /panggilkan aku nabi/ /aku rindu parit Allah mengalir madu/ /aku rindu parit Allah mengalir susu/ /aku juga rindu akan nabiku duduk di sisiku/ /damai/.
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari puisi ini adalah bagaimana seseorang memaknai hidupnya ketika ia masih mempunyai kesempatan hidup karena apabila ajal telah menjemputnya semua akan terlambat untuk menyesal. Penekanan dalam puisi “Saatku di Pintu Kubur” yaitu kerinduan penyair terhadap Allah SWT dan ketika melihat kematian ia teringat akan perdamaian dan keindahan kehidupan akhirat.
Puisi “Napas Gunung” karya Acep Zamzam Noor
Seperti senja yang bersimpuh ke kaki langit
Kata konotatif, imaji taktil, imaji visual
Kupuja bola matamu yang melelehkan cahaya redup
Kata konotatif, imaji taktil, imaji visual
Serta hurup-hurup samar yang menuliskan
Kata konotatif, imaji taktil
Keabadian.Senyummu yang tergantung di udara
Kata konotatif, imaji taktil, imaji visual
Dinaungi gumpalan mendung yang kemerahan
Kata konotatif, imaji taktil
Tuturmu yang menggulirkan butir-butir embun
Kata konotatif, imaji taktil, imaji visual
Tak bisa kutampung dengan bibirku yang bergetar
Kata konotatif, imaji visual

Nafas gunung yang dikibarkan kerudungmu
Kata konotatif, imaji taktil, imaji visual
Menghijaukan sawah-sawah di hatiku
Kata konotatif, imaji taktil
Selembar sajadah yang dihamparkan rindu
Kata konotatif, imaji taktil
Membuatku tersungkur lagi.Kuhirup wangi tanah
Kata konotatif, imaji taktil
Kucium akar rerumputan dan dingin batu:
Kata konotatif, imaji taktil
Seorang lelaki berlumuran darah itu
Kata konotatif, imaji visual
Agar langit menampakkan rahasia keindahannya
Kata konotatif, imaji visual
Pada bumi. Parasmu yang dipantulkan sinar bulan
Kata konotatif, imaji visual
Dengan bulu-bulu halusnya yang tersapu tiupan angin
Kata kongktret, imaji visual
Seakan menyibakkan yang selama ini tertutupi
Kata kongkret, imaji taktil
Itulah sebabnya aku memuja bola matamu
Kata kongket , imaji taktil
Seperti seribu laron mengerumuni satu-satunnya
Kata konotatif, imaji visual
Nyala lampu
Kata kongktret, imaji visual
(Acep Zamzam Noor)
Berdasarkan analisis struktual, puisi Napas Gunung di atas didominasi oleh kata konotasi dan imaji taktil. Majas yang digunakan adalah majas metafora, simili, hiperbola, dan paradoks. Metafora memandingkan dua hal secara implisit. /Kupuja bola matamu yang  melelehkan cahaya redup/  seakan membandingkan antara bola mata dengan benda yang dapat melelehkan sesuatu. Simili membandingkan sesuatu secara eksplisit yang ditandai dengan pemakaian kata seperti, sebagai, serupa, bagai, laksana dan lainya. Pada salah satu puisi karya Acep Zamzam Noor tersebut terdapat majas simili, yaitu yang terdapat pada bait pertama dan sembilan belas. Pengarang memakai pilihan kata yang bermakna perbanding yang ditandai dengan kata ”bagai” /Seperti senja yang bersimpuh ke kaki langit/ dan /Seperti seribu laron mengerumuni satu-satunnya/ . Hiperbola tampak pada baris ke empat, /Keabadian. Senyummu yang tergantung di udara/ adanya pernyataan yang dilebih-lebihkan dan tidak wajar pada kata konotasi /..senyummu yang tergantung.../. Gaya bahasa yang menampakkan benda-benda mati seolah-olah bernyawa dan melakukan sesuatu, personifikasi tampak pada baris delapan /Nafas gunung yang dikibarkan kerudungmu/. Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan antara perasaan dengan kenyataan. Dalam puisi di atas, paradoks terdapat pada bait ke lima /Dinaungi gumpalan mendung yang kemerahan/ . Adanya pertentangan antara mendung, namun warnanya kemerahan, secara kenyataan apabila mendung tentu berwarna hitam, bukan merah.
            Sekilas puisi ini seperti menceritakan tentang seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta atau mengagumi seorang wanita yang elok paras dan agamanya, yang tecermin pada pesonanya.Wanita yang sempurna di mata akulirik yang begitu teguh imanya dan muslimah yang baik. Namun, apabila kita telusuri lebih lanjut puisi ini sebenarnya berisi tentang kerinduannya akan kebesaran Tuhan dengan segala kuasan-Nya.
            Aku liris menggambarkan kekuasaan Tuhan yang tanpa batas dan tidak tertandingi sebagai gunung yang senantiasa berdiri tegak, tidak terkalahkan oleh badai, topan,  ataupun tangan jahil manusia, akan tetapi apabila dia marah, maka segala yang ada di hadapanya akan tersapu habis, karena memang kekuasaanya tidak tak terbatas. /nafas gunung/ mensimbolkan bahwa Tuhan itupun hidup, Dia benar-benar ada.
   Aku liris bertekuk lutut terhadap pesona Tuhan. Diapun jatuh cinta. Berasa begitu agung dan mulia kehadiranNya /seperti senja yang bersimpuh di kaki/. Namun mulai timbul kesadaran akan siapa dia bisa mengagumi Tuhan yang begitu agung. /cahaya redup/ melukiskan bahwa dirinya tidak ada apa-apanya, tak akan ada yang mempedulikannya karena begitu buruk dirinya yang telah kehilangan cahaya, namun dia berharap cahaya yang berasal dari Tuhan akan datang kepadannya. Cahaya tersebut yang akan membuatnya bisa melihat, menerangi hidupnya yang redup, memberikannya warna baru.
            Aku liris menyadari begitu jauh perbedaan dirinya dengan Tuhan yang seakan /tergantung di udara/, melukiskan bahwa Tuhan sangat jauh tempatnya dari kita, di tempat agung di atas segala yang tinggi. Tuhan yang tidak akan bisa dia gapai, bahkan untuk senyum-Nyapun tidak. Rasanya begitu mahal senyum itu oleh karena /dinaungi gumpalan mendung yang kemerahan/. /mendung/ tersebut menggambarkan kedukaannya melihat ulah ciptaan-Nya. Aku liris begitu haru akan kesabaran yang dimiliki Tuhan yang empunnya segalanya, bahwa tutur kata yang begitu halus bagaikan /embun/, menyejukkan dan dinantikan setiap orang tidak bisa dimiliki aku liris secara penuh. Dia terlalu tidak layak, tak ada kekonsistenan dalam dirinya ketika menyerukan namanNya.  /bibirku yang bergetar/ membuktikan bahwa kesalahan yang dibuat oleh karena ucapannya tidak layak mendengar /tuturmu/. Bibir yang penuh dengan dosa membuatnya sadar bahwa untuk memanggil nama-Nya saja, sebenarnya tidak layak.
            Kebesaran yang ada pada Tuhan dilukiskannya sebagai gunung yang tangguh tersebut sangat diharapkan oleh aku liris agar mau menampakkan diri-Nya, walau dia merasa bahwa hal itu kecil kemungkinan untuk terjadi, namun dia tetap berharap. Menyadari bahwa hanya Dia saja yang mampu memberikan kesegaran terhadap dirinya yang sudah rapuh, kering dan sepi. Aku liris memuja Tuhan yang telah menghidupkan imanya, karena telah lama dia tidak menghampiri-Nya, berdoa atau sembahyang kepadan-Nya. Aku lirispun merindukan-Nya.
            Aku liris adalah seorang muslim, ini terlihat dari kata /kerudung/ dan /sajadah/ yang dipakainya untuk mengungkapkan identitas agamanya. Menyadari bahwa dosa yang tergambarkan dalam frasa /berlumuran darah/ membuat dirinya dan Tuhan yang dipujannya itu semakin menjauh dan tidak dapat dijangkaunya, walau begitu Tuhan yang membuatnya berlutut bukan Tuhan yang kejam, Dia memberikan kesempatan dengan menikamkan pandangan yang bermakna sebagai pernyataan bahwa Tuhan menginginkan aku liris pula. Aku lirispun sadar akan keberadaanya sebagai makhluk yang berdosa dan tak patut untuk di ampuni. /rerumputan/ menggambarkan sesuatu yang lebih pantas untuk diinjak-injak, dilupakan, dibuang karena dianggap mengganggu. /dingin batu/ yang menggambarkan keras kepala dan hati yang tidak mau di bentuk, ibarat seorang anak yang bandel. Aku liris mengakui dirinya sebagai orang yang berlumuran dosa, tidak layak menerima belas kasihan, pantas untuk diinjak-injak, dan dibuang ke api neraka sebagai hukuman yang setimpal. Tanpa daya apa lagi bisa bertahan, tersungkurlah hingga menghirup /wangi tanah/.
            Aku liris begitu kagum akan kebesaran Sang Pencipta yang ternyata dilupakan begitu mudah olehnya dan manusia yang lain. Namun dari kesadaran yang telah diperolehnya tersebut membuatnya semakin ingin dekat bersaman-Nya dan ingin bertemu langsung, serta menatap wajah-Nya yang penuh kemulyaan. /Tariklah sedikit ujung kerudungmu itu/ menggambarkan keingintauannya lebih terhadap Tuhan, akuliris meminta hanya sedikit untuk membuka kerudung yang menutupi dan membuat-Nya menyembunyikan wajah karena manusia telah mencemarkan nama-Nya.Kalau Dia mau menyingkapkan kekuasaan-Nya secara langsung, maka sudah pasti langit dan bumi yang tunduk pada-Nya akan menceritakan kemulyaan-Nya serta menceritakan kebesaran-Nya.
            Pada akhirnya pun aku liris mulai menyadari bahwa dirinnya tidak layak untuk sekedar memandang oleh karena terlalu berlimpah dosa dalam dirinya, hingga bumi yang ingin melihat kemulyaan-Nya hanya mampu menatap sinar yang /dipantulkan sinar bulan/.  /dipantulkan/ menandakan bahwa tidak ada yang setara dengan-Nya, bahwa Dia terlalu berbeda jauh dengan aku liris. Begitu sempurnanya hingga dia menggambarkanya dengan /bulu-bulu halus yang tersapu tiupan angin/. Begitu lembut hati-Nya bagai bulu halus yang ringan. Namun karena ketamakkan dan kesewenangan manusia sehingga hanya merasakan kehadiran-Nya sebagai /tiupan angin/. Seakan Tuhan seperti hal yang mudah diingat dalam fikiran, dan bila sedang tidak ingin mengingat, maka mudah saja untuk  membuangnya. Hanya dengan hidayah-Nyalah segala kemunafikan manusia dapat tersingakapkan, karena hanya Dialah yang bisa / menyibakkan yang selama ini tertutupi/ oleh dosa-dosa manusia. Akuliris mangagumi Tuhan yang disadari olehnya sebagai terang yang selayakknya dan sepantasnya menjadi yang utama dan terutama. Bahwa sinar kehidupan, awal kehidupan dan hidup itu sendiri berasal dari Dia dan berakir dalam Dia pula. Dialah /nyala lampu/ yang akan dicari segenap penjuru dunia yang telah terbutakan dan digelapkan akan siapa dirinya yang sebenarnya. Disibukkan dengan urusan masing-masing. Kata /satu-satunya/ menyatakan bahwa hanya Dia saja yang pantas untuk dimuliakan, oleh karena itu sangat berharaplah aku liris agar Tuhan mau memandanganya. Hal tersebut yang membuatnya mengatakan dua kali frasa /memuja bola matamu/ menandakan bahwa aku liris hanya memuja benar-benar Tuhan dengan segenap hatinya. Hanya Tuhanlah yang pantas menerima segala pujian /Seperti seribu laron mengerumuni satu-satunnya Nyala lampu/. Lampu sebagai benda yang memberikan terang terhadap sesuatu yang gelap, tak ada yang mampu menyembunyikan sesuatu ketika terang itu ada. Semua kecurangan akan tersingkapkan, dosa-dosa akan terlihat, yang telanjang akan kesalahan dibuat-Nya malu, namun itulah yang dicari oleh semua umat manusia. Cahaya yang menerangi dirinya yang gelap akan dosa, karena pada hakikatnya semua manusia telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Tuhan. Maka yang empunya kemulyaan yang sejati itu saja yang mampu mengembalikan manusia pada tempat yang sebenarnya, sebagai ciptaan yang baik dihadapan-Nya.
            Puisi “Nafas Tuhan” diatas menggambarkan perjalanan manusia yang sadar akan posisi dirinya seutuhnya dan bertobat untuk kembali pada Sang Pencipta. Bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih besar dari diri-Nya, dialah sumber terang, sumber segala kehidupan. Itulah nilai moral filosofis yang terkandung dalam puisi Napas Gunung.
PENUTUP
Setelah menggunakan pendekatan analitik untuk mengetahui karakteristik umum puisi-puisi angkatan 2000, maka dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi angkatan 2000 memiliki perkembangan corak dan warna baru yang berbeda dari puisi kontemporer pada era ’70-an. Yang membedakan antara lain: diksi yang tidak beraturan, menggunakan banyak frasa konotatif, dipenuhi oleh imaji visual dan taktil, bahasa kias diwarnai simile dan personifikasi, sarana retorika yang digunakan adalah sarkasme. Selain itu, bentuk puisi angkatan 2000 kebanyakan berupa puisi bebas dan ada beberapa puisi yang menggunakan pemenggalan kalimat yang menimbulkan ambiguitas. Ciri yang menonjol adalah bentuk puisi yang panjang dan bernuansa prosais. Yang paling membedakan antara puisi angkatan 2000 dengan angkatan sebelumnya adalah tidak terlalu banyak menggunakan tipografi yang membingungkan. Tema yang diangkat pada puisi-puisi angkatan 2000 sangat beragam.
Puisi-puisi angkatan 2000 menonjolkan pemilihan diksi. Penyair-penyairnya tidak lagi menggunakan kata-kata bentukan baru yang membingungkan tapi lebih pada pengguanaan kata-kata sederhana yang dipakai sehari-hari namun dengan susunan farsa yang sedemikian rupa, kata-kata tersebut dapat menimbulkan makna yang berbeda. Banyak amanat yang dapat ditemukan dalam puisi-puisi angkatan 2000. Dengan seiringnya waktu, penyair-penyair angkatan 2000 masih terus berproses dan menghasilkan karya terbaiknya. Mungkin saat ini kita masih belum dapat mengupas secara tuntas ciri-ciri umum angkatan 2000 dan juga belum dapat menjawab pertanyaan ”apa yang paling menonjol dalam puisi-puisi angkatan 2000”. Namun, semoga makalah ini sudah dapat memberi gambaran umum mengenai puisi-puisi angkatan 2000 yang telah memberikan warna baru dunia perpuisian Indonesia.



Daftar Rujukan
Badrun, Ahmad. 1989. Teori Puisi. Jakarta: Dirjen Dikti.
Budianto, Melani, dkk. 2003. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.
Imron, D. Zawawi. 2003. Kujilat Manis Empedu. Yogyakata: Gama Media.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT             Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Soedjijono.___. Apresiasi Puisi. Makalah Tidak Diterbitkan. IKIP Malang.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan: Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi: Panduan untuk Belajar Siswa dan          Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
____. 2008. 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar