MEMAHAMI NILAI DAN MAKNA DALAM KATA-KATA
APRESIASI SAJAK-SAJAK ANGKATAN ’45 DENGAN
PENDEKATAN ANALITIK DAN EKSPRESIF
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemilihan Puisi Dan Pendekatan
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang
analisis puisi Angkatan 45 dengan menyertakan beberapa contoh puisi yang sudah
kami analisis. Puisi yang kami analisis mewakili karakteristik umum puisi
Angkatan 45. Kami memilih puisi Angkatan 45 karena puisi pada Angkatan 45 telah
terjadi revolusi dalam perpuisian Indonesia. Pada masa itu telah muncul suatu
angkatan yang merasa lain daripada puisi Pujangga baru. Puisi Angkatan 45 lebih
mementingkan isi daripada bentuk. Puisi Angkatan 45 dapat dilihat sebagai
reaksi untuk melepaskan diri dari nama Pujangga Baru. Puisi-puisi Angkatan 45
menunjukkan ciri-ciri kebaruan.
Dalam hal gaya bahasa, angkatan 45 menyingkirkan
pemakaian superlatif-superlatif yang disukai Pujanga Baru. Dalam segi bentuk
puisi angkatan 45 tidak lagi terikat oleh pembagian bait,baris,dan persajakan.
Dari segi isi puisi angkatan 45 bertemakan perjuangan karena terpengaruh oleh
penjajahan Jepang.
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan nilai-nilai
moral yang terkandung dalam puisi angkatan’45. Pada dasarnya, puisi angkatan
’45 bersifat patriotismedan memiliki unsur-unsur perjuangan. Jika ditinjau dari
segi bentuk dan strukturnya, puisi pada angkatan ini, lain dengan puisi-puisi
pada angkatan sebelumnya. Pada angkatan ini, telah terjadi secara radikal dari
segi apapun. Oleh karena itu, dalam makalah ini, dibahas mengenai
perubahan-perubahan tersebut agar pembaca mampu mengapresiasi puisi angkatan
’45 dam membandingkannya dengan puisi angkatan sebelumnya.
Pengertian Pendekatan dan
Prosedur Kerja
Sastra memiliki nilai tertentu yang
bermanfaat untuk kehidupan. Tidak hanya keindahan, tetapi amanat-amanat yang
bermanfaat dalam kehidupan. Ada beberapa alasan mengapa kita perlu membaca
sastra, antara lain sastra dapat memberikan kenikmatan, sastra dapat memberikan
informasi,sastra dapat memberikan warisan kebudayaan dan mampu memberikan
kehidupan. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, kita
dapat mengapresiasinya melalui beberapa pendekatan, yaitu cara pandang tertentu
yang akan diterapkan kepada sajak yang akan diapresiasi. Pendekatan-pendekatan
tersebut diantaranya pendekatan pendekatan historis (the historical approach),
pendekatan sosiopsikologis (the sosiopsyicological approach), pendekatan emotif
(the emotive approach), pendekatan ekspresif (the didactic approach),
pendekatan parafrastik (the paraphrastik approach), dan pendekatan analitik
(the analytic approach).
Dalam makalah ini akan digunakan
pendekatan analitik dan pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif dalam
mengapresiasi puisi, dimaksudkan untuk mengungkapkan nilai-nilai moral atau
pengajaran yang ada di dalam karya sajak. Puisi mengajarkan sesuatu kepada
pembacanya tentang keadilan, kebenaran, kebebasan, kemerdekaan, kebaikan,
ketuhanan, kesopanan, atau nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Pendekatan
ekspresif sebenarnya melibatkan kajian terhadap tujuan pengarang serta
observasinya terhadap kehidupan. Observasi tersebut mungkin mengandung nilai
moral atau etika. Kajian terhadap tujuan pengarang dapat meningkatkan kemampuan
untuk menangkap apa yang tersirat dalam puisi. Puisi tidak menuntut pembacanya
percaya, tetapi mengundang pembaca untuk turut mengalami. Pembaca boleh tidak
atau menerima pandangan penyair. Melalui
pendekatan ini pula kita mampu merumuskan filsafat dan cita-cita hidup.
Adapun beberapa prosedur untuk menerapkan pendekatan ekspresif dalam
mengapresiasi puisi, diantaranya 1. Membaca sajak yang akan diapresiasi; 2.
Memahami unsur-unsur intrinsic puisi; 3. Memahami nilai-nilai moral yang
terkandung dalam puisi; 4. Menghubungkan nilai-nilai tersebut dengan kehidupan.
KARAKTERISTIK PUISI
Karakteristik Bahasa
Diksi
Diksi yaitu pemilihan kata
dalam sajak. Para penyair ingin mengekspresikan perasaan dan pikirannya dengan
ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut. Untuk itulah
dipilih kata-kata yang tepat. Kata-kata yang dipilih disusun dengan cara yang
sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan imajinasi estetik disebut diksi
puitis (Pradopo, 1987:54). Jadi diksi digunakan untuk mendapatkan kepuitisan
dan nilai estetik. Diksi dalam puisi dapat ditinjau dari segi kosakata,
pemilihan kata, dan denotasi serta konotasinya.
Alat untuk menyampaikan
perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada
kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata(Pradopo, 1987:51). Kehalusan
perasaan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata sehari-hari sangat diperlukan.
Puisi akan mempunyai nilai abadi bila di dalamnya sastrawan berhasil
mempergunakan kata-kata sehari-hari yang umum. Sebenarnya anggapan masyarakat
bahwa para penyair memiliki bahasa khusus yang hanya untuk para sastrawan dan
terlepas dari perbendaharaan bahasa umum adalah salah. Hal itu terbukti dari
sajak-sajak Sitor Situmorang, seorang penyair angkatan ’45 yang menggunakan
bahasa sehari-hari.
LAPANGAN PAGI
Sukabumi
Di
depan penginapan banyak cemara
Ada
bunga dan ada lapangan sunyi
Di
belakang jalan turun ke kali
Di
belakang sekali jalan besar ke kota
........
(
1980:253 )
Kosakata dalam bait di atas merupakan
kata-kata yang sering kita gunakan dalam berkomunikasi. Bahasanya mudah
dimengerti dan sudah umum. Penggunaan bahasa sehari-hari dapat memberi efek
gaya yang realistis (Pradopo, 1987:53).
Pada angkatan ’45 para
penyair begitu cermat dalam memilih kata atau kalimat untuk menciptakan puisi.
Sebagai contoh adalah sajak “Aku” karya Chairil. Dalam Kerikil Tajam judulnya
“Semangat”, sedangkan dalam Deru Campur Debu berjudul “Aku “. Perbedaan judul
tersebut digunakan demi keberadaan puisi. Kata “semangat” mengandung makna yang
menyala-nyala dan terkesan bersifat propagandis, bombastis, dan berlebihan.
Sedangkan kata “Aku” terkesan individualis karena menunjukkan kepribadian
penyair. Jadi, pada saat itu kata “semangat” lebih tepat digunakan sebagai
judul untuk mengelabuhi sensor jepang karena puisi yang bersifat individualis
sangat dilarang.
Selain itu kata ‘ku tahu’
pada baris kedua bait pertama diganti ‘ku mau’.
SEMANGAT
Kalau
sampai waktuku
Ku
tahu tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
(
Kerikil Tajam, hal 15 )
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
(
Deru Campur Debu, hal 7 )
Penggantian kata tersebut
disesuaikan dengan keseluruhan sajak. Kata ‘ku tahu’ menunjukkan perasaan
pesimistis dan rasa keterpencilan. Suasana sajak terkesan melankolik. Hal ini
tidak sesuai dengan bait-bait selanjutnya yang penuh semangat dan rasa
vitalitas yang menyala. Jadi kata tersebut
dirasa kurang tepat dan digati ku kau yang menunjukkan kemauan pribadi
yang kuat, cara mmendeklamasikannya dengan penuh vitalitas dan tidak melankolis
lagi.
Denotasi dan oknotasi
merupakan unsur diksi dalam menulis puisi. Denotasi, yaitu arti yang menunjuk
dan konotasi adalah bahasa tambahannya( Pradopo, 1987:58 ). Denotasi sebuah
kata adalah pengertian yang menunjuk pada suatu hal atau benda yang diberi nama
dengan kata itu. Misalnya sajak Sitor
Saitumorang berikut :
.......
elang laut telah
Hilang ke luas
kelam
Topan tiada
bertanya
Hendak kemana
dia
Dan makhluk
kecil yang membangkai di bawah
Pohon eru, tiada
pula akan berkata,
“ibu kami tiada
pulang”
Dalam cuplikan sajak di
atas kita menemukan kata ‘elang’, ‘hilang’, ‘makhluk kecil’, ‘membangkai’, dan
‘tiada pulang’. Jika ditinjau dari makna denotatifnya, elang berarti burung.
Tetapi jika kita baca bait puisi tersebut dan memahami maknanya. Kita akan tahu
bahwa kata-kata dalam puisi tersebut memiliki makna lain, makna yang didapat
dari asosiasi perasaan. Makna tersebut dinamakan makna konotasi. Makna konotasi
dari bait puisi. Di tas itu ada elang laut diibaratkan sebagai lelaki( penyair
itu sendiri). Ia rindu akan tanah air, tetapi ia takut gadis pujaannya yang
sedang hamil akan mati merana karena ditinggal pergi. Ia pun tak bisa pulang ke
tanah air
Imajeri
Pradopo (1987:79)
menyatakan bahwa untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang
khusus, untuk membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan
juga untuk menarik perhatian, penyair menggunakan imajeri disamping alat
kepuitisan yang lain. Jadi, citraan adalah gambar-gambar dalam pikiran dan
bahasa yang menggambarkannya. Citraan biasanya lebih mengingatkan kembali
daripada membuat baru kesan pikiran.
Dalam makalah ini ada 3
citraan yang akan dikaji. Citraan yang timbul oleh penglihatan atau disebut
citraan penglihatan ( visual imagery ), citraan yang timbul oleh pendengaran
atau disebut citraan pendengaran ( auditory imagery ), dan citraan yang timbul
oleh rabaan atau disebut citra perabaan ( tactil imagery ).
Citraan penglihatan memberi rangsangan pada indera
penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat.
Sebagai contoh pada sajak berikut, pada sajak Chairil Anwar :
Bersandar pada
tari warna pelangi
Kau
depanku bertudung sutra senja
Di
hitam matamu kembang mawar dan melati imaji visual
Harum
rambutmu mengalun bergelut senda
(1959:19)
Pada baris pertama
seolah-olah kita bisa melihat warna-warni yang indah ;
Pada baris kedua
seolah-olah kita bisa melihat sesuatu di depan kita ; dan
Pada baris ketiga
seolah-olah kita bisa melihat mawar dan melati di matanya.
Citraan pendengaran dihasilkan dengan menyebutkan atau
menguraikan bunyi suara. Penyair yang banyak menggunakan citraan ini disebut
penyair auditif. Citraan pendengaran biasanya berupa onomatipe. Pada puisi
angkatan ’45 ditemukan dalam puisi “siapa?” karya Waluyati, seorang penyair
wanita pada angkatan tersebut. Berikut ini kutipan puisinya :
Siapa ?
Tersebar
engkau, kaum sengsara
Duduk
meratap di seluruh kota
Dan
suara tangismu membumbung, memilukan hati
...........
(tonggak
I , 1987)
Ketika membaca bait puisi
di atas, seolah-olah kita mendengar ratapan dan tangisan para kaum sengsara dan
hal itu sangat memilukan hati.
Selain citraan penglihatan
dan pendengaran, citraan perabaan sering pula digunakan penyair dalam
puisinya. Misalnya pada puisi “Lagu Gadis Itali” karya Sitor Situmorang.
Berikut kutipan puisinya :
Lagu Gadis Itali
........
Batu
tandus di kebun anggur
Pasir
teduh di bawah nyiur
Abang
lenyap hatiku hancur imaji taktil
Mengejar
bayang di salju gugur
(1965
: 117)
Dalam bait puisi di atas,
seolah-olah kita merasakan batu yang tandus, pasir yang teduh, hati yang
hancur, dan salju yang gugur. Citraan ini menimbulkan efek seolah-olah pembaca
merasakan sesuatu yang disebutkan.
Bahasa Kias
Bahasa kias adalah salah satu unsure kepuitisan
untuk mendapatkan kepuitisan. Bahasa kias menyebabkan sajak menjadi menarik
perhatian, menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kias ini mengiaskan
sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi lebih jelas, lebih menarik
dan hidup (Pradopo, 1987 : 62)
Bahasa kias banyak sekali ragamnya. Kali ini, akan
dibahas jenis bahasa kias yaitu simili, metafora, personifikasi, metonimia, dan
sinekdok.
Simili ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan
menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak seperti, semisal,
seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding yang
lain.(Pradopo, 1987 : 62) misalnya pada puisi ”Orang Dari Gunung” karya Asrul
Sani berikut:
Orang Dari
Gunung
........
dan bersiul
seperti lengking harimau
.........
(Gema Tanah
Air,1987:)
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-
kata pembanding seperti, bagai, laksana, seperti dan laksana. Misalnya dalam
puisi berikut :
Aku
.......
Tak perlu sedu
sedan itu
Aku ini binatang
jalang
Dari kumpulan
terbuang
........
("kerikil tajam", 1946)
Dalam sajak di atas, "aku" diumpamakan atau dimetaforakan sebagai
binatang jalang. Selain itu, metafora dapat ditemukan dalam sajak waluyati yang
berjudul "berpisah" berikut kutipannya:
Berpisah
Bersama-
sama bunga digubah
Menjadi
rangkaian halus pewangi
Dan
pulang kita bersuka hati
Dikala
surya terbenam merah
.....
(tonggak 1, 1987)
"bunga" dalam sajak di atas diumpamakan sebagai cinta yang indah
antara dua insan
Personifikasi.
Bahasa kias ini mempersamakan benda dengan manusia, benda- benda mati dibuat
seolah- olah bisa bertindak seperti manusia. Personikasi ini membuat hidup
lukisan, di samping itu memberikan kejelasan paparan, memberikan bayangan angan
yang konkret (Pradopo, 1987 : 75). Misalnya yaitu pada puisi anak "anak
laut" karya asrul sani, berikut kutipannya :
Anak laut
.......
Pasir
dan air seakan
Bercampur
awan
Tanda
menutup
Mata
dan hatinya rindu
Melihat
laut terlentang biru
.........
(gema tanah
air,1987 : 10 )
Dalam sajak di atas, seolah- olah awan memiliki mata dan hati. Padahal awan
adalah benda yang tidak mungkin memiliki hal- hal seperti itu layaknya manusia.
Metonimia dalam
Bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa
penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat
dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Pradopo, 1987 :
62). Pada puisi angkatan ’45 jarang yang menggunakan majas ini. Namun majas ini
dapt kita temukan pada puisi ”Sorga” karya Chairil A. pada larik keempat
........
yang kata Masyumi +Muhammadiyah
bersungai susu
..........
(Gema
Tanah Air,1987:)
Sinekdok adalah
bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda(hal) untuk
benda atau hal iu sendiri (Pradopo, 1987 : 78). Sinekdok ada 2 macam, yaitu
pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan) dan totem proparte (keseluruhan
untuk sebagian)
Sinekdok pars prototo
dapat dijumpai dalam puisi "cerita buat dien tamaela" karya chairil
anwar berikut kutipannnya :
Cerita Buat Dien
Tamaela
Beta
pattirajawane
Yang
dijaga datu- datu
Cuma
satu
Beta
pattirajawane
Kikisan
laut
Berdarah
laut
.......
( jakarta, 1946 )
Dalam sajak di atas "Beta Pattirajawane" disebutkan berulang- ulang. Tokoh ini
merupakan pars prototo bagi bangsa indonesia seluruhnya.
Sinekdok totem pro
parte dapat dijumpai dalam puisi "sebuah kamar" karya chairil
anwar berikut kutipannya :
Sebuah Kamar
Sebuah
jendela menyerahkan kamar ini
Pada
dunia bulan yang menyinar ke dalam
Mau
lebih banyak tahu
'sudah
lima anak bernyawa di sini,
Aku
salah satu!'
...........
(DCO, 1959 :23)
Pada baris pertama sajak diatas disebutkan bahwa kamar telah di serahkan
pada dunia "dunia" ini merupakan totem pro parte dari sebagian orang.
Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan
sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat itu, para
penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontlempasi atas
apa yang dipikirkan penyair (Pradopo, 1987 : 94) pada umunya sarana retorika
ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang
ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyair.
Ada berbagai macam sarana
retorika setiap periode atau angkatan sastra memiliki sarana digemari, bahkan
penyair memiliki kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam
sajak- sajaknya, corak dan jenis sarana retorika tiap periode tersebut sesuai
dengan gaya sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya.
Angkatan 1945 menganut
aliran realisme dan ekspresionisme, sehingga banyak menggunakan sarana retorika
yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas. Diantaranya hiperbola, ironi, dan
paralelisme.
Hiperbola yaitu
sarana retorika yang melebih- lebihkan suatu hal atau keadaan (Pradopo, 1987 :
98). Misalnya dalam puisi "Kepada Peminta- Minta" karya Chairil
Anwar, berikut puisinya :
Kepada Peminta-
Minta
............
Jangan
lagi kau bercerita
Sudah
tercacar semua di muka
Nanah
meleleh dari muka
Sambil
berjaln kau usap juga
............
(1959 : 17)
'nanah' merupakan suatu hal yang menyakitkan, penyakit yang menjijikan itu
bertambah parah saat diikuti kata meleleh.
Ironi yaitu majas
yang melukiskan sesuatu dengan maksud untuk menyindir orang, Sarana retorika
ironi ditemukan pada puisi 'sebuah kamar' karya chairil anwar berikut :
Sebuah Kamar
Sebuah
jendela menyerahkan kamar ini
Pada
dunia bulan yang menyinar ke dalam
Mau
lebih bayak tahu
'sudah
lima anak bernyawa di sini,
Aku
salah satu!
.............
(DCO, 1959 :23)
Sajak di atas merupakan sindiran terhadap orang yang ingin mengetahui
rahasia rumah tangganya, maka si aku membukanya sekali bahwa dalam kamarnya
yang sempit itu didiami 5 orang anak, telah lahir 5 orang anak di kamar itu
Paralelisme yaitu
mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa kalimat yang berikut hanya
dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Pradopo, 1987
: 97). Pada sajak angkatan 45, dijumpai penggunaan paralelisme dalam sajak
'Pangkuan' karya Asrul Sani, berikut :
Pengakuan
...........
Perawan
ringan, perawan riang
Berlagulah
dalam kebayangan
Berupa
warena
Berupa
waren
Dan
berlupalah sebentar akan kehabisan umur
Marilah
bermain,
Marilah
berjalin tangan,
...............
indonesia, th. 1 no. 7, agustus
1949
Karakteristik Bentuk
Perulangan Bunyi
Rima merupakan persamaan
bunyi di akhir atau di dalam larik-larik puisi.
Pada angkatan ’45 hanya sedikit puisi yang berima. Puisi-puisi pada
angkatan ’45 lebih mementingkan isi daripada bentuk. Penyair angkatan ’45 ingin
lepasa dari pengaruh Pujangga Baru yang mementingkan bentuk. Namun puisi yang
berima dapat kita temukan pada puisi ”Si Anak Hilang” karya Sitor Situmorang
berikut ini:
Pada terik
tengah hari
Titik
perahu timbul di danau
Ibu
cemas ke pantai berlari
Menyambut
anak lama ditumggu
.............
bait puisi di atas terdapat rima abab.
Selain rima pada puisi-puisi
angkatan ’45 juga terdapat aliterasi. Aliterasi adalah perulangan bunyi
konsonan. Contoh aliterasi dapat kita temukan pada puisi ‘Siapa’karya Waluyati
berikut:
…….
sedangkan
di gelap tangkai menjulang
….....
pada puisi di atas terdapat aliterasi vokal /a/ dan konsonan /ng/.
Asonansi adalah perulangan bunyi vokal. Pada angkatan ’45, asonansi dapt
kitatemukan pada puisi ‘Nanti,Nantikanlah’ karya Waluyati,
…….
Gemetar
tampak hawa panas
…….
pada puisi di atas terdapat asonansi vokal/a/.
Versifikasi
Bentuk bebas
Pada angkatan ’45 banyakterdapat
puisi yang bentuknya tidak seperti bentuk puisi pada Pujangga baru. Contoh
puisi yang bentuknya bebas terdapat pada puisi “cakar atau ekor” karya
Mahatmanto berikut ini:
Cakar atau
Ekor
Di mana batas?
……semua
hendak serba bebas……
melanggar
meliar…….
Bukankah
setiap selalu hendak serba baru
Jadi
penipu, memalsu?
Serba
aksi
Jadi
terasi?serba kuasa
Jadi memerkosa?
Ah, hanya pun
kiri,
Kalau selalu
hendak serba kiri
paling
kiri dari yang terkiri,
di
sana sayap jadi cakar……
Sebaliknya
pun; kanan,
Kalau
serba paling terkanan,
di
sana sayap jadi ekor.
Karakteristik Isi
Tema
Tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang
dikemukakan oleh penyair mela;ui puisinya. Tema mengacu pada penyair. Pembaca
sedikit banyak harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah
menafsirkan tema puisi tersebut. Karena itu, tema bersifat khusus (diacu dari
penyair), objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama), dan lugas (bukan
makna kias yang diambil dari konotasinya) (Waluyo : 2003).
Tema yang banyak diangkat
pada angkatan ’45 adalah tema tentang perjuangan hidup. Hal ini disebabkan
karena pada masa itu telah terjadi penjajahan Jepang. Pada masa itu rakyat
berjuang untuk bebas dari penjajahan. Tema perjuangan dapat ditemukan pada
beberapa puisi seperti puisi “Diponegoro” dan ”Kerawang Bekasi” (Chairil
Anwar). Berikut ini kutipan puisi “Kerawang Bekasi” (Chairil Anwar) :
Kami yang kini
terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa
teriak merdeka dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah
yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami
maju dan berdegap hati?
Kami bicara
padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa
hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang,
kenanglah kami
Kami sudah coba
apa yang kami bisa
Tapi kerja belum
selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri
kami punya jiwa
Kerja belum
selesai, belum bisa mem perhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami Cuma
tulang-tulang berserakan
Tapi adalah
kepunyaanmu
Kaulah lagi yang
tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa
kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk
apa-apa
Kami tidak tahu,
kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang
yang berkata
Kami bicara
padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa
hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah
kami
Menjaga Bung
Karno
Menjaga Bung
Hatta
Menjaga Bung
Syahrir
Kami sekarang
mayat
Berilah kami
arti
Berjagalah terus
di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah
kami
Yang tinggal
tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami
terbaring antara Karawang-Bekasi
(Yang
Terampas dan Yang Putus, Pustaka Rakyat, 1949)
Dari puisi di atas kita dapat merasakan bahwa para
pahlwan mengutarakan jeritan hati mereka sebagai orang-orang yang rela mati
muda di medan perang antara Karawang-Bekasi walaupun tidak bisa berjuang sampai
merdeka. Mereka berjuang semampu mereka sampai kini mereka telah menjadi mayat
yang bahkan dilupakan oleh banyak generasi muda. Dalam puisi di atas para
pahlawan meminta kita menghargai, mengenang, dan meneruskan perjuangan mereka.
Selain tema perjuangan atau patriotisme, dalam
angkatan ’45 ada pula yang mengangkat tema lain seperti tema percintaan pada
puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” (Charil Anwar), “Lagu Gadis Itali” (Sitor
Situmorang)dan tema pendidikan/budi pekerti pada puisi “Surat dari Ibu” (Asrul
Sani).
Nada dan Suasana Puisi
Selain tema, dalam puisi juga diungkapkan nada dan
suasana kejiwaan. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari sikap
itu terciptalah suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui,
memberontak, main-main, serius, patriotik, memelas, takut, mencekam, santai,
masa bodoh, pesimis, humor, mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk dan
sebagainya ( Waluyo : 2003).
Dalam
angkatan ’45 dapat kita lihat misalnya pada puisi “Derai-Derai Cemara” (Chairil
Anwar) yang bernada pasrah berikut ini :
Cemara menderai sampai jauh
Hari terasa akan menjadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam.
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah lama bukan kanak lagi
Tapi ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini.
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
PEMBAHASAN
Beberapa Contoh Apresiasi
Sajak Angkatan ’45 dengan Pendekatan Analitik dan Ekspresif
Analisis sajak Senja Di Pelabuhan
Kecil
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Ajati
(karya
Chairil Anwar)
Ini kali tidak ada yang mencari cinta 1
di antara gudang, rumah tua pada cerita 2
imaji visual majas
personifikasi
tiang serta temali. Kapal, perahu tidak berlaut 3
imaji visual imaji
kinetik
menghembus diri dari dalam mempercaya mau berpaut 4
imaji kinetik,taktil
imaji taktil
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang 5
imaji
taktil,majas
hiperbolisme imaji visual
menyinggung muram, desir hari lari berenang 6
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak 7
dan kini tanah dan air tidur hilang
ombak. 8
majas metaphora imaji visual
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan 9
imaji kinetik
Menyisir semenanjung, masih pengap harap 10
imaji kinetik,majas metafora imaji taktil
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat
jalan 11
imaji visual
Dari pantai keempat, sedu penghabisan
bisa terdekap. 12
imaji
visual imaji taktil imaji kinetik
Dalam puisi “Senja
di pelabuhan kecil” ini terdapat tiga bait dan tiap baitnya terdiri dari
sejumlah kata, yang tersusun menjadi empat baris. Susunan puisi yang terdiri
dari empat baris dalam tiap baitnya ini disebut kuatrin. Berdasarkan susunan
kata dan jumlah barisnya ini menunjukkan puisi ini adalah puisi yang bebas yang
tidak terikat oleh jumlah bait dan baris dalam puisi lama.
Dengan citraan seolah-olah apa yang dilukiskan
pengarang dalam bentuk kata-kata tersebut, terjadi sungguh pada diri pembaca,
sehingga pembaca ikut merasakan nilai puisi tersebut.
Pada bait pertama terdapat majas personifikasi,
“rumah tua pada cerita”, pengarang mengekspresikan kesendirian dengan ungkapan
benda mati yang membisu, seharusnya yang bercerita adalah seseorang, tetapi
tidak ditemukan seorangpun yang melakukannya. Selanjutnya pada “perahu tiada
berlaut ” banyak perahu yang bersandar pada dermaga, tandanya para awak kapal
sedang berlabuh dan meninggalkan kapalnya bersandar. Penyair merasakan
kebimbangan dengan perasaannya.
Pada bait kedua terdapat majas hiperbolisme dalam
“gerimis mempercepat kelam” kata kelam biasanya berarti kegelapan, suatu suasana
yang tidak menyenangkan ditambah lagi dengan gerimis, hal ini menambahkan
keadaan yang sangat menyeramkan. “kelepak elang” berarti kepakan sayap dari
burung elang, perasaan penyair pada saat itu sangatlah tertekan seakan-akan
telah di awasi oleh pemburu (elang) yang akan memangsanya. Pada kata “desir
hari lari berenang”, kesedihan pengarang sangatlah dalam seakan ia telah
melupakan semua yang ada disekitarnya, “tanah dan air tidur hilang ombak”,
‘ombak’ biasanya berarti gejolak air laut karena angin, tetapi diungkapkan
telah tidur ini mengisyaratkan majas metaphora yang berarti mati atau kondisi
alam ikut merasakan kesedihanya.
Pada bait terakhir yakni bait ketiga, akhir dari
kesedihanya, dimana majas metafora dituangkan pada “menyisir semenanjung” menyisir
berarti merapikan rambut tetapi disatukan dengan semenanjung, hal ini diartikan
ketertarikan penyair setelah sekian lama mencari dan menjelajah, akhirnya
menemukan seseorang yang dinantikannya, namun harus berpisah, dan hanya
tangisan yang mendalam, “sedu penghabisan bisa terdekap”, terdekap berarti
sesuatu yang telah dipegang dan dipeluk, tetapi disatukan dengan perasaan sedih
yakni “sedu penghabisan” tangisan terakhir.
Chairil Anwar dalam karya-karyanya bercirikan
permainan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif.
Dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” ini digunakan sarana kepuitisan untuk
mendapatkan dan memperkuat efek secara bersama-sama, dalam penggarapan suasana
yang sepi ditepi laut di gunakan bunyi vocal a, dan bentuk pengulangan bunyi i
dan u, /…senja senyap/…manepis buih// mengurai puncak// penegasan suasana
galau, gelisah tampak jelas pada tiga bait terakhir dimana banyak penekanan
pada vocal a dan u yang berat.
Kalau
kita perhatikan dalam bait 1, 2, di puisi ini Chairil Anwar menggunakan rima
kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua
larik puisi (aa-bb), yakni menggunakan rima aa-bb pada /mencari cinta// pada
cerita/ tidak berlaut//mau berpaut//, elang/ berenang//, tidak bergerak/ ombak//,
tetapi baru terjadi perubahan pada bait 3 ia menggunakan rima bersilang dengan
paduan bunyi yang sama pada akhir kata tiap larik, pada; berjalan/ harap//,
jalan/ terdekap//.
Penggunaan
aturan puisi lama masih terdapat pada puisi ini yakni penggunaan rima yang
beraturan ab-ab, pada tiap baitnya hal ini disebut dengan rima bersilang.
Puisi ”Senja Di Pelabuhan Kecil” ini adalah salah
satu puisi yang bersifat inspiratif yakni puisi yang diciptakan berdasarkan
mood atau suasana bathin chairil anwar yang sedang patah hati terhadap Sri
Ajati, gadis belia yang masih berusia 20-an tahun dan menjadi dambaan Chairil.
Kemuraman Chairil akibat patah hati amat terasa
dalam puisi ini. Diksi-diksi: gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut.
Gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap
harap, selamat jalan, sendu penghabisan. Merupakan komposisi yang sedemikian
rupa disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah. Segalanya
jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.
Namun, tak seluruhnya Chairil menggambarkan pesona
wanita dan cinta dengan romantisme yang teduh dan halus. Sedangkan yang
dimaksud Chairil dengan ’Senja Di Pelabuhan Kecil’ itu adalah senja di
Pelabuhan Sunda Kalapa, tempat yang syarat dengan peristiwa sejarah.
Apresiasi Puisi “Surat dari Ibu” karya Asrul Sani dengan Pendekatan
Analitis dan Ekspresif
Surat dari Ibu
Pergi ke dunia luas, anakku
sayang 1
Konkret,visual konkret,
Pergi ke hidup bebas 2
visual
Selama angin masih angin buritan 3
konotatif
Dan matahari pagi menyinar daun-daunan 4
Visual. Konkret
Dalam rimba dan padang hijau 5
konkret
Pergi ke laut lepas,anakku
sayang 6
Visual, konkret
pergi ke alam bebas! 7
visual
selama hari belum petang 8
visual
dan warna senja belum kemerah-merahan 9
visual
menutup pintu waktu lampau 10
visual
jika bayang telah pudar 11
visual
elang laut pulang ke sarang 12
visual,konkret
angin bertiup ke
benua 13
konkret
tiang-tiang akan kering sendiri 14
visual,
konkret
dan nahkoda sudah tahu pedoman 15
konkret
boleh engkau datang padaku! 16
Visual,konkret
Kembali pulang, anakku sayang 17
taktil
Kembali ke balik malam! 18
visual
jika kapalmu telah rapat ke tepi 19
visual
kita akan bercerita 20
visual, auditif
tentang cinta dan hidupmu pagi hari 21
taktil
(Tonggak I,
1987)
Selain analisis yang terirai di atas dalam puisi
Elang Laut juga dapat ditemukan bahwa pemakaian bahasa kias di dalamnya
sangatlah sedikit. Terbukti hanya ditemukan satu saja yaitu metonomi pada kata elang laut. Selain itu pemakaian sarana
retorika juga sangat sedikit. Hanya ditemukan beberapa yaitu antitesis pada
baris tiang-tiang akan kering.
Kemudian terdapat klimaks pada tiang-tiang
akan kering sendiri dan nahkoda sudah tahu pedoman. Ada pula antiklimaks
pada boleh engkau datang padaku.
Selain itu terdapat dua repetisi yaitu pada pergi
ke dan kembali.
Makna yang tersirat dari
puisi elang laut dapat kita artikan bahwa masa muda adalah masa yang dapat kita
gunakan untuk melakukan berbagai macam kesempatan yang masih banyak menanti
kita. Hal itu dapat dibaca pada lima baris bait pertama. Kemudian pada bait ke
dua dapat kita maknai bahwa kesempatan yang tersedia untuk kita di masa muda
amat luas selama kita mau memanfaatkan. Maka bila diibaratkan pada masa muda
anak-anak bisa merantau sejauh apa pun untuk meraih cita-citanya, pada bait
ketiga dan empat dimaknai bahwa kalau sudah hampir habis masa muda dan hidupnya
telah sukses, ibu mengharapkan kepulangan anaknya. Ibu akan dengan gembira
menyambut kepulangan anaknya
Dari penguraian-penguraian
di atas dapat kita ketahui bahwa tema puisi ini adalah tentang perjuangan hidup
seorang anak (mungkin anak pantai atau daerah pesisir)yang mengadu nasibnya
meninggalkan daerahnya. Nada dan suasana puisi ini adalah haru terutama karena
ini dituliskan sebagai sebuah surat dari seorang ibu. Perasaan yang ada dalam
puisi ini adalah tegar dan kuat dalam menghadapi hidup. Amanat yang dapat kita
ditangkap adalah kita harus menjalani kehidupan dengan semangat dan berani
untuk meraih cita-cita kita selagi masih muda dan banyak kesempatan.
Analisis puisi Elang Laut karya Asrul Sani
dengan menggunakan pendekatan analitik dan ekspresif
Elang Laut
Ada elang laut terbang 1
kata konkret,imaji visual
senja hari 2
kata konkret,imaji visual
antara jingga dan merah 3
kata konkret,imaji visual
surya hendak turun 4
kata konotasi,imaji visual,majas
personifikasi
pergi ke sarangnya 5
kata konotasi, imaji visual,majas
personifikasi
Apakah ia tahu juga, 6
kata konkret, imaji taktil,
bahwa panggilan cinta 7
kata konotasi, imaji auditori,imaji taktil
tiada ditahan kabut 8
kata konkret,imaji visual
yang menguap pagi hari? 9
kata konkret,imaji visual
Bunyinya menguak suram 10
kata konkret, imaji auditori,majas
personifikasi
lambat-lambat 11
kata konkret, imaji auditori,majas
personifikasi
mendekat, ke atas runjam 12
kata konkret,imaji visual
karang putih, 13
kata konkret,imaji visual
makin nyata 14
kata konkret,imaji visual
Sekali ini jemu dan keringat 15
kata konkret,imaji visual,imaji taktil
tiada akan punya daya 16
kata konkret,imaji taktil
tapi topan tiada mau 17
kata konkret,imaji visual
dan mengembus ke alam luas 18
kata konkret,imaji visual
Jatuh elang laut 19
kata konkret,imaji visual,imaji auditori
ke air biru,tenggelam 20
kata konkret,imaji visual
dan tiada timbul lagi 21
kata konkret,imaji visual
Rumahnya di gunung kelabu 22
kata konkret,imaji visual
akan terus sunyi 23
kata konkret,imaji auditori
Satu-satu akan jatuh membangkai 24
kata konkret,imaji visual
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada 25
kata konkret,imaji visual
bersuara 26
kata konkret,imaji auditori
Hanya anjing, 27
kata konkret,imaji visual
malam hari meraung menyalak bulan 28
kata konkret,imaji auditori
yang melengkung sunyi. 29
kata konkret,imaji auditori
Suaranya melandai 30
kata konkret, imaji auditori,majas
depersonifikasi
turun ke pantai 31
kata konkret,imaji visual
Jika segala 32
kata konkret
senyap pula, 33
kata konkret,imaji auditori
berkata pemukat tua, 34
kata konkret,imaji auditori
“anjing meratapi orang mati!” 35
kata konkret,imaji auditori,majas
depersonfikasi
Elang laut telah 36
kata konkret,imaji visual
hilang ke lunas kelam 37
kata konotasi,imaji visual
topan tiada bertanya 38
kata konotasi, imaji auditori
hendak kemana dia. 39
kata konkret,imaji visual
Dan makhluk kecil 40
kata konkret,imaji visual
yang membangkai di bawah 41
kata konkret,imaji visual
pohon eru, tiada pula akan 42
berkata, 43
kata konkret,imaji auditori
“ibu kami tiada pulang.” 44
kata konkret,imaji visual
Berdasarkan hasil analisis puisi ‘Elang Laut’
karya Asrul Sani tersebut, kita dapat mengetahui bahwa dari segi bahasa, diksi
yang digunakan sebagian besar adalah kata konkret. Hal itu sesuai dengan cirri
puisi angkatan 45 yang beraliran realisme dengan menggunakan kata-kata
sehari-hari. Citraan atau imaji yang digunakan adalah imaji
visual(penglihatan). Pada puisi tersebut hanya sedikit yang menggunakan majas
atau bahasa kias karena sesuai dengan karakteristik puisi angkatan 45 yang menggunakan bahasa
sehari-hari. Meskipun demikian dalam puisi tersebut terdapat majas
personifikasi dan depersonifiakasi. Majas personifikasi misalnya terdapat pada
bait pertama baris keempat, surya berarti matahari yang merupakan makhluk tak
bernyawa melakukan kegiatan yang biasa dilakukan oleh makhluk bernyawa yaitu
turun.
Dari segi bentuk, puisi elang laut tidak terikat
oleh pembagian bait, baris,dan persajakan. Pembagian baris dalam tiap bait
tidak beraturan. Pada bait pertama terdiri dari 5 baris, bait kedua 4 baris,
bait ketiga 9 baris, bait keempat 3 baris, bait kelima 5 baris, bait keenam 6
baris, bait ketujuh 6 baris, dan bait kedelapan 9 baris. Dalam puisi tersebut
terdapat perulangan bunyi konsonan (aliterasi) dan perulangan bunyi vokal
(asonansi). Contoh aliterasi terdapat pada bait pertama baris ketiga /antara
jingga dan merah/. Pada bait bait tersebut terdapat
asonansi vokal a. Sedangkan contoh aliterasi terdapat pada bait ketiga
baris kedelapan /tapi topan tiada mau/. Pada bait
tersebut terdapat perulangan konsonan t.
Dari struktur isi, puisi tersebut bertema tentang
perjuangan hidup seorang lelaki. Perasaan yang terkandung dalam puisi tersebut
adalah suasana keberanian karena tanpa kenal lelah berjuang untuk kehidupan
keluarganya. Suasana haru dan sedih karena kehilangan orang yang sangat
berarti. Amanat yang ingin disampaikan oleh penyair adalah janganlah kita mudah
menyerah untuk menghidupi keluarga kita. Karena jika kita mudah menyerah akan
membawa bencan pada keluarga kita.
Pada bait pertama, /elang laut/ diibaratkan
sebagai seorang lelaki yang gagah, pemberani, dan bertangung jawab. Ia berjuang
untuk kehidupan keluarganya tanpa rasa lelah. Pada bait kedua menggambarkan ‘si
lelaki’ menglami berbagai hambatan dalam usahanya. Meskipun demikian, karena
kecintaannya pada keluarga, ia terus berjuang dan bertahan. Hal tersebut terungkap
pada baris ketujuh. Pada bait ketiga baris ke-10 dan ke-11 menggambarkan ‘si
lelaki’ merasa lelah dan mengakibatkan ia jatuh. Meskipun ia sudah berusaha
sekuat tenaga tapi usahanya sia-sia yang diungkapkan pada baris ke-15 dan
ke-16.
Pada bait keempat baris ke-19 bermakna kegagalan
‘si lelaki’ dalam berjuang hidup. Hidup ini penuh dengan kekerasan dan
membutuhkan perjuangan. Jika tidak dapat bertahan menghadapi persaingan, akan
kalah dan hancur. Pada bait kelima baris ke-24, bermakna kegagalan ‘si lelaki’
akan menyebabakan malapetaka bagi keluarganya. Pada baris ke-25 dan 26 bermakna
umahnya akan sunyi dan tiada kegembiraan dalam rumah itu.
Pada bait keenam dan ketujuh ketika si lelaki
semakin tenggelam, kerabat-kerabatnya akan merasa sedih karena kehilangan orang
yang dicintai. Mereka merasa sunyi. Kesunyian yang mereka rasakan saat meratapi
orang yang telah tiada. Pada bait kedelapan memiliki maksud setelah peristiwa
yang mereka alami, mereka pun pasrah dengan musibah yang menimpa mereka. Suasan
haru dan pasrah menaungi keluarga
melepas kepergian ‘si lelaki’.
Apresiasi Puisi “CATETAN TH. 46” karya Chairil Anwar dengan Pendekatan
Analitik dan Pendekatan Ekspresif
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai, 1
kata konotasi, imaji visual, imaji taktil
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut, 2
kata konotatif, imaji visual
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai. 3
kata konotatif, imaji auditif, imaji
taktil
Ku pahat batu nisan sendiri dan kupagut 4
kata konkret, imaji visual
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian sandiwara sekarang. 5
kata konotatif, imaji visual
Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang 6
kata konkret, imaji visual, imaji taktil
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu 7
kata konotatif, imaji visual
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat. 8
kata konkret, imaji visual
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu 9
kata konotatif, imaji taktil
Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu 10
kata konotatif, imaji visual, imaji taktil
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat, 11
kata konotatif, imaji visual, taktil
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah, 12
kata konotatif, imaji visual, imaji taktil
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah! 13
kata konotatif, imaji visual, imaji taktil
Untuk mengemukakan ide abstrak, dalam puisi ini
digunakan bahasa-bahasa kiasan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai
makna dan amanat yang ingin disampaikan. Pada bait pertama puisi “CATETAN TH.
46” ditemukan majas sinekdoki pars pro
toto yaitu pada kata ‘tangan’.
Tangan di sini mewakili seluruh bagian tubuh si aku. Selain itu, majas ini juga
di temukan pada /….suara yang ku cintai…/.
Suara di sini mewakili orang-orang yang dicintai oleh si aku seperti anak,
istri, ibu atau suara-suara kehidupan yang membuatnya hidup. Pada baris kelima
ditemukan majas metafora. Dalam kata-kata itu kita diibaratkan
sebagai anjing yang diburu, dengan arti lain kita tidak punya waktu untuk
bersantai-santai. Kata anjing juga
menjelaskan kita bahwa pada saat itu sedang berada dalam situasi yang kacau.
Pada bait ke-3, perang yang telah usai dikonkretkan melalui majas sinekdoki pars pro toto pada /jika
bedil sudah disimpan…/ dan kenangan yang penuh dengan kesedihan di metaforakan dengan /…kenangan berdebu../. Pada baris ke-11
dijumpai pula majas metafora.
Kata ‘memburu’ digunakan untuk
menyatakan pekerjaan mencari arti itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Selain
itu, metafora ‘kertas
gersang’ di gunakan untuk menyatakan kehidupan yang masih kosong.
Untuk menciptakan keindahan dan efek-efek tertentu
dalam puisi “CATETAN TH. 46” digunakan sarana
retorika. Pada puisi angkatan 45 dikenal banyak menggunakan hiperbola. Dalam puisi ini pula
ditemukan sarana retorika hiperbola pada baris
ke-7. Pada baris itu makna yang ditimbulkan terlalu berlebihan. Selain
itu pada baris ke-12 yang terdapat sarana retorika hiperbola. /Jangan
mengerdip/ disini berarti kita harus berusaha penuh perhatian hingga mata pun
tidak sempat mengerdip dan ‘kertas gersang’ untuk menyatakan
kehidupan yang masih kosong, bersih belum diisi apapun.
Di tinjau dari persajakannya (rima),
pada baris pertama ditemukan persamaan
bunyi pada akhir kalimat. Misalnya pada bait pertama memiliki rima abab. Pada bait kedua dijumpai keindahan
rima akhir pada baris pertama dan kedua. Bait kedua pada puisi ini memiliki
rima aabc. Pada bait terakhir
memiliki rima aabcc. Puisi “CATETAN
TH. 46” karya Chairil Anwar merupakan puisi baru yang tidak terikat oleh
aturan-aturan puisi lama. Terlihat pada sajaknya yang cukup berantakan, yaitu
bait pertama bersajak abab, bait
kedua bersajak aabc, dan bait ketiga
bersajak aabcc.
Dalam puisi ini digunakan pula perulangan bunyi alitrasi (perulangan bunyi konsonan) kabut-kupagut, sekarang-ranjang, asah-basah
dan asonansi (perulangan bunyi
vokal) terkulai-belai,
diburu-berdebu. Bahasa yang dipakai adalah bahasa kias. Banyak sekali
ungkapan-ungkapan yang digunakan, bahkan hampir semua kalimatnya merupakan
makna konotatif. Selain itu banyak pula dijumpai gaya sinisme, sehingga untuk memahami puisi Chairil Anwar diperlukan
penjiwaan yang kuat dan tidak dapat dimaknai begitu saja.
Puisi ini merupakan puisi yang bersifat patriotik.
Dari judulnya saja CATETAN TH. 46, mengingatkan kita pada peristiwa
kesejarahan. Untuk mengetahui makna puisi lebih jelas, akan diapresiasi dari
segi semantiknya.
Misalnya pada baris pertama, kata tangan mewakili keseluruhan diri si
aku. Baris ini menyatakan diri si aku yang tidak berdaya. Kata tangan dipilih
karena tangan merupakan pusat dari seluruh kegiatan tubuh. Jika tangan sudah
lemah, maka kegiatan tubuh pun ikut terganggu sehingga orang tak mampu bekerja
dan berusaha lagi.
Pada baris kedua, pandangan si aku mulai kabur, dan tidak
dapat melihat apapun yang menyenangkan.
Baris ketiga bermakna si aku mulai kehilangan orang-orang yang dicintai
dan segala sesuatu yang membuatnya hidup.
Pada baris keempat maksudnya, si aku membuat suatu karya untuk
menyatakan bahwa dirinya pernah hidup dan pernah ada di dunia. Karya tersebut
diciptakan agar ia tetap dikenang orang lain meskipun telah meninggal.
Pada baris kelima, kata anjing menjelaskan bahwa kita sedang
ada dalam situasi yang kacau, seperti anjing tidak mempunyai kehormatan dan
dipandang rendah. Sedangkan kata diburu berarti kita tidak memiliki waktu untuk
bersantai-santai, istirahat merasa gelisah dan penuh ketakutan. Dalam keadaan
seperti itu, kejadian atau peristiwa yang kita lihat hanya sedikit saja. Kita
tidak dapat melihat suatu peristiwa selengkapnya, tidak dapat menyaksikan
kehidupan ini secara utuh.
Hal ini depertegas pada baris keenam. Seperti halnya drama Romeo dan Juliet,
tidak sampai selesai sehingga kita tidak tahu mereka betemu di ranjang atau di
kuburan.
Pada bait terakhir bermakna lahirnya seorang pahlawan membawa korban
matinya beratus ribu rakyat. Oleh karena itulah peristiwa tersebut harus
dicatat dan diingat. Setelah merdeka, kita tidak perlu takut akan penjaja Jika
perang telah selesai, hanya kenangan menyedihkan yang tertinggal dan itu adalah
masa lalu. Setelah perang, segalanya terserah kepada kita. Apakah kita akan
bersungguh-sungguh mengejar arti hidup ini, yaitu bekerja keras, berjuang demi
pribadi dan kemanusiaan atau menyerahkan nasib pada generasi penerus. Oleh karena
itu jangan bersantai-santai, bekerja keraslah dan berusaha perhatian hingga
tidak sempat mengerdipkan mata, yang berarti pula menyelami kehidupan dengan
sungguh-sungguh. Bekerja keras untuk mengisi kehidupan yang masih kosong, belum
ada isinya. Bekerja demi kehidupan dan untuk hidup di dalam kehidupan ini.
Setelah memahami makna puisi di atas, kita tahu
bahwa melalui puisi tersebut penyair ingin bercerita tentang keadaan pada saat
itu. Banyak sekali nilai-nilai kehidupan dan perjuangan yang terkandung dalam
puisi “CATETAN TH. 46”. Puisi ini memberi tahu kita tentang keadaan saat
Indonesia dijajah dan tindakan setelah kemerdekaan. Pada masa penjajahan,
suasana sangatlah kacau, diselimuti rasa takut dan gelisah. Banyak korban
berjatuhan hanya untuk merebut kemerdekaan. Setelah kemerdekaan diraih, kita
wajib mengisinya dengan hal-hal yang positif.selalu bekerja keras dan berusaha
untuk hidup. Tidak menyerahkan nasib begitu saja kepada generasi muda yang
sedang memimpin pemerintahan pada saat itu. Selain itu tidak lupa pula kita
harus mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan, berkat kegigihan mereka kita
dapat merasakan indahnya hidup di era kemerdekaan..
Analisis Puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar dengan Pendekatan Analitik
dan Ekspresif
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini 1
Konkret, visual
tuan hidup kembali 2
tuan hidup kembali 2
Konkret, visual
Dan bara kagum menjadi api 3
Konkret, visual
Di depan sekali tuan menanti 4
Di depan sekali tuan menanti 4
Konkret, visual
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. 5
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. 5
Konkret, visual
Pedang di kanan, keris di kiri 6
Pedang di kanan, keris di kiri 6
Konkret, visual
Berselempang semangat yang tak bisa mati. 7
Berselempang semangat yang tak bisa mati. 7
Konotatif, taktil
MAJU 8
Ini barisan tak bergenderang-berpalu 9
MAJU 8
Ini barisan tak bergenderang-berpalu 9
Konotatif, visual
Kepercayaan tanda menyerbu. 10
konotatif, taktil
Kepercayaan tanda menyerbu. 10
konotatif, taktil
Sekali berarti 11
konotatif, taktil
Sudah itu mati. 12
konotatif,
taktil
MAJU 13
Bagimu Negeri 14
konotatif, taktil
Menyediakan api 15
. konotatif, taktil
Punah di atas menghamba 16
konotatif, taktil
Binasa di atas ditindas 17
konotatif,
taktil
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai 18
konotatif,
taktil
Jika hidup harus merasai 19
konotatif,
taktil
Maju 20
Serbu 21
Serang 22
Terjang 23
Dari hasil analisis puisi Diponegoro karya
chairil anwar mempunyai beberapa ciri – ciri yaitu termasuk puisi bebas yang
tidak terikat oleh pembagian bait, baris, dan persajakan {keluar dari aturan
konvensional}. Termasuk aliran ekspresionisme. Puisi-puisi angkatan ’45 lebih
banyak menggunakan kata – kata konkret, Pengimajinasian yang sering muncul
adalah visual, namun juga ada yang menggunakan imajinasi taktil. Sedangkan
majas yang digunakan adalah majas personifikasi.
Ciri berdasarkan struktur tematisnya sajak-
sajaknya mempunyai eksistensi diri yaitu tentang semangat cinta terhadap tanah
air, puisi ini juga menggambarkan hati sang pengarang yang ingin membakar
semangat generasi muda untuk membangun negeri ini.
Puisi diponegoro adalah puisi patriotik yang
bertema kebangsaan. Penyair merasa bahwa semangat dan kepahlawanan Diponegoro
muncul kembali di masa pembangunan ini bagaikan api. Karena kekaguman yang
besar terhadap pangeran diponegoro , maka penyair merasa mendapat semangat yang
besar (bara kagum menjadi api). Meskipun lawannya lebih banyak (seratus
kali),Diponegoro tetap berani. Dengan kekuatan tentara dan tradisi masyarakat
(pedang di kanan, keris di kiri) semangat Diponegoro hidup bernyala- nyala
(berselubung semangat yang tak bisa mati).
Penyair merasa bahwa hidup ini harus diberi arti/sekali
berarti itu sudah mati/. Meskipun
pasukannya kecil dan senjatanya sederhana/tak bergendang berpalu/, keberanian
Diponegoro telah memberikan api semangat kepada seluruh negeri agar berani
melawan penjajah. Penyair yakin, jika pemimpin binasa atau punah, maka rakyat
akan ditindas /punah di atas menghamba
binasa di atas ditinda/. Dengan mengenang Diponegoro, Penyair memberi
semangat kepada para pemuda agar berjuang sekuat tenaga/maju serbu
serang terjang/
PENUTUP
Puisi angkatan ’45
memiliki karakteristik yang berbeda dengan puisi-puisi angkatan sebelumnya.
Pada puisi angkatan ’45 telah terjadi perubahan dari segala bentuk, baik dari
struktur bentuk, isi, maupun dari segi semantiknya. Pada dasarnya, puisi-puisi
pada angkatan ini bersifat patriotik.
Dari segi bentuknya, puisi
angkatan ’45 memiliki perbedaan yang mencolok. Puisi pada angkatan ini lebih
bebas, tidak terikat oleh bait, baris, atau sajak. Para penyair angkatan ’45
lebih berani mengekspresikan pikirannya. Pada angkatan sebelumnya, para penyair
masih dieksploitasi oleh Jepang, mereka tidak bebas dalam mengekspresikan
pikiran.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1984. Pengantar Memahami Unsur-Unsur Dalam Karya Sastra.
Malang : Sinar baru
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang : Sinar
Baru
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga
.2003.Apresiasi Puisi.Jakarta:Gramedia
Pradopo,Rachmat Djoko.1987.Pengkajian Puisi.Yogyakarta:UGM Pres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar