APRESIASI
PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA MENGGUNAKAN PENDEKATAN ANALITIK DAN EKSPRESIF
PENDAHULUAN
Latar belakang pemilihan puisi dan pendekatan
Angkatan Balai Pustaka disebut juga dengan
angkatan 20-an. Puisi angkatan 20-an merupakan awal munculnya puisi baru. Pada
angkatan ini mulai terjadi pembaruan puisi, baik dari segi bentuk, isi, maupun
bahasa. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kelompok pemuda yang mulai tidak
menyukai puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu. Para pemuda
menganggap puisi lama yang bersifat statis itu tidak sesuai dengan jiwanya yang
bersifat dinamis dan ingin bebas. Mereka menginginkan puisi yang merupakan
pancaran jiwanya. Ada tiga orang yang dianggap sebagai perintis puisi baru,
yaitu Mr. Moh. Yamin, Rustam Effendi, dan Sanusi Pane.
Puisi angkatan Balai Pustaka ini cenderung
beraliran romantik dan impresionisme. Dalam aliran romantik, perasaan lebih
ditonjolkan, sedangkan pertimbangan rasio sering dinomorduakan. Kecenderungan
isi puisi yang beraliran romantik adalah menggambarkan keindahan alam, gunung,
dan sebagainya. Sebagai contoh, kumpulan puisi “Tanah Air” yang ditulis
oleh Moh. Yamin. Dalam puisi tersebut, Yamin melukiskan secara emosional
kecintaannya pada tanah airnya. Sedangkan dalam aliran impresionisme, pengarang
mengolah kesan-kesan yang timbul dari kenyataan di dalam batinnya, kemudian
pengarang membuat pemerian (deskripsi) tentang kesannya itu ke dalam puisi.
Sebagai contoh puisi yang menggunakan aliran ini adalah puisi “Teratai”
karangan Sanusi Pane. Dari segi isi, puisi angkatan Balai Pustaka cenderung
berisi tentang ungkapan perasaan pribadi seorang menusia (pengarang). Oleh
karena itu, digunakan pendekatan ekspresif untuk menganalisisnya
Sedangkan kalau dilihat dari aspek literernya,
puisi pada angkatan ini sedikit berbeda dengan puisi lama. Oleh karena itu,
untuk mengetahui perbedaan apa saja yang terdapat di dalamnya, digunakan
pendekatan analisis untuk menganalisisnya.
Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Tujuan penulisan hasil apresiasi puisi angkatan
Balai Pustaka ini adalah untuk memaparkan karakteristik puisi angkatan Balai
Pustaka yang dianalisis menggunakan pendekatan analitik dan ekspresif, sehingga
dapat diketahui perbedaannya dengan angkatan sebelumnya, yaitu puisi lama.
Dengan demikian, akan dapat diketahui mengapa angkatan ini juga disebut sebagai
pelopor/awal mula lahirnya puisi baru.
Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi
Pendekatan Analitik dan Prosedur Kerja
Secara umum, pendekatan analitik dapat diartikan
sebagai suatu pendekatan yang berusaha memahami unsur-unsur intrinsik dalam
suatu cipta sastra serta melihat bagaimana hubungan antara unsur yang satu
dengan lainnya serta peranan unsur-unsur tersebut. Disebut secara umum karena
rumusan pengertian tersebut belum mengacu pada salah satu genre sastra
tertentu, apakah itu prosa fiksi atau puisi. (Aminuddin, 1987:164)
Tidak berbeda jauh dengan pengertian di atas,
pengertian pendekatan analisis dalam mengapresiasi puisi adalah pendekatan yang
secara sistematis dan objektif berusaha memahami bagaimana hubungan antara
unsur yang satu dengan lainnya (Aminuddin 1987:164).
Menurut Aminuddin (1987:161), untuk mengapresiasi
puisi dengan menggunakan pendekatan analitik, dapat dilaksanakan langkah kerja
sebagai berikut:
- Membaca puisi yang akan dianalisis secara berulang-ulang,
- Menetapkan butir masalah yang akan dianalisis serta menentukan tata urutannya,
- Menganalisis puisi sesuai dengan masalah dan tata urutan yang telah ditetapkan,
- Menyusun konsep hasil analisis,
- Menyimpulkan hasil analisis.
Pendekatan Ekspresif dan Prosedur Kerja
Teori ekspresif, dengan
Plato dan Aristoteles sebagai pemulanya, beranggapan dasar bahwa teks sastra,
terutama puisi, pada dasarnya merupakan ekspresi spontan yang terolah lewat
kedalaman emosi pengarangnya. Ekspresi spontan itu sendiri dalam hal ini telah
terbebaskan dari ikatan kesan pengamatan pengarang terhadap suatu objek. Akan
tetapi, karena ekspresi spontan itu diawali oleh endapan pengalaman pengarang,
telaah lewat teori ekspresif ini sering diawali dengan upaya pemahaman terhadap
realitas yang menjadi pangkal timbulnya obsesi atau pengalaman. Oleh karena
itu, dalam telaahnya, riwayat hidup pengarang, peristiwa yang melatarbelakangi
kehadiran suatu karya sastra, menjadi penting.
Prosedur kerja untuk
mengapresiasi puisi menggunakan pendekatan ekspresif adalah sebagai berikut:
- Membaca puisi yang akan dianalisis secara berulang-ulang,
- Mencoba menemukan suasana yang terkandung di dalamnya,
- Mencari informasi tentang pengarangnya, seperti riwayat hidupnya dan peristiwa yang terjadi semasa ia mencipta karya tersebut.
KARAKTERISTIK PUISI
Karakteristik Bahasa Puisi
Diksi
Penyair harus cermat dalam
memilih diksi karena diksi yang dipilih harus dipertimbangkan maknanya,
komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan diksi itu di tengah konteks
diksi lainnya, dan kedudukan diksi dalam keseluruhan puisi itu. Oleh karena
itu, selain memilih diksi yang tepat, penyair juga harus mempertimbangkan
urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut.
Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji
(daya bayang) pembaca, biasanya digunakan kata konkret. Jika imaji pembaca
merupakan akibat dari pengimajian penyair, maka kata konkret dapat dikatakan
sebagai syarat atau sebab terjadinya pengimajian (Waluyo, 1987:81).
Puisi angkatan Balai Pustaka cenderung menggunakan
kata konkret. Sebagai contohnya dapat kita perhatikan puisi Bukit Barisan
karya Moh. Yamin di bawah ini!
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagipun sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna,
Oleh pucuk daun kelapa.
Kata Konotasi
Kata konotasi merupakan
kata yang memiliki makna tersirat.
Aduh lagu serunai jantung,
Susunan ombak bualan hati
...
(Lagu, Rustam Effendi)
Pengimajian
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata
atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Waluyo, 1987:78). Pengimajian biasanya
ditandai dengan penggunaan kata konkret. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam,
yaiti imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil. Menurut S. Effendi,
pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk
menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga
pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna,
dengan telinga hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati kita
menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna.
Imaji Visual
...
Di balik gunung, jauh di sana,
Terletak taman Dewata raya,
...
(Wijaya Kesuma, Sanusi Pane)
Imaji Taktil
...
Terdengar kampung memanggil taulan
Rasakan hancur tulang belulang
...
(Bukit Barisan, Moh. Yamin)
Imaji Auditif
...
Terdengar kampung memanggil
taulan
Rasakan hancur tulang belulang
...
(Bukit Barisan, Moh. Yamin
Bahasa Kias/Majas
Personifikasi
Personifikasi adalah gaya
bahasa yang menganggap benda-benda tak bernyawa mempunyai kegiatan, maksud, dan
napsu, seperti yang dimiliki oleh manusia.
...
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
...
(Dibawa Gelombang, Sanusi Pane)
Dalam puisi di atas, terdapat kalimat /alun membawa bidukku perlahan/.
Kata “membawa” lazimnya dilakukan oleh benda hidup (manusia), tetapi dalam
puisi di atas digunakan untuk “alun”. “alun” adalah gelombang yang memanjang
dan bergulung-gulung, biasanya lebih kecil daripada ombak, tetapi lebih besar
daripada riak (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:33).
Simili
Kiasan yang tidak langsung
disebut dengan simili. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama
pengiasnya dan digunakan kata-kata, seperti: laksana, bagaikan, bagai, bak, dan
sebagainya (Waluyo, 1987:84).
...
Seperti matahari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
...
(Sajak, Sanusi Pane)
Sarana Retorika/Gaya Bahasa
Hiperbola
Hiperbola adalah gaya
bahasa yang menyatakan sesuatu hal atau keadaan secara berlebihan. Penyair
terkadang merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar
mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
...
Ombak bergulung hambur-menghambur
Mencari tepi tanah pesisir
...
(Perasaan, Moh. Yamin)
Inversi
Inversi adalah gaya bahasa
yang meletakkan predikat di depan subjek. Gaya bahasa ini dapat dijumpai pada
puisi di bawah ini:
...
Supaya selamanya, segenap ketika
Harum berbau, semerbak belaka.
...
(Gubahan, Moh. Yamin)
Antitesis
Antitesis adalah gaya
bahasa yang mengandung paduan kata yang berlawanan.
...
Habislah tahun berganti zaman
Badan merantau sakit dan senang
Membawakan diri untung dan malang
...
(Bukit Barisan, Moh. Yamin)
Karakteristik Bentuk
Perulangan Bunyi
Rima
Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk
membentuk musikalitas atauorkestrasi. Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi
menjadi merdu jika dibaca.
Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.
...
(Bukan Beta Bijak Berperi, Rustam Effendi)
Aliterasi dan Asonansi
Pada puisi angkatan Balai Pustaka, mulai digunakan
sajak aliterasi dan asonansi. Pelopor penggunaan kedua sajak tersebut adalah
Rustam Effendi. Sajak aliterasi merupakan sajak awal (untuk mendapatkan efek
kesedapan bunyi); perulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:31). Contoh penggunaan sajak aliterasi:
Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
...
(Bukan Beta Bijak Berperi, Rustam Effendi)
sedangkan sajak
asonansi merupakan perulangan bunyi vokal di deretan kata (KAMUS BESAR BAHASA
INDONESIA, 2005:72). Contoh penggunaan asonansi,
Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dalam maksud isinya,
...
(Sajak, Sanusi Pane)
Onomatope
Onomatope berarti tiruan terhadap bunyi-bunyi yang
ada. Dalam puisi, bunyi-bunyi yang dipilih oleh penyair diharapkan dapat
memberikan gema atau memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan
oleh penyair. Efek yang dihasilkan akibat onomatope akan kuat terutama jika
puisi tersebut dioralkan (dibaca secara keras).
O, bukannya dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak.
...
(Sajak, Sanusi Pane).
Versifikasi
Irama atau Ritme
Ritma sangat berhubungan
dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan
kalimat. Ritma puisi berbeda dari metrum
(matra). Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum bersifat
statis. Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo yang berarti
gerakan-gerakan air yang teratur, terus-menerus, dan tidak putus-putus
(mengalir terus). Slame Mulyana menyatakan bahwa ritma merupakan pertentangan
bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur
dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Tiap penyair, aliran, periode,
dan angkatan, mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang
membentuk ritma itu. Dalam puisi pada angkatan Balai Pustaka, dalam membentuk ritma
yang padu, masih sering digunakan teknik pemotongan baris puisi menjadi dua
frasa. Teknik ini sama seperti pada puisi lama karena seperti yang kita
ketahui, puisi Balai Pustaka merupakan peralihan dari puisi lama ke puisi baru.
Bukan beta / bijak berperi,
Pandai menggubah / madahan syair,
Bukan beta / budak Negeri,
Musti menurut / undangan mair.
...
(Bukan Beta Bijak Berperi, Rustam Effendi)
Bentuk Soneta
Pada angkatan Balai
Pustaka, mulai dikenalkan bentuk puisi soneta oleh Moh. Yamin dan Rustam Effendi.
Soneta berasal dari Italia. Kata soneta berasal dari bahasa Latin sono
yang berarti suara. Maka, pengertian kata soneta adalah syair yang bersuara.
Perhatikan soneta Moh. Yamin di bawah ini!
PAGI-PAGI
Teja dan cerawat masih gemilang,
Memuramkan bintang mutiaranya,
Menjadi pudar padam cahaya,
Timbul tenggelam berulang-ulang.
Fajar di timur datang menjelang,
Membawa permata ke atas dunia,
Seri-berseri sepantun mulia,
Berbagai warna bersilang-silang.
Lambat laun serta berdandan,
Timbullah matahari dengan
perlahan,
Menyinari bumi dengan keindahan.
Segala bunga harum pandan,
Kembang terbuka, bagus gubahan,
Dibasahi embun, titik di dalam.
Dari contoh puisi di atas, dapat diketahui
ciri-ciri dari soneta, yaitu: memiliki jumlah baris 14 yang terbagi menjadi 2
kuatrin dan 2 terzina; rangka sajaknya /abba/ /abba/ /ccc/ /ccc/. Bentuk soneta
pada puisi Pagi-Pagi tersebut sebenarnya sudah bukan merupakan bentuk
asli soneta yang berasal dari Italia. Moh. Yamin dan Rustam Effendi, serta para
penyair dari Indonesia, tidak memegang terlalu dogmatis syarat-syarat soneta
asli Italia. Oleh karena itu, timbul barmacam-macam rangka soneta yang terdiri
14 baris.
Karakteristik Isi
Tema Puisi
Tema merupakan gagasan
pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu
demikian kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama
pengucapannya. (Waluyo, 1987:106)
Dalam puisi angkatan Balai
Pustaka, kita dapat menemukan tema puji-pujian terhadap Tanah Air. Contoh puisi
yang menggunakan tema tersebut dapat kita lihat pada kumpulan puisi Tanah
Air karya Moh. Yamin. Berikut ini kutipannya:
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandangi beta ke bawah
memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagipun sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna,
Oleh pucuk daun kelapa.
Selain tema tersebut, juga terdapat tema nasionalisme, seperti pada puisi Teratai
karya Sanusi Pane.
Nada dan Suasana Puisi
Dalam menulis puisi,
penyair memiliki sikap tertentu terhadap pembaca, apakh ia ingin bersikap
menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya
menceritakan sesuatu pada pembaca. Sikap penyair terhadap pembaca ini disebut
nada puisi.
Jika nada merupakan sikap
penyair pada pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca
puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca.
Jika kita bicara tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada,
tetapi jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah
membaca puisi, maka kita berbicara tentang suasana.
Nada dan suasana puisi
saling berhubungan karena nada puisi memberikan suasana terhadap pembacanya.
Sebagai contoh, nada kegelisahan dapat kita temukan dalam puisi Hujan Badai
karya Rustam Effendi.
Perasaan dalam Puisi
Dalam menciptakan puisi,
suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh
pembaca. Meskipun tema yang diambil oleh dua orang penyair sama, tetapi jika
perasaan masing-masing berbeda, maka hasil puisi yang diciptakan akan berbeda
pula. Sebagai contoh, perasaan penyair yang satu dengan yang lain berbeda-beda
dalam menghadapi pahlawan kemerdekaan. Sanusi Pane dalam puisinya Teratai
mengungkapkan kekagumannya terhadap Ki Hajar Dewantara, sehingga Ki Hajar
diumpamakan sebagai teratai. Berbeda dengan Chairil Anwar dalam puisinya Diponegoro.
Dalam puisi tersebut, Chairil menyatakan kekagumannya terhadap pahlawan itu dan
ia bermaksud untuk memberi nasihat kepada pembaca agar kepahlawanan Diponegoro
menjadi api pembangunan.
Amanat dan nilai Puisi
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat
ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi (Waluyo, 1987:130).
Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan
puisinya. Namun, banyak juga penyair yang tidak menyadari apa amanat puisi yang
diciptakannya. Mereka yang berada dalam situasi seperti ini biasanya merasa
bahwa menulis puisi merupakan kebutuhan untuk berekspresi atau kebutuhan untuk
berkomunikasi atau kebutuhan untuk aktualisasi diri.
HASIL APRESIASI DENGAN PENDEKATAN ANALITIK DAN EKSPRESIF
Analisis Puisi Teratai karya Sanusi Pane dengan Pendekatan Analitik
TERATAI
Dalam kebun di
tanah airku,
imaji visual, kata konkret
Tumbuh sekuntum bunga teratai,
imaji visual, kata konkret
Tersembunyi kembang indah permai,
imaji visual, kata konkret
Tidak terlihat
orang yang lalu.
imaji visual, kata konkret
Akar tumbuh di
hati dunia,
imaji visual, kata konkret
Daun berseri laksana mengarang,
imaji visual, kata konkret, majas simili
Biarpun ia diabaikan orang,
imaji visual, kata konkret
Seroja kembang
gembilang mulia.
imaji visual, kata konkret
Teruslah, o
teratai bahagia,
imaji visual, kata konkret
Berseri di
kebun Indonesia,
imaji visual, kata konkret
Biar sedikit penjaga taman.
imaji visual, kata konkret
Biarpun engkau
tidak diihat,
imaji visual, kata konkret
Biarpun engkau
tidak diminat,
imaji taktil, kata konkret
Engkaupun turut menjaga zaman.
imaji visual, kata konkret
Jika dianalisis menggunakan pendekatan analitik,
dapat diketahui bahwa puisi yang berjudul Teratai karya Sanusi Pane di
atas dari segi bahasanya menggunakan kata konkret, seperti yang terdapat dalam
kalimat /dalam kebun di tanah airku/. Pengimajian yang digunakan
didominasi oleh imaji visual. Meskipun demikian dapat ditemukan juga imaji
taktil, yaitu pada kalimat /biarpun engkau tidak diminat/. Puisi
tersebut secara keseluruhan menggunakan majas personifikasi. Namun. Ada pula
majas simili, yaitu pada kalimat /daun berseri laksana mengarang/.
Sarana retorika yang ditemukan adalah inversi, yaitu terdapat dalam kalimat /tumbuh
sekuntum bunga teratai/. Tumbuh adalah predikat, sedangkan sekuntum
bunga teratai adalah subjek.
Dari segi bentuk, puisi tersebut berima peluk,
yaitu /abba/ /abba/ /ccd/ dan /ccd/. Puisi tersebut juga menggunakan rima
aliterasi dan asonansi. Rima aliterasi dapat kita temukan pada kalimat /dalam
kebun di tanah airku/. Kata /dalam/ dan kata /tanah/
mengandung rima aliterasi, yaitu vokal /a/, sedangkan kata /kebun/ dan
kata /airku/ mengandung rima aliterasi, yaitu vokal /u/. Sebagai contoh
adanya rima asonansi dapat kita lihat pada kalimat /tersembunyi kembang
indah permai/. Dalam kalimat tersebut terdapat perulangan konsonan /m/.
Puisi tersebut berbentuk soneta karena terdiri atas 14 baris yang terbagi atas
2 kuatrin yang disebut oktaf dan 2 terzina yang disebut sektet.
Dari segi struktur isi, puisi tersebut bertemakan
kekaguman terhadap Ki Hajar Dewantara yang dilambangkan sebagai bunga teratai.
Perasaan dalam puisi tersebut adalah kekaguman terhadap Ki Hajar Dewantara,
sehinnga ia diumpamakan sebagai bunga teratai. Amanat yang terkandung di
dalamnya adalah bersifat sosial, yaitu sebagai makhluk sosial, manusia harus
peka terhadap lingkungan sekitarnya, termasuk pada pahlawan yang telah berjasa
bagi nusa dan bangsa.
Analisis Puisi dengan Pandekatan Ekspresif
Puisi tersebut tidak
menggambarkan teratai sebagai bunga, tetapi sebagai lambang untuk seorang tokoh
yang dikagumi oleh penyair, yaitu Ki Hajar Dewantara. Isi puisi tersebut
merupakan ungkapan perasaan pribadi pengarangnya yang berupa kesan penyair
terhadap tokoh tersebut. Kerendahan hatinya seperti bunga teratai yang tumbuh
di kolam, tidak dikenal oleh banyak orang, diabaikan dan tidak diminati. Namun
demikian, hasil pemikirannya diterima oleh seluruh umat bahkan menjadi dasar
pemikiran tingkat dunia. Pada bait ketiga dan keempat, penyair berharap agar Ki
Hajar Dewantara meneruskan gagasan dan cita-citanya demi kemajuan bangsa
Indonesia meskipun Ia tidak dikenal dan diminati orang. Dengan cara itulah Ki
Hajar Dewantara dapat turut menjaga zaman.
Dari bait-bait pada puisi
ini dapat diketahui bahwa pada saat penyair menciptakan puisi ini, ia sedang
dalam perasaan kagum terhadap salah seorang tokoh pahlawan yang kemudian
dituangkannya melalui bahasa puisi.
Analisis Puisi Tengah Malam karya Rustam Effendi dengan Pendekatan Analitik
TENGAH MALAM
Tengah malam
kata konkret, imaji visual
Aku tersintak
mengenang engkau
Kata konkret, imaji taktil
Padamu, buah
hatiku, aku merindu.
Kata konotasi kata
konkret
Imaji visual imaji
taktil
Majas metafora
Akh rahasia jiwa
Kata konotasi, imaji taktil,
majas metafora
tersiur,
terserah di dalam dada.
Kata konotasi, inaji visual dan takti, majas personifikasi
Tengah malam
Kata konkret, imaji visual
mata mengalir, tubuh menggigir.
Kata konotasi, imaji visua dan taktil, majas dipersonifikasi
Menyerbu, sayu dan rayu, ke dalam kalbu.
Kata konotasi, imaji visual dan taktil, majas personifikasi
Wah jahatnya kenangan,
Kata konotasi, imaji visual dan
taktil, majas personifikasi
risau risau tiada keruan,
Kata konkret, imaji taktil
Tengah malam
Kata konkret, imaji visual
aku mendamba kepada sa’at,
Kata konotasi, imaji visual
yang membawa jiwa ke hadirat Tuhan.
Kata konotasi kata konkret
Imaji visual imaji visual
Majas personifikasi
Wah besar gembira hati beta,
Kata konkreti, imaji
taktil
Alam silam, Malam betakhta.
kata konotasi, majas visual dan taktil, majas personifikasi
Berdasarkan hasil analisis
puisi Tengah Malam karya Rustam Effendi tersebut dapat diketahui bhwa dari segi
bahasa diksi atau pilihan kata yang digunakan sebagian besar adalah kata
konotasi,walaupun kata konkret juga banyak digunakan. Imaji atau imaji yang
mendominasi adalah imaji visual(penglihatan), sedangkan bahasa kias atau majas
yang sering muncul adalah majas personifikasi, yaitu menggambarkan benda-benda
mati atau tidak bernyawa seolah-olah hidup.
Dari segi bentuk, rima
yang digunakan penyair pada bait pertama dan kedua adalah rima patah, yaitu
dalam bait-bait puisi ada yang tidak berima, sedangkan kata-kata lain pada bait
yang sama dan baris yang berbeda memiliki rima, misalnya bait pertama berima /abbaa/
dan pada bait kedua /acbaa/.
Dalam puisi ini juga
terdapat perulangan bunyi konsonan (aliterasi) dan perulangan bunyi
vokal(asonansi). Contoh aliterasi pada baris terakhir bait terakhir Alam
silam, Malam bertakhta. Jika kita perhatikan, dalam kalimat tersebut
terdapat perulangan konsonan m. Sedangkan contoh asonansi pada baris ketiga
bait pertama, Padamu, buah hatiku, aku merindu, yaitu perulangan huruf
vokal u. Selain itu juga terdapat pada baris ketiga bait kedua, Menyerbu,
sayu dan rayu, ke dalam kalbu, yaitu perulangan bunyi vokal u. Contoh
lain terdapat pada baris pertama bait terakhir, Wah besar genbira beta.
Pada baris ini terdapat perulangan bunyi vocal a.
Bentuk larik dalam puisi ini sudah tidak seperti
puisi lama yang tiap baitnya terdiri dari empat baris, tapi sudah berupa bentuk
bebas. Ada yang tiap baitnya terdiri dari tiga baris, ada yang dua baris.
Contohnya bait pertama tiga baris, bait kedua dua baris dan seterusnya.
Dari struktur isi, tema
yang diangkat adalah ketuhanan. Suasana puisi ini adalah sedih, haru, dan
khidmat. Dari keseluruhan isi, kita dapat menyimpulkan bahwa amanat yang
terdapat dalam puisi ini adalah Tuhan merupakan tempat kita mengadu, saat kita
senang maupun susah. Kalau semua hal kita adukan kepada Tuhan, hati ini akan
merasa tenang, lapang, dan bebas dari beban.
Analisis Puisi dengan Pandekatan Ekspresif
Melalui pendekatan
ekspresif, kita akan dapat mengetahui bahwa penyair ingin menyampaikan/mengungkapkan
isi hatinya yang bergejolak, namun bisa ditenangkannya setelah dia melepasakan
semua bebannya pada Tuhan. Pengarang ingin menyampaikan kegundahan hatinya di
tengah malam. Kemudian dia menginginkan waktu untuk mengingat dan memuja
Tuhannya agar jiwanya merasa tenang. Setelah keinginannya terpenuhi, dia merasa
senang dan gembira. Penyair sangat pandai mengungkapkan isi hatinya sehingga
pembaca bisa ikut merasakan perasaan yang dialami penyair.
Analisis Puisi Hujan Badai karya Rustam Effendi dengan Pendekatan Analitik
HUJAN BADAI
Bersambung
kilat di ujung langit,
kata konkret, imaji visual, majas personifikasi
gemuruh-guruh,
berjawab-jawaban.
kata konkret, imaji visual, imaji auditif, majas personifikasi
Bertangkai
hujan, dicurah awan,
kata konkret, imaji visual, majas personifikasi
mengabut
kabut, sebagai dibangkir.
kata konkret, imaji visual, majas simili
Berhambur
daun, dibadai angin,
kata konkret, imaji visual, gaya bahasa hiperbola
pakaian dahan
beribu-ribuan.
kata konkret, imaji visual
Berkelang
kabut tak ketentuan,
kata konkret, imaji visual
menakut hati,
menggoyangkan batin.
kata konkret, imaji taktil, imaji visual
Begitu pula di
dalam hidup,
kata konkret, imaji visual
Lebih hebat,
lebih dahsyat, badai bersabung,
kata konkret, imaji visual, gaya bahasa hiperbola
Lebih
berkabut, bercabul topan, menggarung-garung.
kata konkret, imaji visual, gaya bahasa hiperbola
Seorang tidak
menolong kulud,
kata konkret, imaji visual
Hanya tetap,
tidak goyang, iman di jantung,
kata konkret, imaji visual, imaji taktil
Yakin mengenal
kepada Tuhan, itu tertolong.
kata konkret, imaji visual, imaji taktil
Jika dianalisis menggunakan pendekatan analitik, maka
dapat diketahui bahwa: pada bait pertama puisi di atas berima abba. Hal
tersebut menandakan bahwa bait pertama puisi itu menggunakan rima berpeluk
(rima paut) karena baris pertama berima sama dengan baris ke empat, baris kedua
berima sama dengan baris ketiga; bait kedua puisi tersebut berima aaaa. Hal itu
menunjukkan kalau bait kedua menggunakan rima rangkai karena kata-kata yang
berima terdapat pada kalimat yang beruntun; bait ketiga dan keempat memiliki
rima yang sama, yaitu cdd. Rima tersebut dikatakan sebagai rima kembar karena
kalimat yang beruntun dua-dua berima sama.
Di dalam puisi tersebut hanya terdapat satu macam
perulangan bunyi, yaitu perulangan bunyi konsonan (aliterasi). Perulangan
tersebut dapat ditemukan dalam baris kedua dan ketiga pada bait pertama.
Diksi yang digunakan didominasi oleh kata konkret,
misalnya pada bait pertama baris pertama /bersambung kilat di ujung langit/,
kalimat tersebut sudah merupakan makna sesungguhnya (kata konkret), yaitu
sambaran-sambaran kilat di langit yang sampai ke bumi.
Pengimajian yang digunakan dalam puisi tersebut
ada tiga, yaitu: imaji visual, misal /bersambung kilat di ujung langit/,
secara kasat mata kita dapat melihat kilat di langit; imaji auditif, misal /gemuruh-guruh,
berjawab-jawaban/; dan imaji taktil, misal /iman di jantung/, besar
atau kecilnya keimanan yang dimiliki oleh seseorang hanya dapat dirasakan oleh
orang itu sendiri dari dalam hati nuraninya.
Secara umum, majas yang digunakan adalah majas
personifikasi karena dalam soneta di atas, dua bait pertama hanya melukiskan
keadaan alam belaka, dan kemudian ini digunakan Rustam sebagai perbandingan
dengan kehidupan manusia itu sendiri seperti yang terlihat pada bait
berikutnya. Dalam puisi tersebut pula, dapat kita temukan amanat yang ingin disampaikan
oleh penyair, yaitu bahwa dalam semua hal, termasuk dalam hujan badai yang
begitu dahsyat, seseorang harus tetap yakin kepa Tuhan karena Tuhan akan
menolong setiap hamba-Nya yang yakin terhadap-Nya.
Sarana retorika yang digunakan adalah inversi, yaitu
menyebutkan predikat terlebih dulu, baru setelah itu subjeknya. Salah satu
contoh sarana retorika ini dapat ditemukan pada kalimat /bersambung kilat di
bawah langit/, bersambung adalah predikat, sedangkan kilat
adalah subjek. Sarana retorika yang lain adalah hiperbola, misalnya terdapat
pada kalimat /begitu pula di dalam hidup, lebih hebat, lebih dahsyat, badai
bersabung/. Pada kalimat tersebut, kita dapat melihat bahwa penyair terlalu
melebih-lebihkan keadaan dari kenyataan yang sebenarnya.
Puisi tersebut memiliki beberapa macam rima.
Berdasarkan bunyi bait pertama merupakan rima tak sempurna karena yang berima
hanya sebagian suku akhirnya, seperti: la-ngit dan bang-kir, ja-wa-ban
dan a-wan. Berdasarkan letak kata-kata dalam baris merupakan rima tertutup,
yaitu jika yang berima itu suku akhir tertutup dengan vokal yang diikuti
konsonan yang sama dan merupakan rima berpeluk karena baris pertama berima
dengan baris keempat, baris kedua berima dengan baris ketiga (abba). Rima
asonansi juga ditemukan pada puisi tersebut, misalnya /gemuruh-guruh/,
dalam kata tersebut terdapat rima asonansi /u/.
Puisi tersebut berbentuk soneta karena terdiri
atas 14 baris (2 kuatrin dan 2 terzina) dan berima /abba/ /abba/ /cdd/ /cdd/.
Berdasarkan struktur isi, tema puisi tersebut
adalah tentang pergulatan batin manusia. Nada dalam puisi tersebut menegangkan
dan mencekam, sehingga menciptakan suasana yang menegangkan dan mencekam pula.
Perasaan pengarang yang dituangkannya ke dalam puisi tersebut bercampur aduk
antara rasa sedih, marah, takut, dan keinginan untuk memperoleh ketenangan
batin. Amanat yang terkandung di dalamnya adalah seperti apapun masalah yang
dihadapi oleh manusia yang beriman, hendaklah ia berusaha dan berpasrah pada
Tuhan Yang Maha Esa agar mendapatkan ketenangan jiwa.
Analisis Puisi dengan Pandekatan Ekspresif
Melalui pendekatan ekspresif, dapat kita ketahui
bahwa penyair ingin mengungkapkan perasaannya tentang hujan badai dan apa saja
yang dapat diakibatkan olehnya. Pengungkapkannya dapat kita lihat dari penggambarannya
tentang hujan badai. Pada bait pertama, dapat kita ketahui bahwa hujan badai
dapat ditandai dengan adanya kilat yang bersambung-sambungan di langit yang
desertai oleh suara-suara gemuruh petir. Kemudian awan yang sebelumnya telah
mendung akan mengakibatkan hujan turun dan kabut akan begitu tebal sehingga
susah untuk ditembus dengan mata. Ketakutan penyair tentang hujan badai juga
digambarkannya pada bait kedua dengan adanya kalimat /menakut hati,
menggoyangkan batin/. Meskipun begitu dahsyat hujan badai yang terjadi,
penyair tetap yakin bahwa barang siapa yang beriman pada Tuhan, Tuhan
pasti akan menolongnya. Hal itu seperti yang diungkapkannya pada bait
keempat baris ketiga /yakin mengenal kepada Tuhan, itu tertolong/.
Analisis Puisi Gita Gembala karya Moh. Yamin dengan Pendekatan Analitik
GITA GEMBALA
Lemah-gemalai
lembut derana
kata konkret, imaji taktil, majas personifikasi
Bertiuplah
angin sepantun ribut
kata konkret, imaji taktil, majas personifikasi
Menuju gunung
arah ke sana
kata konkret, imaji visual
Membawa awan
bercampur kabut.
kata konkret, imaji visual
Dahan
bergoyang sambut-menyambut
kata konkret, majas personifikasi
Menjatuhkan
embun jernih berwarna
kata konkret, imaji visual
Menimpa bumi,
beruap dan lembut
kata konkret, imaji visual, imaji taktil
Sebagai benda
tiada guna.
kata konkret
Jauh di sana
diliputi awan
kata konkret, imaji visual
Terdengar
olehku bunyi nan rawan
kata konkret, imaji auditif
Seperti
permata dada perawan.
kata konkret, imaji visual
Alangkah
berahi, rasanya jantung
kata konkret, imaji taktil, majas personifikasi
Mendengarkan
bunyi suara kulintang
kata konkret, imaji auditif
Melagukan
gembala membawa untung?
kata konkret, imaji auditif
Berdasarkan
hasil analisis puisi Gita Gembala karya Moh.Yamin tersebut dapat diketahui
bahwa dari segi bahasa, diksi atau pilihan kata yang digunakan sebagian besar
adalah kata konkret daripada kata konotatifnya. Penggunaan kata konkret dapat
dilihat pada bait kedua “bertiuplah angin“ dan pada bait ketiga yaitu ”menuju
angin arah kesana” . Pengimajian yang ditemukan didalam puisi ini ada 3 yaitu
imaji visual (sesuatu yang dapat dilihat) misalnya “dahan bergoyang”,
imaji auditif (sesuatu yang dapat didengar) misalnya kata “mendengarkan
bunyi”, dan yang terakhir adalah imaji taktil (sesuatu yang dapat dirasa)
misalnya kata “bertiuplah angin”. Puisi Gita Gembala ini menggunakan 3
bahasa kias/majas yaitu simile, personifikasi, dan metafora tetapi bahasa kias
yang cenderung muncul adalah majas personifikasi misalnya saja pada bait pertama
baris pertama lemah gemulai lembut derana dan pada baris kedua bertiuplah
angin sepantun ribut sedangkan sarana retorika/gaya bahasa cenderung
menggunakan hiperbola misalnya saja dalam kata “menjatuhkan embun”
Bentuk puisi didalam menganalisis puisi
tersebut ada 2 yaitu perulangan bunyi dan versifikasi. Perulangan bunyi
mencakup rima, aliterasi & asonansi, onomatope. Didalam puisi Gita Gembala
ini menggunakan rima/sajak akhir yaitu pola persamaan bunyi yang hampir
digunakan oleh setiap penyair, persamaan bunyi yang terdapat diakhir baris. Hal
itu dapat dilihat pada bait kedua yaitu diliputi awan, nan rawan, dan dada
perawan. Perulangan ada diakhir baris dengan akhiran yang sama yaitu –an. Puisi
ini juga mempunyai 2 macam perulangan bunyi, yang pertama aliterasi (perulangan
bunyi konsonan) dapat dilihat pada bait pertama yaitu ribut, kabut,
menyambut, dan lembut. Konsonan yang mengalami perulangan bunyi adalah ”t”.
Yang kedua perulangan bunyi asonansi (perulangan bunyi vokal) juga dapat
dilihat pada bait pertama yaitu lembut derana, arah kesana, jernih berwarna,
dan tiada guna. Vokal yang mengalami perulangan bunyi adalah vokal ”a”
sedangkan versifikasi yang digunakan dalam puisi ini adalah bentuk soneta
karena terdiri dari 14 larik yang terdiri dari 1 oktaf dan 2 terzina.
Dari
struktur isi puisi tema yang diambil adalah keindahan alam, sikap penyair
terhadap pembaca didalam puisi ini ingin menggambarkan keindahan dan kesenangan
saat membaca puisi ini. Dengan menggunakan rima yang bervariasi menghasilkan
nada/irama yang indah sehingga perasaan dalam membaca puisi selalu terlihat
ceria. Amanat yang dapat ditemukan dalam puisi ini adalah kita dapat melihat
kenyataan bahwa menggembala tidak sesusah yang kita pikirkan karena sebenarnya
menggembala merupakan kegiatan yang menyenangkan sedangkan nilai yang diambil
dari puisi ini adalah nilai estetik/keindahan.
Pendekatan
yang digunakan untuk menganalisis puisi ini adalah pendekatan analitik dan
pendekatan ekspresif. Pendekatan analitik adalah suatu pendekatan yang berusaha
memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan-gagasannya, elemen
intrinsik, dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga
mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun
totalitas bentukmaupun totalitas maknanya. Didalam puisi Gita Gembala karya
Moh. Yamin ini penerapan pendekatan analitiknya dapat dilihat dari
gagasan-gagasan yang ditampilkan didalam puisi. Beliau memunculkan setiap
gagasannya dengan sangat imajinatif. Puisi gita gembala ini menggunakan setting
tempat yaitu daerah persawahan dengan suasana yang ceria sedangkan pendekatan
ekspresif dalam mengapresiasi sastra adalah suat pendekatan yang berusaha
menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Pendekatan
ekspresif dipilih untuk menganalisis puisi Moh. Yamin ini karena dapat
memberikan hiburan dan kesenangan kepada pembacanya. Adanya bahasa kias/majas
seperti personifikasi/simile mampu menghasilkan panorama yang menarik.
Keindahan juga dapat dilihat dari masalah pola persajakan dan panduan bunyi
yang dapat menghadirkan unsur-unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Puisi
gita gembala ini berisi tentang keindahan kesenangan didalam menggembala yang
dapat dilihat dari kata-katanya yang menggunakan alam untuk mendeskripsikan
keindahan tersebut.
Analisis Puisi dengan Pandekatan Ekspresif
Melalui pendekatan ekspresif, dapat diketahui
bahwa pengarang ingin mengungkapkan perasaannya tentang alam yang sedang
dirasakannya. Tentang angin, gunung, awan, kabut, embun, dan sebagainya.
Seperti pada bait pertama, pengarang menggambarkan hembusan angin yang bertiup
ke arah gunung. Angin tersebut membawa awan bercampur kabut yang menandakan
hari itu akan terjadi hujan. Pada bait-bait selanjutnya pun demikian.
Penggambaran-penggambaran kejadian alam dilakukanoleh pengarang.
Analisis Puisi dengan Pendekatan Analitik
SAWAH
Sawah dibawah emas padu
Kata konkret kata konotatif
Imaji visual imaji visual
Padi melambai, melalai terkulai
Kata konotatif kata konkret
Imaji visual imaji visual
dan taktil
Majas personifikasi
Naik suara
salung serunai,
Imaji auditif kata konkret
Sejuk didengar, mendamaikan kalbu
Kata konotatif kata konotatif
Imaji auditif imaji taktil
Majas Personifikasi
Sungai brsinar, menyilaukan mata
Kata konotatif kata konkret
Imaji visual
Menyemburkan
buih warna pelangj
Kata konotatif kata
konkret
Imaji
visual
Anak mandi bersuka hati,
Kata konkret kata konkret
Imaji visual imaji taktil
Bekejar-kejaran, berseru gempita.
Kata konkret imaji auditif
Imaji visual
Langit lazurdi bersih
sungguh,
Kata
konkret
Imaji
visual
Burung elang melayang-layang,
Kata konkret kata konkret
Imaji visual imaji visual
Sebatang kara
dalam udara.
Kata konotatif, Imaji visual
Desik berdesik daun buluh,
Kata konotatif kata konkret
Imaji auditif imaji visual
Dibuai angin
dengan sayang,
Kata konotatif, Imaji taktil
Majas personifikasi
Ayam berkokok sayup suara.
Kata konkret kata konotatif
Imaji visual imaji auditif
Pada puisi Sawah
tersebut digunakan kata konkret dan konotasi. Namun, kata konkret yang paling
dominan digunakan. Kata konotasi hanya terdapat pada kata /padi melambai/.
Sedangkan imaji yang ada dalam puisi “sawah” adalah imaji visual (penglihatan)
pada kata sawah, padi melambai, anak mandi, melalai terkulai,
berkejar-kejaran, burung elang melayang-layang. Imaji auditif (pendengaran)
pada kata suara salung, sejak didengar, berseru gempita, desik-berdesik,
ayam berkokok, sayup suara.Imaji taktil (perasaan) pada kata bersuka
hati, dibuai angin dengan sayang. Tetapi yang mendominasi adalah imajinasi
visual, sawah, padi melambai, terkulai, melalai terkulai, menyilaukan mata,
anak mandi, berkejar-kejaran, burung elang melayang dan buluh. Puisi
tersebut menggunakan majas personifikasi, seperti pada kalimat /Padi
melambai, melalai terkulai/. Kata “melambai” lazimnya dilakukan oleh
manusia karena hanya manusia yang mempunyai tangan sehingga dapat melambai,
tetapi pada puisi ini digunakan pada padi. Dilihat dari isinya, puisi ini
bertema keindahan alam.
Puisi ini juga menggunakan rima aliterasi dan
asonansi. Contoh adanya rima aliterasi dapat kita temui pada kalimat /Padi
melambai, melalai terkulai/, perulangan bunyi vokalnya terdapat pada vokal
/a/ dan /i/. Dari kalimat itu pula, kita dapat melihat adanya rima asonansi.
Perulangan bunyi konsonannya adalah bunyi /m/ dan /l/.
Dari segi struktur isi,
tema/ide dasar yang diangkat dalam puisi ini yaitu tentang panorama alam
(sawah) yang begitu indah agar pembaca bisa merasakan keindahan alam tersebut.
Suasana yang terdapat dalam puisi adalah kegembiraan. Penyair ingin
menggambarkan tentang keindahan sawah yang dapat dilihat. Oleh karena itu puisi
ini didominasi dengan imaji visual karena penyair berharap agar pembaca dapat
melihat keindahan sawah tersebut. Penyair berusaha menjelaskan bahwa ada banyak
hal yang bisa dinikmati di sawah.
Analisis Puisi dengan Pandekatan Ekspresif
Puisi yang merupakan
ungkapan jiwa pengarangnya tersebut menggambarkan daerah sekitar persawahan.
Daerah persawahan tersebut digambarkan begitu indah dan menyenangkan.
Kegembiraan anak-anak yang berkejar-kejaran dan mandi di sungai. Sungai yang
seakan-akan bersinar karena memantulkan sinar mentari yang menyilaukan mata,
namun terlihat indah karena menimbulkan warna pelangi. Pengarang merasa senang
dan terpukau oleh panorama alam yang indah tersebut.
PENUTUP
Simpulan
Setelah mengapresiasi beberapa puisi angkatan
Balai Pustaka menggunakan pendekatan analitik dan ekspresif, dapat disimpulkan
bahwa puisi pada angkatan Balai Pustaka sudah mengalami pembaruan dibandingkan
dengan puisi lama. Pembaruan tersebut dapat dilihat dari segi bentuk, bahasa,
maupun isi. Adanya pembaruan dalam hal puisi ini menyebabkan puisi pada
angkatan Balai Pustaka dianggap sebagai masa peralihan dari puisi lama ke puisi
baru sehingga ada pula yang menyebut angkatan ini sebagai angkatan pra-Pujangga
Baru.
Untuk menganalisis aspek literernya, digunakan
pendekatan analitik. Melalui pendekatan tersebut dapat diketahui bahwa secara
umum, puisi angkatan Balai Pustaka menggunakan: kata konkret; imaji visual;
rima aliterasi dan asonansi; majas personifikasi; dan tema tentang kekaguman
terhadap alam, Tanah Air, dan pahlawan, serta berbentuk soneta. Isi puisi pada
angkatan Balai Pustaka merupakan ungkapan perasaan pribadi pengarangnya. Oleh
karena itu, pendekatan ekspresif juga merupakan pendekatan yang digunakan untuk
menganalisisnya. Beberapa puisi yang telah dianalisis menggunakan pendekatan
ekspresif menunjukkan bahwa penyair yang mencipta puisi itu pada saat itu
sedang mengalami rasa kagum terhadap apa yang dilihat, didengar, dan
dirasakannya, seperti kekaguman pada Tanah Air, alam, dan pahlawan, yang
kemudian dituangkannya melalui bahasa puisi.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar
Baru
Soetarno. 1981. Peristiwa Sastra Indonesia. Surakarta: Widya Duta
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
Ajip, Rosidi. 1976. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina
Cipta
wahhh.. makasi kak,, jadi bisa ngerjain tugas ni.. :)
BalasHapus