PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angkatan
Pujangga Baru disebut juga angkatan ’33 atau ’30-an. Angkatan ini menginginkan
perubahan dari budaya statis menuju budaya yang dinamis. Angkatan sebelum
Pujangga Baru lebih menonjolkan sisi didaktisnya daripada ide-ide seni
murninya. Sedangkan angkatan Pujangga Baru dalam karya sastra khususnya puisi
cenderung bersifat estetis, individualis, dan murni ditujukan untuk seni itu
sendiri. Ini berkaitan dengan aliran sastra yang tampak pada puisi-puisi
Pujangga Baru yaitu aliran romantik.
Dasar
pemikiran aliran ini (Waluyo,1987: 32) adalah ingin menggambarkan kenyataan
hidup dengan penuh keindahan tanpa cela. Jika yang dilukiskan itu adalah
kebahagiaan, maka kebahagiaan itu sempurna tanpa tara.
Sebaliknya jika yang dilukiskan kesedihan, maka pengarang ingin agar air mata
terkuras. Oleh karena itu, antara aliran romantis sering dikaitkan dengan sifat
sentimental atau cengeng.
Dalam
aliran ini perasaan lebih ditonjolkan, sedang rasio dinomorduakan. Oleh karena
itu, pendekatan yang sesuai untuk mengapresiasi puisi-puisi angkatan Pujangga
Baru adalah pendekatan analitik dan pendekatan ekspresif. Dengan pendekatan
analitik kita dapat memahami gagasan, figurasi, mekanisme unsur-unsur puitik
dan kontribusinya dalam membina keutuhan karya sajak. Sedangkan dengan
pendekatan ekspresif, kita dapat mengetahui pemikiran, pandangan perasaan, dan
proses kejiwaan pengarang.
Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Tujuan
penulisan apresiasi puisi angkatan 30-an ini adalah untuk memaparkan
karakteristik puisi angkatan 30-an yang dianalisis menggunakan pendekatan
analitik dan ekspresif. Dengan demikian dapat diketahui perbedaan angkatan 30-an
ini dengan angkatan sebelumnya.
Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi
Pendekatan
analitik dimaksudkan untuk dapat memahami gagasan, figurasi, mekanisme
unsur-unsur puitik, kontribusinya dalam membina keutuhan karya sajak
(Soedjijono,1996:74). Pendekatan ini disebut pendekatan paling bersifat literer
karena dalam analisisnya memperhatikan unsur-unsur kesastraan yang membangun
karya puisi. Unsur-unsur kesastraan yang membangun struktur sajak di antaranya
adalah irama, bunyi indah (aliterasi, asonansi, onomatope), larik, bait, gaya bahasa.
Prosedur
kerja untuk mengapresiasi puisi dengan pendekatan analitik adalah membaca puisi
yang akan dianalisis secara berulang-ulang, menetapkan butir masalah yang akan
dianalisis, menganalisis puisi dengan tata urutan yang telah ditetapkan, dan
menyusun hasil analisis.
Pendekatan
lain yang digunakan untuk menganalisis puisi angkatan Pujangga Baru merupakan
pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang terletak dari
pemikiran bahwa karya sastra merupakan ekspresi pengarang (Badrun, 1989:104).
Karya sastra adalah hasil proses kreatif yang bersumber dari tekanan perasaan
dan terbentuk dari gabungan persepsi, pemikiran, dan perasaan penyair.
Jadi,
masalah pokok yang dibahas dalam pendekatan ini adalah pemikiran, pandangan,
dan proses kejiwaan pengarang atau hal-hal lain yang berkaitan dengan
pengarang. Dengan pendekatan ekspresif, kita dapat mengapresiasi puisi-puisi
angkatan Pujangga Baru yang menganut aliran romantisme, yang lebih menonjolkan
perasaan yang mungkin dialami oleh pengarang.
KARAKTERISTIK
PUISI
Karakteristik
Bahasa
Diksi
Diksi
merupakan pemilihan kata dalam puisi (Waluyo, 1987:72). Puisi angkatan Pujangga
Baru merupakan puisi yang beraliran romantik. Oleh karena itu, dalam aliran ini
perasaan lebih sering ditonjolkan. Pertimbangan rasio sering dinomorduakan,
seringkali puisi karya angkatan Pujangga Baru berusaha membuai perasaan
pembacanya. Termasuk pembicaraan diksi ialah tentang denotasi dan konotasi.
Denotasi
Denotasi
sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau
hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan atau diceritakan (Altenbernd
dalam Pradopo, 1987:58). Puisi angkatan Pujangga Baru lebih banyak menggunakan
kata denotasi. Penyair ingin menggambarkan sesuatu secara lebih konkret. Bagi
penyair mungkin dirasa lebih jelas karena lebih konkret. Contoh puisi angkatan
Pujangga Baru yang menggunakan kata denotasi adalah:
Dengan
apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan
senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.
(Amir
Hamzah, Doa)
...
Di
tengah manusia
Aku
tersia-sia,
Mencari
khabar
Yang
agak benar
...
(Y.E
Tatengkeng, Gadis Belukar)
...
Hanya
dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai.
Hanya
dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada.
(STA,
Prjuangan)
...
Duduk
di pantai tanah yang permai
Tempat
gelombang pecah berderai
Berbuih
putih di pasir terderai
...
(Muhammmad
Yamin, Indonesia
Tumpah Darahku)
Konotasi
Kumpulan
asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari
setting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi menambah denotasi dengan
menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai, dengan memberi daging (menyempurnakan)
tulang-tulang arti yang telanjang dengan perasaan atau akal (Altenbernd dalam
Pradopo, 1987:59). Contoh puisi angkatan Pujangga Baru yang menggunakan kata
konotasi adalah:
...
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
...
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)
...
Gairah menggulung menuju teluk
Selara tua gugur ke tanah
Pucuk muda tertawa mengolak sela,
Keranda muram diusung ke makam,
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)
...
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun
berseri, Laksmi mengarang
Biarpun
dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
...
(Sanusi Pane, Teratai)
Imaji
Pengimajian
dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau susunan kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji
auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat kita
rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil) (Waluyo,1987:78).
Imaji visual
Imaji
visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan
penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh pembaca (Waluyo, 2005:10). Puisi
angkatan Pujangga Baru banyak menggunakan imaji visual. Hal ini dapat dilihat
dalam beberapa contoh puisi di bawah ini:
...
O, kulihat tali,
Yang tak terpandang oleh mata
...
(Y.E Tatengkeng, Nelayan Sangihe)
...
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
...
(Muhammad Yamin, Indonesia
Tumpah Darahku)
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh
sekuntum bunga teratai
Tersembunyi
kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang lalu.
...
(Sanusi Pane, Teratai)
Imaji taktil
Imaji
taktil (perasaan) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu
memengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya (Waluyo,
2005:11). Hal ini dapat dilihat dalam beberapa contoh puisi di bawah ini:
...
Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi.
Tenteram dan damai berbaju putih di dalam kubur.
Tetapi hidup adalah perjuangan
...
(STA, Perjuangan)
Selain itu penerapan
imaji taktil juga terdapat dalam puisi “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dan
puisi “Jangan Tanggung Jangan Kepalang” karya Sutan Takdir Alisyahbana.
...
Dalam rupa mahasempurna
Rindu sendu mengahru kalbu
Ingin datang merasa ssentosa
Menyerap hidup tertentu tuju
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)
...
Mengapa bimbang berhati walang
Berhenti tertegun langkah tertahan
Takut percuma segala kerja
Sangsi berharga apa dipuja?
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)
Imaji auditif
Imaji
auditif (pendengaran) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga pembaca
seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair (Waluyo,
2005:11). Hal ini dapat dilihat dalam beberapa contoh puisi di bawah ini:
...
Demikian rasa
datang semasa,
Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat diingin.
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)
...
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejari bumi ayah dan ibu
...
(Muhammmad
Yamin, Indonesia
Tumpah Darahku)
...
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahana suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti,
Pekik dan tempik sambut menyambut.
...
(STA, Menuju ke Laut)
...
Susah sungguh saya sampaikan,
Degup-deguoan di dalam kalbu,
lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.
...
(Rustam Effendi, Bukan Beta Bijak Berperi)
Bahasa Kias
Pengiasan
disebut juga simile atau persamaan, kerena membandingkan atau menyamakan
sesuatu dengan hal yang lain (Waluyo,1987:82). Adanya bahasa kias ini
menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup dan
terutama menimbulkan kejelasan angan.
Simile
Simile
ialah bahasa kiasan yang mempersamakan satu hal dengan hal yang lain dengan
menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti,
semisal, seumpama, dan kata-kata pembanding yang lain (Pradopo, 1987:62).
Perumpamaan atau perbandingan ini merupakan bahasa kiasan yang paling sederhana
dan banyak digunakan dalam sajak. Contoh puisi angkatan Pujangga baru yang
menggunakan simile adalah;
Bagaikan banjir gulung-gemulung
Bagaikan topan seruh-menderuh
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)
...
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa
dikau dekat rapat
Serupa Musa di puncak tursina.
(Amir Hamzah, Hanya Satu)
...
Perjuangan
semata lautan segara
Perjuangan
semata alam semesta
...
(STA, Perjuangan)
Personfikasi
Kiasan
ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat,
berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 1987:75). Penerapan majas
personifikasi puisi angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut:
...
Ombak ria berkejar-kejaran
Di gelanggang biru bertepi langit
...
(STA, Menuju ke Laut)
...
Selara tua gugur ke tanah
Pucuk muda tertawa mengolak sela,
Keranda muram diusung ke makam
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)
...
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas
...
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)
...
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejari bumi ayah dan ibu
...
(Muhammmad Yamin,
Indonesia
Tumpah Darahku)
Metafora
Metafora
ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata
pemabanding, seperti bagai, laksana, seperti dan sebagainya. Metafora itu
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Pradopo, 1987:66). Penerapan
majas personifikasi puisi angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut:
...
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
...
(Muhammmad
Yamin, Indonesia
Tumpah Darahku)
...
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri, Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
...
(Sanusi Pane, Teratai)
Allegori
Allegori
ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain (Pradopo, 1987:71). Allegori ini
sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Puisi angkatan Pujangga Baru yang
menggunakan majas allegori adalah “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir
Alisyahbana dan “Teratai” karya Sanusi Pane.
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang, tiada beriak,
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin topan,
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimipi yang nikmat
....
(STA, Menuju ke Laut)
Puisi
karya Sutan Takdir Alisyahbana “Menuju ke Laut” merupakan puisi yang
melambangkan angkatan baru yang berjuang ke arah kemajuan. Angkatan baru ini
dikiaskan sebagai air danau yang menuju ke laut dengan melalui
rintanagn-rintangan. Laut penuh gelombang, mengiaskan hidup yang penuh dinamika
perjuangan dan penuh pergolakan. Jadi, puisi tersebut mengiaskan angkatan muda
yang penuh semangat menuju kehidupan baru yang dinamis, meninggalkan adat yang
statis, kehidupan lama yang beku dan tidak mengalir. Selain itu penerapan majas
alllegori juga terdapat dalam “Teratai” puisi karya Sanusi Pane.
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh
sekuntum bunga teratai
Tersembunyi
kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
...
(Sanusi Pane, Teratai)
Puisi
Sanusi Pane “Teratai” melambangkan Ki Hadjar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat
kebangsaan dan bersifat Indonesia
asli.
Sinekdoki
Sinekdoki
adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang paling penting suatu
benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Pradopo, 1987:78). Penerapan sinekdoki
dalam puisi angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut:
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
...
(Sanusi Pane, Teratai)
Sarana Retorika
Sarana
retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd
dalam Pradopo, 1987:93). Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan
ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan da
dimaksudkan oleh penyairnya.
Tautologi
Tautologi
adalah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya
supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
Sering kata yang dgunakn untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama
atau hampir sama (Pradopo, 1987:95). Contoh tautologi dalam puisi angkatan
Pujangga Baru adalah:
...
Kami berbuai dalam nafasmu
Tiada kuasa tiada berdaya
Turun naik dalam ‘rama-Mu
(STA, Dalam Gelombang)
...
Sarat saraf seloka lama,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
...
(Rustam Effendi, Bukan Beta Bijak Berperi)
Pleonasme
Pleonasme
(keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti
tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang
pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang
bagi pembaca atau pendengar (Pradopo,1987:95). Contoh pleonasme dalam puisi
angkatan Pujangga Baru adalah:
Alun bergulung naik meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah,
...
(STA, Dalam Gelombang)
Pararelisme
Pararelisme
(persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud dan tujuaannya serupa.
Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang
mendahului (Pradopo, 1987:97). Contoh paralelisme dalam puisi angkatan Pujangga
Baru adalah:
...
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkau turut menjaga zaman
(Sanusi Pane, Teratai)
...
Dalam tubuh Kau berkuasa,
Dalam hati Kau bertakhta!
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)
Jangan tanggung jangan kepalang
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan,
Berperang berjuang.
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)
Hiperbola
Hiperbola
adalah sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya di sini
untuk menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas (Pradopo, 1987:98).
Contoh hiperbola dalam puisi angkatan Pujangga Baru adalah:
...
Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)
Karakteristik Bentuk
Perulangan
bunyi
Rima
Rima
adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau
orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca
(Waluyo, 1987:90). Ada
beberapa puisi angkatan Pujangga Baru yang masih menggunakan bentuk-bentuk
tradisi lama. Hal ini terlihat dari rima yang dihasilkan dalam puisi. Rima yang
terikat (seperti puisi angkatan Balai Pustaka) masih terlihat pada puisi
”Berdiri Aku” karya Amir Hamzah. Rima puisi tersebut abab.
...
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas cemas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
...
(Amir
Hamzah, Berdiri Aku)
Namun,
sebagian besar penyair Pujangga Baru sudah tidak lagi terikat dalam
bentuk-bentuk tradisi lama ketika menciptakan sebuah puisi. Rima atau
pengulangan bunyi di akhir larik-larik puisi pada karya beberapa penyair lebih
banyak ditemukan yang bebas. Oleh karena itu, jika pada angkatan Balai Pustaka
bentuk roman lebih dominan, maka pada angkatan Pujangga Baru puisi lebih
dominan. Hal ini dapat diamati pada puisi ”Perjuangan” karya Sutan Takdir
Alisjahbana:
Tenteram dan damai?
Tidak, tidak Tuhanku!
Tenteram dan damai waktu tidur di
malam sepi
Tenteram dan damai berbaju putih di
dalam kubur
Tetapi hidup ialah perjuangan
Perjuangan semata lautan segara
Perjuangan semata alam semesta
Hanya dalam berjuang beta merasa
tenteram dan damai
Hanya dalam berjuang berkobar Engkau
Tuhanku di dalam dada
(STA,
Perjuangan)
Jadi, rima pada angkatan Pujangga
Baru tidak khusus berarti persamaan bunyi atau dalam istilah tradisional
disebut sajak. Rima lebih luas lagi karena menyangkut perpaduan bunyi konsonan
dan vokal.
Asonansi dan Aliterasi
Aliterasi merupakan persamaan bunyi pada suku kata
pertama. Sedangkan asonansi merupakan ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa
selingan persamaan bunyi konsonan (Waluyo, 1987:92). Sebagian besar puisi pada
angkatan Pujangga Baru menyebutkan adanya bentuk asonansi (persamaan/perulangan
bunyi vokal). Dalam “Persatuan” karya Y.E. Tatengkeng berikut ini unsur vokal
lebih mendominasi.
Sebegini,
Sukmaku seni
Merindu, mencari ketentuan hati
Kebenaran, Damai, dan Kasih sejati
...
(Y.E.
Tatengkeng, Persatuan)
Pada baris pertama sampai keempat, bunyi /i/ cukup dominan. Kita akan menemukan adanya persamaan bunyi
/i/ pada kata sebegini, seni, mencari, hati, damai, dan sejati. Hal yang sama juga terjadi pada puisi J.E. Tatengkeng lainnya, yaitu “Nelayan Sangihe”.
O, kulihat tali,
Yang tak terpandang oleh
mata,
Menghubung hati
Kalbu nelayan di laut
bercinta
...
(Y.E.
Tatangkeng, Nelayan Sangihe)
Pada baris pertama, dan ketiga bunyi vokal /i/ terdapat pada kata
tali dan hati. Vokal /a/ juga ditemukan dalam baris kedua, dan
keempat pada kata mata dan bercinta. Namun, ada pula sebagian kecil puisi pada angkatan Pujangga Baru
ini yang berbentuk aliterasi (persamaan/perulangan bunyi konsonan). Dalam
”Sukma Pujangga” karya Y.E. Tatengkeng berikut ini unsur konsonan lebih
mendominasi,
O, lepaskan daku dari
kurungan,
Biarkan daku terbang
melayang,
Melampaui gunung, nyebrang
harungan,
Mencari Cinta, Kasih, dan
Sayang.
...
(J.E. Tatengkeng, Sukma Pujangga)
Pada baris pertama, kedua, ketiga, dan keempat, bunyi /ng/ cukup dominan.
Kita akan menemukan adanya persamaan bunyi /ng/ pada kata kurungan, terbang melayang, gunung, nyebrang harungan, dan sayang.
Versifikasi
Ritma
Ritma sangat berhubungan
dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan
kalimat. Ritma berasal dari bahasa Yunani, rheo, yang berarti
gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus, dan tidak putus-putus
(mengalir terus). Ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi/rendah,
panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang
sehingga membentuk keindahan (Waluyo, 1987:94).
Tiap
penyair, aliran, periode, dan angkatan mempunyai perbedaan cara mengulang
hal-hal yang dipandang membentuk ritma itu. Dalam puisi lama jelas sekali
pemotongan baris puisi menjadi dua frasa merupakan teknik pembentuk rima yang
padu, namun teknik tersebut bersifat statis. Dalam puisi-puisi angkatan Pujangga Baru, keadaan
seperti itu kiranya masih dapat dipertahankan. Dalam puisi Y.E. Tatengkeng
misalnya, juga kita dapati ritma berupa pemenggalan baris-baris puisi menjadi
dua bagian (dua frasa).
Bagaikan banjir / gulung gemulung
Bagaikan topan / seruh menderuh
Demikian rasa / datang semasa
Mengalir, menimbun / mendesak,
mengepung
Memenuhi sukma / menawan tubuh
...
(Y.E. Tatengkeng, Perasaan
Seni)
Baris atau Larik
Baris atau larik puisi
tidak membangun periodisitet atau yang disebut paragraf, namun membentuk bait.
Puisi angkatan Pujangga Baru memiliki keragaman bentuk. Namun, bentuk stanza
dan bentuk bebas banyak digunakan oleh penyair pada angkatan ini.
Puisi ”Menyesal” karya Ali
Hasjmi dan ”Perasaan Seni” karya Y.E. Tatengkeng, dan ”Bukan Beta Bijak
Berperi” menggunakan bentuk stanza. Kelompok stanza merupakan kelompok larik
yang terikat dengan skema rima. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan puisi
dibawah:
Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan
syair,
Bukan beta budak negeri,
Musti menurut undangan
mair.
Sarat saraf saya
mungkiri,
Untai rangkaian seloka
lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut
sukma.
....
(Rustam Effendi, Bukan Beta Bijak
Berperi)
Lain halnya dengan karya-karya Amir Hamzah,
Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, karyanya lebih
termasuk ke dalam bentuk bebas, penataan lariknya keluar dari aturan
konvensional. Hal ini dapat diamati dalam contoh kutipan puisi dibawah:
Jangan tanggung jangan kepalang
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan,
Berperang berjuang.
Mengapa bimbang berhati walang
Berhenti tertegun langkah tertahan
Takut percuma segala kerja
Sangsi berharga apa dipuja?
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)
Karakteristik Isi
Puisi merupakan ekspresi pemikiran yang
membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan
berirama (Pradopo, 1987:7). Dalam sebuah puisi tentu terdapat tema, nada dan
suasana, perasaan dalam puisi dan amanat puisi yang ingin disampaikan oleh
penyair kepada para pembaca.
Tema
Tema
merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya (Waluyo,
2005:17). Pada Angkatan Pujangga Baru tema yang diangkat oleh penyair sangat
beragam seperti tema ketuhanan, pendidikan atau budi pekerti, patriotik dan
cinta tanah air.
Tema ketuhanan sering kali disebut tema religius filosofis, yaitu
tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan
kekuasaan Tuhan dan menghargai alam seisinya (Waluyo, 2005:18). Dalam puisi
“Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dapat dilihat contoh puisi yang bertemakan
ketuhanan.
…
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyerap hidup tertentu tuju.
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)
Pada puisi tersebut
dapat terlihat bahwa kuasa Tuhan sangat besar dalam menentukan jalan hidup dari
seorang anak manusia. Segala sepi yang dirasakan dan pengalaman hidup, serta
renungannya dikembalikan untuk merenungkan kuasa Tuhan yang memberikan
kepastian dalam hidupnya.
Tema pendidikan atau budi pekerti
juga terdapat pada angkatan Pujangga Baru. Tema pendidikan atau budi pekerti
dapat dilihat pada puisi ”Menyesal” karya Ali Hasjmi.
...
Kepada yang muda kuharapkan,
Atur barisan di hari pagi,
Menuju ke arah padang bakti!
(Ali Hasjmi,
Menyesal)
Puisi ”Menyesal” karya Ali Hasjmi ini berisikan nasihat agar para remaja
mempersiapkan masa depan dengan belajar. Pada bait terakhir tersebut penyair
menyampaikan pesan kepada para pemuda agar mempersiapkan masa depan dengan
belajar agar dapat berbakti pada nusa dan bangsa dan dapat hidup lebih
bermakna.
Puisi yang memiliki tema patriotisme
oleh penyair digunakan untuk mengajak pembaca untuk meneladani orang-orang yang
telah rela berkorban demi bangsa dan tanah air. Tema patriotisme dapat dilihat
pada puisi karya Sanusi Pane yang berjudul “Teratai”.
...
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun
berseri, laksmi mengarang
Biarpun ia
diabaikan orang
Seroja kembang gemilang
mulia.
...
(Sanusi
Pane, Teratai)
Puisi karya Sanusi Pane yang berjudul "Teratai" merupakan
nyanyian pujian yang ditujukan kepada Ki Hajar Dewantara atas jasa beliau
kepada bangsa Indonesia. Pada petikan bait tersebut menyatakan bahwa tokoh yang
terkenal di seluruh penjuru Indonesia karena pemikiran yang ia miliki. Meskipun
tokoh itu telah diabaikan orang, tetapi gagasan-gagasannya yang luhur dan mulia
tersebar ke mana-mana.
Tema cinta tanah air
berupa pujaan kepada tanah kelahiran atau negeri tercinta (Waluyo, 2005:23).
Puisi yang bertemakan cinta tanah air dapat kita lihat pada puisi karya
Muhammad Yamin yang berjudul “Indonesia Tanah Airku”.
Bersatu kita teguh
Bercerai kiat runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tampat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
(Muhammad Yamin, Indonesia
Tanah Airku)
Puisi tersebut
mengungkapkan keindahan tanah Indonesia
yang sangat indah dengan aneka ragam tumbuhan, lautan yang sambung-menyambung,
ribuan pulau dan bentukan alam yang beraneka ragam seperti telaga, danau
ataupun gunung. Keanekaragaman itu menyebabkan penyair menyatakan bahwa kita
harus mencintai tanah air kita secara mendalam. Dengan cinta itu, kita akan
senantiasa bersatu padu.
Nada dan Suasana
Nada merupakan ungkapan sikap
penyair terhadap pembaca (Waluyo, 2005:37). Dari sikap penyair tersebut
terciptalah suasana puisi. Dalam karya Sutan Takdir Alisyahbana yang berjudul
“Jangan Tanggung Jangan Kepalang” mempunyai nada menggurui kepada pembaca,
memberi semangat dan berupa nasihat.
Jangan tanggung jangan kepalang
Bercipta mencipta
Bekerja memuja
Berangan mengawan,
Berperang berjuang.
...
(STA, Jangan
Tanggung Jangan Kepalang)
Pada bait tersebut penyair memberikan pandangan
bahwa dalam mengerjakan suatu hal harus dengan kesungguhan, penuh semangat dan
tidak tanggung-tanggung. Jika kita dalam mengerjakan suatu hal dengan penuh
semangat dan bersunguh-sungguh pasti hasilnya akan memuaskan.
Perasaan dalam Puisi
Puisi mengungkapkan perasaan penyair yang mana
dapat terlihat bahwa perasaan penyair pada puisi tersebut bisa sedih, bahagia,
gembira, menyesal ataupun yang lainnya. Dalam puisi karya Rustam Effendi yang
berjudul ”Bukan Beta Bijak Berperi” yang merupakan perasaan dari penyair yang
menyesal karena tidak dapat membuat perubahan yang baru pada susunan puisi.
...
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
(Rustam Effendi,
Bukan Beta Bijak Berperi)
Pada bait tersebut penyair mengungkapkan perasaannya bahwa ia tidak membuat
sesuatu yang baru tetapi hanya berangan-angan suntuk mengadakan pembaharuan.
Amanat
Amanat adalah pesan atau nasihat yang merupakan
kesan yang ditangkap oleh pembaca setelah membaca puisi (Waluyo, 2005:40). Dari
kutipan puisi karya Y.E Tatengkeng yang berjudul ”Perasaan Seni” kita dapat
melihat kekusaan Tuhan dan agar kita selalu merenungkan kekusaan Tuhan.
...
Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,
Kusedia hati,
Akan berbakti,
Dalam tubuh Kau berkuasa
Dalam dada Kau bertahta!
(Y. E
Tatengkeng, Perasaan Seni)
Pada bait tersebut penyair memberikan pesan kepada pembaca bahwa kita tidak
dapat menolak kuasa Tuhan jika Tuhan sudah mempunyai kehendak. Dalam puisi
tersebut digambarkan seorang yang mendapat panggilan dari Tuhan untuk menjadi
seorang seniman dan Tuhan ikut menentukan jalan hidupnya sebagai seniman,
karena itu penyair harus menghargai panggilan itu sebagai kekayaan diri yang
harus dikembangkan dan digunakan untuk sesama manusia. Dalam puisi tersebut
penyair juga menyampaikan pesan pada pembaca bahwa Tuhan itu sangat berkuasa
pada diri manusia seutuhnya dan seluruh dunia ini.
HASIL
ANALISIS PUISI ANGKATAN PUJANGGA BARU DENGAN PENDEKATAN ANALITIK DAN EKSPRESIF
Puisi
1:
Turun
Kembali
Kalau aku dalam engkau
Imaji taktil, kata konkret
retorika paralelisme
Dan engkau dalam aku
Imaji taktil, kata
konotasi
Adakah begini jadinya
Imaji taktil, kata
konkret
Aku hamba engkau
penghulu?
Imaji visual,
metafora,imaji taktil
Kata konotasi
Aku dan engkau
berlainan
Imaji visual.
Imaji taktil
kata konotasi
Engkau raja, maha
raja
Metafora
kata konotasi, imaji taktil
Cahaya halus tinggi mengawang
Imaji visual,
metafora, kata konotasi
Pohon rindang menaung
dunia
Imaji visual, metafora
Kata konotasi
Di bawah teduh engkau kembangkan
Imaji taktil,
metafora, kata konotasi
Aku berhenti memati hari
Imaji taktil,
metafora, kata konotasi
Pada bayang engkau mainkan
Imaji taktil,
metafora, kata konotasi
Aku melipur meriang hati
Imaji taktil,
metafora, kata konotasi
Diterangi cahaya engkau
sinarkan
Kata konkret, imaji visual
Aku menaiki tangga mengawan
Imaji taktil, kata
konotasi
Kecapi firdusi melena
telinga
Imaji auditif, metafora,
kata konotasi
Menyentuh gambuh dalam hatiku
Imaji taktil, kata
konotasi
Terlihat ke bawah
Imaji visual, kata
konkret
Kandil kemerlap
Imaji visual,
metafora, kata konotasi
Melambai cempaka ramai tertawa
Imaji taktil, kata
konotasi, personifikasi
Hati duniawi melambung tinggi
Imaji taktil, kata
konotasi
Berpaling aku turun kembali
Imaji taktil, kata konkret
Analisis Puisi Dengan Pendekatan
Analitik
Berdasarkan
analisis puisi “Turun Kembali” karya Amir Hamzah, dengan menggunakan pendekatan
analitik dapat disimpulkan bahwa diksi atau gaya bahasa yang digunakan sebagian besar
adalah kata konotasi. Imaji yang digunakan adalah imaji taktil (yang dirasa).
Sedangkan majas yang digunakan adalah majas metafora yakni gaya bahasa kias seperti perbandingan dengan
melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain (Pradopo, 1987:66). Selain
majas metafora terdapat puila majas personifikasi. Sarana retorika yang dipakai
adalah paralelisme yakni mengulang isi
kalimat yang maksud tujuannya serupa (Pradopo, 1987:97).
Dari
segi bentuk puisi tersebut tidak memakai rima yang berpola abab tapi berpola
bebas, meskipun ada yang memiliki rima abab tapi itu hanya pada bait ketiga.
Bentuk larik pada puisi tersebut termasuk bentuk bebas karena tiap bait tidak
harus terdiri atas 4 baris. Contohnya pada bait kelima terdiri atas lima baris.
Puisi
tersebut terdapat perulangan bunyi vokal (asonansi). Contohnya pada baris
pertama bait pertama /kalau aku dalam engkau/ dan baris keempat bait
pertama /aku hamba engkau penghulu/. Jika kita perhatikan pada kalimat
tersebut terdapat pengulangan huruf vukal u. pengulangan bunyi juga
terdapat pada bait kedua baris kedua /engkau raja maha raja/ yang
menggunakan pengulangan huruf a. terdapat pula pada bait ketiga baris
kedua /aku berhenti memati har/i yang merupakan pengulangan huruf i.
Secara
umum puisi ini bertemakan tentang kekuasaan Tuhan yang berbeda jauh dengan
manusia. Serta mampu mengajak manusia untuk meningkatkan keimanannya. Suasana
puisi ini adalah pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca agar dapat
merenungkan kekuasaan Tuhan dan betapa manusia tidak berdaya dihadapan
Tuhannya. Dan manusia sampai kapanpun tidak dapat menyamakan dirinya dengan
Tuhan apalagi menjadi Tuhan. Amanat yang terkandung pada puisi tersebut
menyuruh agar manusia itu tidak harus bersatu dengan Tuhan. Manusia itu seorang
hamba, sedangkan Tuhan itu adalah sang pencipta. Manusia harus selalu
berlindung di bawah lindungan Tuhan. Manusia dapat merasakan kesenagan hidup
karenaa karunia dari Tuhan.
Analisis Puisi dengan Pendekatan Ekspresif
Pada bait pertama diungkapakan
bila si aku dalam Tuhan dan Tuhan dalam diri si aku tentunya kedudukannya akan
menjadi sama. Tetapi antara keduanya tidak sama karena dia adalah seorang hamba
sedangkan Tuhan adalah zat yang manguasai seluruh alam.
Pada bait kedua dikatakan bahwa antara si aku dengan engkau (Tuhan)
sangat berlainan. Tuhan diungkapkan sebagai raja, maha raja yang kedudukannya
jauh di atas manusia. Tuhan adalah pelindung manusia dan tempat manusia memohon
sedangkan manusia adalah seorang hamba.
Pada bait ketiga dikemukakan bahwa keteduhan, ketentraman, kenikmatan
yang diberikan Tuhan membuat seorang manusia tidak ingin berpaling dari-Nya.
Dan di bawah lindungan Tuhan si aku sangat senang sekali dan suasana hatinya tidak
gundah.
Pada bait keempat, atas cahaya yang telah diberikan Tuhan kepadanya dia
dapat berkhayal seandainya ia dapat naik ke atas awan serta mendengarkan kecapi
firdusi atau dapat dikatakan sebagai do'a yang sangat merdu sekali dan hatinya
terasa ingin menari mengikuti alunan do'a tersebut.
Pada bait kelima, saat si aku melihat ke bawah yakni dunia ia melihat
lilin dunia yang terang. Si aku masih terfikirkan oleh kehidupan dunia. Sebagai
manusia biasa, si aku turun kembali ke dunia untuk merasakan kehidupan dunia
yang sangat menyenangkan dan penuh kegairahan bagi dirinya.
Dari analisis tersebut dapat disimpulkan penyair ingin menyampaikan
kepada pembaca bahwa mnusia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Hal tersebut
merupakan suatu pendapat dari diri penyair yang menolak anggapan manusia dapat
bersatu dengan Tuhan. Pemakaian kata kias digunakan untuk menunjukkan antara
Tuhan dengan manusia berbeda. Tuhan itu mahakuasa sedangkan manusia hamba yang
lemah dan selau berlindung pada kekuasaan Tuhan. Untuk menyatakan Tuhan itu
mahakuasa, penyair menggunakan kata kias engkau penghulu, engkau raja, maha
raja, cahaya halus tinggi mengawang, pohon rindang menaung dunia, di bawah tedu
engkau kembangkan, pada baying engkau mainkan, dan kandil kemerlap. Sebaliknya
untuk menggambarkan manusia itu makhluk yang lemah penyair menggunakan kata
kias aku berhenti memati hari, malipur meriang hati, aku menaiki tangga
mengawan, berpaling aku turun ke bawah.
Puisi 2:
Padamu Jua
Habis kikis
Kata
konkret, imaji visual, asonansi i-i, aliterasi s-s
Segala cintaku hilang terbang
Kata
konotasi, Imaji taktil, majas metafora
Pulang kembali aku pada-Mu
Kata
konkret, imaji taktil
Seperti dahulu
Kata
konkret, imaji taktil
Engkaulah kandil kemerlap
Kata
konkret, Imaji visual, majas metafora
Pelita jendela di malam kemerlap
Kata
konkret, Imaji visual, majas metafora
Melambai pulang perlahan
Kata
konotasi, Imaji visual, majas personifikasi
Sabar, setia selalu
kata konkret, Imaji taktil
Satu kekasihku
Kata
konkret, Imaji visual
Aku manusia
Kata
konkret, Imaji visual
Rindu rasa
Kata
konotasi,
Imaji visual, aliterasi r-r
asonansi a-a
Rindu rupa
Kata
konotasi, Imaji visual
Di mana Engkau
Kata
konkret, Imaji taktil
Rupa tiada
Kata
konkret, Imaji visual
Suara sayup
Kata
konkret, Imaji auditif
Hanya kata merangkai hati
Kata
konotasi, Imaji auditif
Engkau cemburu
kata
konkret, Imaji taktil
Engkau ganas
kata
konkret, Imaji visual
Mangsa aku dalam cakarmu
Kata
konkret, Imaji visual
Bertukar tangkap dengan lepas
Kata
konkret, Imaji visual
Nanar aku, gila sasar
Kata
konotasi, Imaji visual
Sayang berulang pada-Mu jua
Kata
konotasi, Imaji taktil
Engkau pelik menarik ingin
Kata
konotasi, Imaji visual, majas simile
Serupa dara di balik tirai
Kata
konotasi, Imaji visual
Kasihmu sunyi
Kata
konotasi, Imaji auditif
Menunggu seorang diri
Kata
konkret, Imaji taktil
Mati hari-bukan kawanku
Kata konotasi, imaji taktil
(Nyanyian Sunyi,
1937)
Apresiasi
Puisi dengan Pendekatan Analitik
Berdasarkan
puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dapat disimpulkan bahwa diksi yang
digunakan adalah kata konkret dan kata konotasi. Sedangkan imaji yang banyak
digunakan adalah imaji visual dan taktil. Majas yang digunakan adalah majas metafora,
personifikasi, dan simile.
Dari
segi bentuk, puisi tersebut rimanya berpola bebas tetapi ada pula yang memiliki
pola teratur. Pada bait pertama dan kedua rimanya berpola bebas, sedangkan
puisi yang berpola teratur terdapat pada bait kelima yaiti rima abab. Bentuk
larik dalam puisi tersebut termasuk bentuk terikat karena tiap baitnya hanya
terdiri dari empat baris.
Perulangan
bunyi konsonan (aliterasi) terdapat pada bait pertama, baris pertama /habis kikis/ yaitu perulangan konsonan
s-s pada kata tersebut. Aliterasi dan asonansi (perulangan bunyi vokal)
terdapat pada paragraf ketiga baris ketiga dan keempat /rindu rasa, rindu rupa/ dengan perulangan konsonan r-r dan
perulangan vokal a-a.
Secara
umum puisi ini bertemakan kerinduan terhadap kekasihnya. Pada bait ketujuh
penyair pasrah terhadap keadaannya yang jauh dengan kekasihnya. Ia harus
menerima cinta dalam kesepian dan kesendirian seperti yang diungkapkan pada
baris kedua serta tidak mempunyai waktu untuk berjumpa dengannya.
Kekasih
yang dimaksudkan di sini bisa berarti kekasih dalam arti sesungguhnya, namun
dapat pula mengacu kepada Tuhan yang sangat dirindukan penyair. Amanat yang
yang ingin disampaikan oleh penyair adalah penyair menyampaikan kepada pembaca
saat kita melupakan Tuhan ataupun memisahkan diri dengan-Nya, dapat membuat
Tuhan murka, karena kemurkaan Tuhan sangat besar pada orang yang berpaling
darinya. Tanpa disadari, manusia tidak dapat lepas dari Tuhan dan suatu saat
manusia akn kembali pada-Nya.
Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Ekspresif
Pada
bait pertama baris pertama dan kedua saling berkaitan. Dalam baris pertama
dikatakan bahwa ada sesuatu yang telah hilang, /habis, kikis/. Kemudian pada baris kedua baru dijelaskan bahwa
sesuatu yang hilang itu adalah cintanya /habis,
kikis, dan hilang terbang/. Kemudian di baris ketiga dan keempat penyair
mengungkapkan walau dia telah berpisah dengan kekasihnya itu, hatinya selalu
kembali kepadanya /pulang kembali aku
pada-Mu/ seperti dahulu/.
Pada
bait kedua, baris pertama dan kedua ditunjukkan bahwa kekasihnya itu sangat
berharga bahkan diumpamakan lampu kecil dimalam gelap /kandil kemerlap pelita jendela dimalam gelap/. Di baris ketiga
diungkapkan bahwa meski sudah berpisah, kekasihnya selalu memanggil-manggil
agar pulang dan dibaris keempat dijelaskan bahwa kekasihnya selalu sabar dan
setia menanti kepulangannya.
Pada
bait ketiga penyair ingin mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa.
Di baris ketiga penyair menambahkan bahwa ia tidak kuat jika hanya membayangkan
kekasihnya dalam angan-angan dan di baris keempat penyair menyampaikan
keinginannya untuk berjumpa dengan kekasihnya, menatap wajahnya, dan bersalaman
dengannya.
Pada
bait keempat penyair mulai penasaran karena tidak pernah bertemu dengan
kekasihnya. Ia mempertanyakan keberadaan kekasihnya di baris pertama /dimana engkau, rupa tiada, suara sayup/.
Penyair hanya bisa mendengar suara kekasihnya secara sayup-sayup. Hal ini
membuat hatinya sedih /hanya kata
merangkai hati/.
Pada
bait kelima, penyair mengatakan kekasihnya cemburu dan ganas pada baris pertama
dan kedua karena dianggap hanya mempermainkannya dengan kejam yang
diungkapkannya dalam bait ketiga /mangsa
aku dalam cakarmu/
dan
tidak mempunyai belas kasihan yang diungkapkan dalam baris keempat.
Pada
bait keenam baris pertama, penyair mengatakan bahwa dia merasa patah arang,
bingung dan penasaran /nanar, gila sasar/,
tetapi cintanya selalu kembali kepada sang kekasih seperti yang dijelaskan
dalam baris kedua dan di baris ketiga dan keempat penyair mengungkapkan bahwa
kekasihnya itu mempunyai kekuatan gaib yang memikat dirinya.
Pada
bait ketujuh penyair pasrah terhadap keadaannya yang jauh dengan kekasihnya. Ia
harus menerima cinta dalam kesepian dan kesendirian seperti yang diungkapkan
pada baris kedua serta tidak mempunyai waktu untuk berjumpa dengannya.
Kekasih
yang dimaksudkan di sini bisa berarti kekasih dalam arti sesungguhnya, namun
dapat pula mengacu kepada Tuhan yang sangat dirindukan penyair.
Puisi
3:
Anakku
Engkau datang menghintai hidup
Imaji visual, kata konotasi
Engkau datang menunjukkan
muka
Imaji
visual, kata konotasi
Tapi sekejap
matamu kau tutup,
Imaji visual, kata konkret
Melihat terang anakda tak suka
Imaji visual imaji taktil
Kata konotasi kata konkret
Mulut kecil
tiada kau buka,
Kata konkret, imaji visual
Tangis
teriakmu takkkan diperdengarkan
Kata konkret, imaji auditif
Alamat hidup wartakan suka,
Kata konotasi, imajii taktil
Kau diam, anakku, kami kau tinggalkan.
Kata konkret kata
konkret
Imaji auditif imaji
taktil
Sedikit pun
matamu tak mengerling,
Kata konkret, imaji visual
Memandang ibumu sakit berguling
Kata konkret, kata
konotasi
imaji visual majas
hiperbola
Air matamu tak
bercucuran,
Kata konkret, imaji visual
Tinggalkan
ibumu tak berpenghiburan
Kata konkret, aliterasi, imaji taktil
Kau diam,
diam, kekasihku
Kata konkret, imaji auditif
Tak kau
katakan barang pesanan,
Kata konkret kata konotasi
Imaji auditif
Akan penghibur
duka di dadaku,
Kata konkret, imaji taktil
Kekasihku,
anakku, mengapa kian?
Kata konkret, imaji taktil
Sebagai anak melalui sedikit,
Kata konkret kata
konotasi
Akan rumah
kami berdua,
Kata konkret, imaji visual
Tak anak tak
insyaf sakit,
Kata konkret, imaji taktil
Yang diderita
orang tua.
Kata konkret, imaji taktil
Tangan kecil
lemah tergantung,
Kata konkret, imaji visual
Tak diangkat
memeluk ibumu,
Kata konkret, imaji visual
Menyapu
dadanya, menyapu jantung,
Kata konotasi, majas personifikasi
Hiburkan
hatinya, sayangkan ibumu.
Kata konkret, imaji taktil
Selekas
anaknda datang,
Kata konkret, imaji visual
Selekas
anaknda pulang.
Kata
konotasi, imaji taktil
Tinggalkan ibu
sakit terlintang,
Kata konkret, imaji taktil
Tinggalkan
bapa sakit mengenang.
Kata konkret, imaji taktil
Selamat datang
anaknda kami,
Kata konkret, imaji visual, asonansi
Selamat jalan
kekasih hati.
Kata konkret, imaji taktil, asonansi
Anak kami
Tuhan berikan,
Kata konkret
Anak kami
Tuhan panggilkan,
Kata konkret
Hati kami
Tuhan hiburkan,
Kata konkret, imaji taktil
Nama Tuhan
kami pujikan.
Kata konkret, imaji visual
(Rindu
Dendam, 1934)
Analisis Puisi dengan Pendekatan
Analitik
Puisi “Anakku” karya Y.E Tatengkeng diatas
didominasi dengan kata konkret. Penyair mengungkapkan kesedihannya dengan
kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pembacanya. Hal ini bisa
dilihat di setiap baris puisi Anakku diatas. Selain itu puisi diatas didominasi oleh imaji
visual dan imaji taktil. Penyair jarang menggunakan bahasa kias dalam
menuliskan puisinya. Kesedihan yang dialami oleh penyair diungkapkan melalui
kata-kata yang sederhana.
Puisi ”Anakku” karya Y.E Tatengkeng berbentuk
stanza, yang terdiri atas kelompok larik dan terikat oleh skema rima di setiap
akhir barisnya. Bait pertama sampai dengan bait keenam berbentuk kuatrin (4
baris), sedangkan bait ketujuh sampai bait kesembilan berbentuk distichon (2
baris). Rima akhir pada puisi tersebut
merupakan rima tetap. Pada bait pertama, kedua, keempat, kelima dan
keenam berima akhir abab. Bait ketiga berima akhir aaaa, bait ketujuh,
kedelapan, dan kesembilan berima akhir aa. Dan pada bait yang terakhir berima
aaaa.
Apresiasi Puisi dengan
Pendekatan Ekspresif
Puisi ”Anakku” karya Y.E Tatengkeng bertemakan
tentang kesedihan yang dialami penyair akibat ditinggal oleh anaknya yang baru
lahir. Kesedihan dan rasa kehilangan yang mendalam tercermin di setiap bait
puisi tersebut. Namun penyair tetap berpasrah kepada Tuhan dengan musibah yang
ia alami karena ia tahu bahwa semua hal diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali
pula kepada Tuhan.
Pada bait pertama keseluruhan baris menggunakan
kata konkret dan imaji visual. Baris pertama dan kedua, penyair mengisahkan
tentang kelahiran anaknya /engkau datang
menghintai hidup/ engkau datang menunjukkan muka/. Namun pada baris kedua
dijelaskan bahwa anak yang baru saja dilahirkan menutup mata /tapi sekejap matamu kau tutup/. Penyair
menggambarkan anaknya seolah-olah enggan membuka mata untuk melihat dunia /melihat terang anaknda tak suka/. Penyair
dan istrinya ingin mendengar jerit dan tangis anaknya yang baru lahir namun hal
itu tidak pernah bisa diwujudkan oleh sang anak yang baru dilahirkan kerena
Tuhan terlebih dahulu memanggilnya. Hal ini terlihat dalam bait ketiga /sedikitpun matamu tak mengerling/ memandang
ibumu sakit berguling/ air matamu tak bercucuran/ tinggalkan ibumu tak
berpenghiburan/.
Hal yang sama diungkapkan penyair pada bait kedua
sampai dengan bait keenam tentang kematian anaknya. Pada bait tersebut penyair
mengungkapakn kesedihan dan penderitaan yang ia alami karena ditinggal oleh
anaknya yang baru lahir.
Pada bait ketujuh dan bait kedelapan dilukiskan
peristiwa itu dalam larik /selekas
anaknda datang/ selekas anaknda pulang/. Duka cita penyair dan istrinya
dilikiskan dengan /tinggalkan ibu sakit
terlintang/ tinggalkan bapa sakit mengenang/.
Pada bait kesembilan penyair mulai sadar bahwa ia
harus penuh kerelaan menerima dan melepas anaknya /selamat datang anaknda kami/ selamat jalan kekasih hati/. Sebagai
orang yang bertakwa pada Tuhan, penyair menerima dengan ikhlas kematian anaknya
karena ia menyadari bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya. Tuhan tidak
akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya. Hal ini dapat kita
lihat pada bait terakhir /anak kami Tuhan
berikan/ anak kami Tuhan panggilkan/ hati kami Tuhan hiburkan/ nama Tuhan kami
pujikan/.
Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah kita
harus berpasrah pada takdir yang diberikan oleh Tuhan. Karena segala sesuatu yang Tuhan berikan pasti
akan kembali lagi pada-Nya. Oleh
karena itu, kita harus ikhlas menerima semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan.
Puisi 4:
Dibawa Gelombang
Alun membawa
bidukku perlahan
Imaji taktil,
kata konotasi, personifikasi
Dalam
kesunyian malam waktu
Imaji taktil,
kata konkret
Tidak
berpawang, tidak berkawan
Imaji visual,
kata konkret
Entah kemana
aku tak tahu
Imaji taktil,
kata konkret
Jauh di atas
bintang kemilau
Imaji taktil, kata
konotasi
Seperti sudah
berabad-abad
Imaji taktil,
kata konotasi, personifikasi
Dengan damai
mereka meninjau
Imaji visual,
kata konotasi
Kehidupan bumi
yang kecil amat
Imaji visual,
kata konkret
Aku bernyanyi
dengan suara
Imaji auditif,
kata konkret
Seperti
bisikan angin di daun
Imaji taktil,
kata konotasi, simile
Suaraku hilang
dalam udara
Imaji auditif,
kata konotasi
Dalam laut
yang beralun-alun
Imaji taktil,
kata konotasi, personifikasi
Alun membawa
bidukku perlahan
Imaji taktil,
kata konotasi, personifikasi
Dalam
kesunyian malam waktu
Imaji taktil,
kata konkret
Tidak
berpawang, tidak berkawan
Imaji visual,
kata konkret
Entah kemana
aku tak tahu
Imaji taktil, kata konkret
Analisis dengan Pendekatan Analitik
Berdasarkan analisis puisi ”Dibawa Gelombang”
karya Sanusi Pane, dengan pendekatan analitik dapat disimpulkan bahwa diksi
atau gaya bahasa yang digunakan sebagian besar adalah kata konotasi. Pada baris
pertama terdapat penggunaan majas personifikasi, yakni pada /alun membawa bidukku perlahan/ yang
bermakna kias. Kata ”alun” lazimnya digunakan pada sesuatu yang bisa didengar.
Bait ketiga juga menggunakan kata kias pada baris pertama sampai keempat. Pada
kalimat /aku bernyanyi dengan suara
seperti bisikan angin di daun/ menggunakan majas simile karena terdapat
kata pembanding yaitu ”seperti”. Imaji yang dominan digunakan adalah imaji
taktil (yang dirasa).
Rima pada puisi ”Dibawa Gelombang” termasuk dalam
rima terikat dari sebagian kecil puisi-puisi pada angkatan Pujangga Baru. Puisi
ini berima abab karena baris pertama
dan ketiga memiliki persamaan bunyi di akhir larik puisi. Begitu pula dengan
baris kedua dan keempat.
Puisi ”Dibawa Gelombang” mempunyai unsur asonansi
(perulangan bunyi vokal) yang lebih dominan daripada aliterasi (perulangan
bunyi konsonan). Dalam hal versifikasi, puisi Sanusi Pane ini termasuk dalam
puisi yang memiliki bentuk stanza karena mempunyai kelompok larik yang masih
terikat dengan skema rima.
Puisi ”Dibawa Gelombang” menggambarkan tentang
kesendirian sang penyair dalam mencapai cita-citanya. Dari sana pembaca dapat
mengambil amanat bahwa dalam menjalani kehidupan sebenarnya kita tidak
sendirian, ada Tuhan yang akan selalu menjadi pembimbing setiap manusia dalam
menjalani hidupnya.
Analisis dengan Pendekatan Ekspresif
Pada bait pertama penyair
menceritakan tentang kesendiriannya dalam mengejar tujuan hidup atau cita-cita.
Penyair merasa tidak memiliki kawan /tidak
berpawang, tidak berkawan/ bahkan penyair tidak tahu harus menuju kemana.
Pada bait ketiga, penyair
merasa dibimbing oleh Tuhan. Karena itu pada bait ketiga penyair merasa
menemukan jalan yang ditunjukkan oleh Tuhannya dan merasa memperoleh semangat
baru untuk hidup dengan petunjuk dari Tuhannya.
Pada bait keempat penyair
mulai menyadari bahwa walaupun ia sendirian secara fisik tetapi Tuhan
senantiasa menuntunnya kemanapun dan dimanapun ia berada.
PENUTUP
Setelah
melakukan apresiasi terhadap puisi angkatan Pujangga Baru dengan mengunakan
pendekatan analitik dan emotif dapat disimpulkan bahwa puisi angkatan Pujangga
Baru sudah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang bisa diamati dari puisi
angkatan Pujangga Baru ini adalah bentuk atau struktur puisinya mengikuti
bentuk atau srtuktur puisi baru, seperti soneta, distichon, tersina, oktaf, dan
sebagainya. Bentuk atau struktur larik-lariknya adalah simetris. Apabila
diamati dari karakteristik bahasa, puisi angkatan Pujangga Baru banyak
menggunakan kata konkret. Selain itu imaji visual dan taktil mendominasi puisi
pada angkatan ini. Oleh karena itu pendekatan ekspresif sangat cocok digunakan
untuk menganalisis puisi angkatan ini.
Dari
hasil analisis yang dilakukan oleh kelompok, puisi angkatan Pujangga Baru
bertemakan tentang ketuhanan. Puisi yang diciptakan oleh penyair berisikan
tentang kesedihan yang mereka alami. Dengan membaca puisi angkatan Pujangga
Baru pembaca dapat merenungi bahwa kita sebagai makhluk Tuhan hanya bisa berpasrah
dengan semua keputusan Tuhan. Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini
diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali pula pada-Nya.
DAFTAR RUJUKAN
Dermawan, Taufik dkk.
1996. Teori Sastra. IKIP Malang: Malang.
Badrun, Ahmad. 1989. Teori Puisi. Jakarta: Dirjen Dikti.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1987. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada
University Press.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan
Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga.
Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta: Grame
Subhanallah... sangat membantu :)
BalasHapusterimakasih ya...
Nambah daftar listnya
BalasHapusPuisi Puteri imperialism | Angin memecut disimpang jalan | Seorang burjuis berdiri sendirian. | Semalam di suatu kampung | Bagai kabut mengambangdalam caya purnama | Kabut-kabut hari menimpa senja. | Sahabatku, saudara, manusia yang lesu | Nasehati daku sampai saat ajalku! | Apa dicari dalam yang baru? | Lagu hati yang tersinggung | Algojo kemerdekaan, orang ulung, dan kemegahan | Puisi ada damai didalam badai. | Puisi Sang Nabi | Puisi Gairah hidup yang mati | Puisi Kepada penyair | Puisi Gerhana matahari | Puisi Cinta Tidak Lucu | Puisi Internet Telkom Lambat | Puisi Ucapan Selamat Tahun Baru 2013 | Puisi Jatuh Cintakah Aku Padamu | Puisi Cinta Kau Aku Dan Masa Lalu | Puisi Kenangan Indah Tak Terlupakan | Puisi Rayuan Gombal Maut | Puisi Hati Galau Sendiri | Puisi Anak Jalanan