Senin, 02 Juli 2012

MENGUNGKAP KEPELIKAN DAN WARNA BARU DALAM PUISI KONTEMPORER MELALUI PENDEKATAN OBJEKTIF


MENGUNGKAP KEPELIKAN DAN WARNA BARU DALAM PUISI KONTEMPORER MELALUI PENDEKATAN OBJEKTIF


PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemilihan Puisi dan Pendekatan
            Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang analisis puisi kontemporer dengan menyertakan beberapa contoh puisi yang sudah kami analisis. Puisi yang kami analisis mewakili karakteristik umum puisi kontemporer. Kami memilih puisi kontemporer karena pada masa itu terjadi pembaharuan dunia puisi Indonesia, yang dipandang sebagai pelopornya adalah Sutardji Calzoum Bachri. Puisi kontemporer lebih mementingkan bentuk dari pada isinya.
            Pengarang yang paling menonjol pada masa puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachri yang dianggap sebagai pelopornya dan Remy Sylado. Tema yang paling dominan pada puisi kontemporer adalah tema Ketuhanan dan protes sosial.
            Dalam menganalisis puisi kontemporer, kami menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan analitik dan pendekatan estetik. Kami menggunakan pendekatan analitik untuk memahami struktur-struktur puisi, seperti rima, bait, gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan pendekatan estetik kami gunakan untuk memahami keindahan yang ada pada puisi tersebut, keindahan itu bisa kita temukan dari bahasa yang digunakan, bentuknya, penyusunan alur, konflik-
konflik, humor, dan sebagainya.
Tujuan
            Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengungkap kepelikan dan warna baru puisi kontemporer melalui pendekatan objektif. Jika ditinjau dari segi bentuk dan strukturnya, puisi kontemporer berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya. Puisi kontemporer bebas dari ikatan-ikatan perpuisian, seperti jumlah bait, jumlah baris, rima, dan lain-lain. Para penyair bebas mengekspresikan idenya secara liar, bebas menggunakan kata tapi tetap bermakna. Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas mengenai karakteristik-karakteristik puisi kontemporer agar pembaca
mampu mengapresiasi puisi kontemporer dengan mudah.
Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi
Pengertian Pendekatan Analitik dan Prosedur Kerja
            Pendekatan analitik merupakan suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk memahami gagasan, figuratif, mekanisme unsur-unsur kesusastraan (irama, larik, bait, fisik, gaya bahasa, dll.) yang membangun puisi.
            Prosedur kerja untuk mengapresiasi puisi dengan menggunakan pendekatan analitik:
a.    Mencari puisi kontemporer
b.    Membaca berbagai macam puisi kontemporer secara berulang-ulang
c.    Memahami berbagai macam puisi kontemporer
d.   Memilih beberapa puisi kontemporer untuk dianalisis
e.    Menganalisis beberapa puisi kontemporer
f. Mengaplikasikan beberapa puisi kontemporer dalam makalah
Pengertian Pendekatan Estetik dan Prosedur Kerja
            Pendekatan estetik merupakan suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk mengungkap keindahan karya sastra. Estetika dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, karena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika yang dominan. Estetika dalam karya sastra dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan, bentuknya, penyusunan alur, konflik-konflik, humor, dan sebagainya.
            Prosedur kerja untuk mengapresiasi puisi dengan menggunakan pendekatan estetik:
a.    Mencari puisi kontemporer
b.    Membaca berbagai macam puisi kontemporer secara berulang-ulang
c.  Memilih beberapa puisi kontemporer untuk dianalisis
d.   Menemukan unsur-unsur keindahan yang terdapat di dalamnya
e.    Menyusun konsep hasil analisis
f.     Mengaplikasikan beberapa puisi kontemporer dalam makalah
KARAKTERISTIK PUISI
Karakteristik Bahasa
Diksi
Suroto (1989:112) menyatakan bahwa diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras. Diksi yang digunakan dalam puisi kontemporer cenderung ke arah revolusioner, dalam arti penyair menerobos aturan perpuisian yang ada. Mereka membebaskan kata dari fungsi-fungsi yang telah dilekatkan pada kata itu sendiri. Adanya penggunaaan kata-kata tabu untuk menciptakan efek estetik dan penungkapan gagasan secara polos dengan kata-kata yang mudah kita pahami, sering kita jumpai dalam puisi ini. Sebagai contoh,
            PROFESOR
seekor profesor
                   berak       (menunjukkan pemakaian kata tabu)
                        di atas
                   mimbar kuliah
.........................................
( Sutardji, Profesor)
Tak Mau
Banyak orang tak mau
Banyak orang tak mau banyak orang
Banyak orang tak mau sendiri di antara banyak orang
...................................
(Yudhistira. A, Tak Mau)
Tidak hanya pengungkapan dengan kata-kata yang tabu, tetapi juga penggunaan kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki arti kata, sehingga pembaca atau apresiator banyak yang mengalami kesulitan apabila dihadapkan dengan puisi kontemporer. Para penyair membebaskan kata dari fungsi-fungsi praktis ( adanya penyimpangan-penyimpangan sintaksis), sehingga muncul lah kata-kata  baru dan tidak ada dalam kamus . Sebagai contoh,
...................................
Sepisaupa sepisaupi                                               
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(Sutardji, Sepisaupi)
Selain itu terdapat penggunaan bahasa asing atau bahasa daerah oleh beberapa penyair dalam puisi mereka, sebagai contoh puisi ”Cinta Model Kwangwung” karya Darmanto Jt.                     
 .............................
                        -aloha!
kaleo o kane : kahi, elua, ekolu!
..................................................
Iblis laknat setan bekasakan
Kanioyo temen awakku
Imaji
            Pengimajian dapat diartikan sebagai susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan. Bait atau baris puisi seolah-olah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual) dan sesuatu yang bisa dirasakan, diraba atau disentuh (imaji taktil) (Waluyo, 1987:78). Di bawah ini adalah contoh penggunaan imaji visual,


seekor profesor
                   berak
                          di atas
                   mimbar kuliah
.........................................
(Sutardji, Profesor)






Semua orang membawa kapak
Semua orang bergerak pergi
Menuju langit
................
(Sutardji, Kapak)

Ada langit membentang
      di setiap mimpi kita
................................
(Priyono, Tentang Tuhan II)


Adapun imaji auditif yang terdapat dalam puisi kontemporer antara lain sebagai berikut,
.


...................
mahasiswa bertepuk tangan
hanya tiga menangis
(Sutardji, Profesor)



.....................
dalam lelap
            lelap ini
tiada lagi
            adzan
.....................
(Hamid Jabbar, Sebelum Maut itu Datang Ya Allah)


Kita dapat merasakan dan mengetahui adanya imaji taktil pada contoh puisi di bawah ini,

Tuhan
Sepi
Tuhan tak mau sepi
...............................
(Husni Jamaluddin, Pada Mulanya Sepi)
Bahasa Kias
            Bahasa kias merupakan bagian dari bahasa figuratif, yaitu bahasa yang digunakan penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Pengiasan disebut juga dengan penyamaan karena membandingkan atau menyamakan sesuatu hal dengan yang lain.
Personifikasi
Personifikasi atau penginsanan merupakan salah satu bahasa kias yang melekatkan sifat-sifat insan pada barang atau benda yang tidak bernyawa atau pada ide yang abstrak (Suroto, 1987:116). Kita dapat menjumpai personifikasi pada contoh puisi di bawah ini,


...............................
Diam mendekam jalanan itu
Taman nan pingsan
Dan selimut waktu mencekik leherku
...............................
(Hamid Jabbar, Sebelum Maut itu Datang Ya Allah)
...............................
pantaipanas meludahkan buahpasirnya
................................
(Hamid Jabbar, Homo Homoni Lupus)


Metafora
Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal yang lain yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd dalam Pradopo, tanpa tahun:66). Tak hanya itu Suroto (1987:116) menyatakan,” metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal secara implisit ”. Sebagai contoh dalam puisi di bawah ini,
.


............................
Ia sisihan kita
            Kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita
            Kalau kita mau jual palawija
.............................
(Darmanto Jt, Isteri)
.............................
Iblis laknat setan bekasakan
kanioyo temen awakku
.............................
(Darmanto Jt, Main Cinta Model Kwang Wung)


Sinekdoce
Sinekdoce adalah menyebutkan sebagian untuk keseluruhan atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian. Untuk menggambarkan kehidupan transmigran, F.Rahardi melukiskan beberapa tarnsmigran yang mengalami kepahitan dalam hidupnya dan ditempatkan di. Kita dapat melihat dalam potongan puisi berikut ini,
Sajak Transmigran I
paijan dan tukimin
               dan waginem
dan 20 orang anaknya dan adiknya
            dan pamannya
dan ayahnya
..............................
Ditumpuk di pantat bis
   Dijejal di perut kapal
   Lalu diserakkan
            Di belantara sumatera
           
Sarana retorika
Paralelisme
Suroto (1987:128) menyatakan bahwa pararelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha menyejajarkan pemakaian kata-kata atau frase yang menduduki fungsi yang sama dan memiliki bentuk gramatikal yang sama, sebagai contoh
..............................
Pantaipanas pantaipanas
Pantaipanas meremas lengannya
            Tak ada sampan melabuhkan ikan
Pantaipanas pantaipanas
Pantaipanas meremas lengannya
            Tak ada nelayan melabuhkan sampan
(Hamid jabbar, Homo Homoni Lupus)
Sinisme
Puisi di bawah ini potongan puisi karya F.Rahardi yang menggunakan sinisme
Jas
Anti
Korupsi
Jas
              Anti
              Korupsi dijahit dan ditambal
Tepat detik-detik proklamasi
                        Harganya murah
( F.Rahardi, Jas Anti Korupsi)
Karakteristik Bentuk
Perulangan Bunyi
Rima
            Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi yang berupa persamaan bunyi di akhir atau di dalam baris-baris puisi. Melalui rima ini, puisi menjadi merdu jika dibaca. Rima yang terikat tentu sudah tidak berlaku dalam puisi kotemporer ini, namun penyair bebas mengekspresikan ide-idenya. Mereka bisa menggunakan rima yang tertata maupun rima yang bebas. Dibawah ini potongan dari puisi karya Linus Suryadi ”Senjakala Gunung Merapi”,
Samar sudah mengatup batas senja
Malam bagai gadis mengurai rambutnya
Hitam: mencipta bayang-bayang di balik bulan
Berlindung aman kelam, kabut bersidekap dahan
..........................................................
Berikut ini contoh puisi yang kurang memperhatikan keberadaan rima,
Tak Lari
Ketika radio dimatikan
Datanglah sepi yang terkenal itu
Sewaktu kopi dihabiskan
Matilah lampu. Dan gelap yang terkenal itu datang juga
Padahal, kalau sepi janda-janda pada lari
.....................................
(Yudhistira)
Aliterasi
            Aliterasi adalah suatu gaya bahasa yang menggunakan perulangan bunyi konsonan yang sama. Aliterasi dalam kontemporer cenderung bebas. Berikut ini contoh penggunaan aliterasi dalam puisi kontemporer,


.................................
yang oportunis
sedang menggigit kwaci
di rumah bordil gang hober
(Remy silado, Menguji Kebangsaan)
................................
Kuda
Kakinya kekar
Kuda-kuda
Kaki pendekar
...........................

(Remy silado, Di langit Otak Kuda Suka Hati)



Asonansi
            Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama (Rani, 1999:149). Berikut ini contoh penggunaan asonansi dalam puisi kontemporer,


....................
seratus tikus berkampus
                                    di atasnya
                        dosen dijerat
..................
( F.Rahardi, Doktorandus Tikus I)


…………….
Ke manakah jalan
            mencari matahari
                        ketika tubuh kuyup
                                    dan pintu tertutup
.....................
(Wing Karjo, Salju)


Onomatope
            Onomatope berarti tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Dalam puisi, bunyi-bunyi yang dipilih oleh penyair diharapkan dapat mmemberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan oleh penyair (Waluyo, 1987:90).
Dalam puisi kontemporer sering kita jumpai adanya onomatope, berikut ini salah satu contoh onomatope dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri,
Ngiau
Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang. Seekor kucing menjijit tikus yang menggelepar tengkuknya...............................................

(Sutardji, Ngiau)



Shang Hai
Ping di atas pong
Pong di atas ping
Ping ping bilang pong
...........................
(Sutardji, Shang Hai)




..........................
                        pada
                                    ku
kadangkala bagai ejekan: ciss!
lain kali bagai mengucapkan salam: haha!
............................
(Hamid Jabbar, Sejuta Panorama Suara)



Versifikasi
Ritma
            Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa dan kalimat (Waluyo, 1987:94). (Rani, 1999:300) mengatakan,”irama adalah bunyi atau gerak yang berurutan secara teratur. Ritma dalam puisi kontemporer sangat bervariasi, dapat dikatakan bahwa tiap puisi kontemporer memiliki ritma yang berbeda bahkan penyair kurang mempedulikan adanya irama/ritma ini. Contoh ritma yang bebas dalam puisi kontemporer,
...........................
dengan lalat
terbang dari nanah ke nanah
dari ngilu ke ngilu
dari resah sampai ke barah
aku terbang
sama lalat arwah
(kini dia mati
kena tempeleng)
...........................
(Sutardji, Lalat)
Bentuk Bebas
            Bentuk fisik dalam puisi kontemporer bervariasi. Dalam Soekono (tanpa tahun:402) mengatakan bahwa puisi kontemporer penyair menggunakan kata-kata yang tersusun rapi sehingga kelihatan seperti bentuk lukisan. Bentuk atau tipografi puisi cenderung lebih dipentingkan dalam puisi ini. Adanya penggunaan tipografi ini dimaksudkan untuk mengemukakan sesuatu dengan kata-kata juga diharapkan agar pembaca ikut menggunakan indra penglihatan. Penataan larik puisi, rima, maupun irama keluar dari aturan perpuisian yang telah ada dan konvensional. Kita juga dapat menjumpai puisi yang prosais. Di bawah ini contoh puisi kontemporer yang mementingkan tipografi puisi,
DI
Betul
kau pasti
sedang menghitung
berapa nasib lagi tinggal
sebelum fajar terakhir kaututup
tanpa seorang pun tahu siapa kau dan
di
........................
(Noorca Marendra, DI)
Berikut ini contoh potongan puisi yang berbentuk seperti cerpen (prosasis),
Sajak Sikat Gigi
Seorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka
Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.
(Yudhistira, Sajak Sikat Gigi)
Karakteristik Isi
Tema Puisi
            Tema adalah gagasan pokok (subject matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya (Waluyo, 2002:17). Tema yang paling terdapat dalam puisi adalah tema ketuhanan, kemanusiaan, cinta, patriotisme, kegagalan hidup, kritik sosial, demokrasi dan perjuangan. Puisi kontemporer atau yang juga disebut puisi mbeling merupakan puisi main-main atau terkesan tidak berkesungguhan, namun sebenarnya puisi kontemporer banyak yang bertema ketuhanan dan kritik sosial. Sebagai contoh puisi di bawah ini,
Biarin
Kamu  bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
Kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
Kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin
.....................................................
(Yudhistira, Biarin)
Solitude
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
samping yang paling
Kau !
(Sutardji, Solitude)
            Puisi di atas menunjukkan kesepian hati penyair. Saat hening atau sunyi dapat dirasakan oleh penyair bahwa tidak ada yang maha segalanya kecuali Kau (Tuhan). Penyair menunjukkan hal-hal yang menyenangkan dan menyedihkan. Dari sifat-sifat baik yang ditunjukkan oleh penyair, Tuhan lah yang paling membahagiakan, paling diimpikan, paling nyata namun sulit dijangkau dengan
pikiran manusia. 
Nada dan Suasana Puisi
            Di samping tema, puisi juga mengungkapkan nada dan suasana kejiwaan. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca dan dari sini lah tercipta suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, santai, patriotik, humor, sindiran, khusyuk, dan lain-lain (Waluyo, 2002:37). Nada dan suasana yang muncul dalam puisi kontemporer beragam. Kita akan banyak menjumpai nada sinis, khusyuk dan main-main/ masa bodoh dalam puisi kontemporer ini. Sebagai contoh,
Tentang Tuhan II
Ada langit membentang
                                           Di setiap mimpi kita. Dalam sendiri
                                       Berdiri dengan asing dan ruang kosong
                                      Memusar  tanya.     Dari mana  kita  ini ?
                                      Kita pula                                dan tak tahu
                                       Asal kita                             dan kapankah
                                         Kita tiba                          dan kapankah
                                           Kita tiada                     dan buat apa
                                                                            Kita ada di sini
                                                                        Lahir pada bumi
                                                                        Yang sunyi api
                                                                     Dalam cuaca api
                                                                        Berkabut dan
                                                                     Asing, di langit
                                                               Sosok remang-remang
                                                                      Siapakah dia?
                                                                       Ularkah dia?
                                                                     Kata-kata kah?
                                                                   Suara-suarakah ?
                                                                     Siapa yangkah?
                                                                        :Yang Siapa ?
(B.Priyono, Tentang Tuhan II)
Puisi di atas bernada khusyuk, penyair berbicara tentang tuhan dan hakikat manusia. Dari mana manusia berasal dan siapa tuhan itu sebenarnya. Dengan apresiasi yang sungguh-sungguh, pembaca akan merasakan suasana yang dimunculkan puisi di atas. Pengakuan manusia atas keberadaannya dan tentang tuhan yang masih menjadi tanda tanya akan memunculkan suasana yang penuh tanda tanya juga atau mengiyakan pernyataan yang diungkapkan penyair dalam puisinya.
Perasaan Dalam Puisi
            Puisi mengungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair akan dapat kita tangkap jika puisi itu dibaca keras. Membaca puisi dengan suara yang keras dan penghayatan akan memudahkan kita untuk menemukan perasaan penyair dalam puisinya. Perasaan yang muncul dalam puisi dapat berupa perasaan yang gembira, sedih, terharu, terasing, patah hati, menyesal dan lain-lain. Pada puisi “Tentang Tuhan II” kita dapat merasakan keterasingan di dunia dan kebingungan manusia akan jatidirinyadan tentang Tuhan yang menciptakan manusia. Pembaca yang menikmati puisi kontemporer mungkin akan merasakan berbagai macam hal, antara lain kebingungan karena tidak mengerti maksud kata-kata dalam puisi, perasaan jijik karena kata-kata yang digunakan cenderung tabu dan kurang pantas diungkapkan, dan mungkin muncul perasaan yang sesuai dengan maksud puisi.
Amanat dan Nilai Puisi
            Amanat, pesan atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Amanat disimpulkan sendiri oleh pembaca dan cara mengambil amanat dari suatu puisi berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap sesuatu. Walaupun ditentukan oleh cara pandang pembaca, amanat tidak
bisa lepas dari tema yang disajikan oleh penyair (Waluyo, 2002:40).
HASIL APRESIASI PUISI KONTEMPORER DENGAN PENDEKATAN
ANALITIK DAN ESTETIK
PAHLAWAN DAN SOK PAHLAWAN
Karya Remy Sylado
Diapresiasi oleh Tedy Niko Jatmiko
yang berjuang dulu
dan mati dalam perang
memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)

yang berjuang dulu
tapi hidup senang sekarang
ingin juga disebut pahlawan
gambar pejuang dengan pamrih
(Sylado, 2004:7)

Analisis puisi dengan pendekatan analitik
            Puisi karya Remy Sylado di atas menggunakan kata konkret. Imaji yang sering digunakan adalah imaji visual. Bahasa kias yang ada dalam puisi tersebut meliputi sinekdoke yang ditunjukkan pada kata pejuang yang mewakili para pejuang yang gugur dalam perang, metafora karena membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dengan cara singkat yang ditunjukkan pada /gambar pejuang tanpa pamrih/, dan metonimia karena menggunakan nama lain dalam menyebutkan sesuatu dengan nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang atau barang sebagai penggantinya yang ditunjukkan pada kata pahlawan yang menggantikan kata pejuang.  Sarana retorika yang terdapat pada puisi "Pahlawan dan Sok Pahlawan" adalah antitesis yang dapat dibuktikan adanya pertentangan dengan cara menggunakan kata-kata atau kelompok kata pada bait pertama dengan bait kedua. Selain itu terdapat paralelisme yang ditunjukkan dengan adanya pengulangan yang tetap pada bait pertama baris pertama /yang berjuang dulu/ dan bait kedua baris pertama /yang berjuang dulu/.
            Puisi ini menggunakan rima bebas, persamaan bunyi kata atau suku kata diletakkan secara bebas. Aliterasi puisi tersebut /yang berjuang dulu/ dan /tapi hidup senang sekarang/. Dalam puisi tersebut ditemukan banyak asonansi, beberapa diantaranya adalah /dan mati dalam perang/, /memang disebut pahlawan/, dan /gambar pejuang tanpa pamrih/. Puisi berbentuk bebas, karena penataan larik keluar dari aturan yang sudah ditentukan.
            Puisi ini mengangkat tema tentang kekecewaan seseorang terhadap arti pahlawan.  Puisi ini memberikan amanat agar seseorang harus iklhas apabila ia melakukan sesuatu. Suasana dalam puisi tersebut adalah kesedihan yaitu perasaan kecewa akuliris tentang makna pahlawan.
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
            Puisi karya Remy Sylado yang berjudul ”Pahlawan dan Sok Pahlawan" menggunakan kata-kata konkret atau kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari sehingga mudah dipahami isinya. Meskipun puisi tersebut tidak menggunakan diksi atau pilihan kata konotasi, namun hal itu tidak mengurangi keindahan puisi tersebut karena puisi tersebut telah didukung dengan adanya aliterasi dan asonansi sehingga menciptakan suasana yang liris atau penuh perasaan.
            Pada bait pertama menceritakan tentang para pejuang yang telah gugur di medan perang yang jasa-jasanya hanya menjadi kenangan, dengan pejuang yang masih hidup dan jasa-jasanya mendapat imbalan berupa materi. Pada bait pertama menjelaskan tentang arti pahlawan yang sesungguhnya, sedangkan pada bait yang kedua menceritakan tentang seseorang yang hanya ingin dipuji karena jasa-jasanya. Puisi ini dapat menjadi pedoman agar seseorang apabila melakukan sesuatu pekerjaan harus iklhas. Puisi ini menjelaskan arti pahlawan secara jelas karena puisi ini menggunakan kata-kata konkret sehingga pembaca memahami
tentang arti pahlawan.
TRAGEDI WINKA DAN SIHKA
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Diapresiasi oleh Sriwijayanti
kawin
         kawin
                  kawin
                           kawin
                                    kawin
                                             ka
                                        win
                                   ka
                             win
                        ka
                  win
              ka
       win
   ka
       winka
               winka
                       winka
                               sihka
                                     sihka
                                           sihka
                                         sih
                                      ka
                                 sih
                             ka
                        sih
        ka
               sih
           ka
      sih
  ka
     sih
        sih
            sih
                sih
                   sih
                      sih
                          ka
                            Ku
( Pradopo, 2005:293)

Analisis puisi dengan pendekatan analitik
Diksi yang digunakan dalam puisi di atas tidak terlalu bervariasi. Penyair hanya menggunakan kata ”kawin”, ”kasih”, ”winka”, ”sihka”, dan ”Ku” untuk puisinya ini. Walaupun kata yang digunakan minimalis, puisi ini menyimpan banyak makna.  /kawin/  adalah konotasi dari sebuah rumah tangga, sedangkan /kasih/ adalah rasa kasih sayang dalam rumah tangga itu. /kawin/ dapat juga dikatakan sebagai simbol suatu bangunan, yaitu bangunan yang berpondasi atas sifat-sifat kemanusiaan yakni rumah tangga.
Penggunaan sarana pararelisme terlihat jelas pada puisi ini, /kawin/ dan /kasih/ diulang-ulang, tak hanya itu sarana inversi (pembalikkan susunan kata) /kawin/ dan /kasih/ menjadi /winka/ dan /sihka/ menjadi salah satu ciri khas puisi ini. Pengaturan larik dan bait dibuat sedemikian rupa, jauh dari aturan perpuisian yang ada, menciptakan kesan tersendiri saat melihat dan membaca puisi ini.
Amanat yang mungkin dapat kita tangkap dalam puisi ini adalah sebuah rumah tangga hendaknya dijaga keharmonisannya. Letupan-letupan kecil dalam rumah tangga termasuk hal yang wajar, namun jangan sampai membiarkan masalah berlarut-larut. Antara suami dan istri harus ada rasa saling percaya dan pengertian agar perpecahan dalam rumah tangga tidak terjadi. Pemasrahan masalah pada Tuhan adalah jalan terakhir dan terbaik saat masalah tidak dapat lagi diselesaikan oleh manusia.
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
Segi estetik atau keindahan puisi dapat kita amati melalui tipografi maupun kata-kata yang digunakan. Telah dijelaskan di atas bahwa segi estetik dari puisi kontemporer sebagian besar terletak pada tipografi yang belum pernah ada pada periode-periode sebelumnya dan penggunaan kata-kata yang menerobos keluar dari aturan yang ada.
Bentuk fisik atau tipografi puisi di atas dibuat sedemikian rupa untuk memunculkan kesan visual dan estetik yang juga turut membangun makna puisi. Tipografi yang berbentuk zigzag menyiratkan adanya tragedi. Sebuah tragedi dalam bahtera perkawinan atau rumah tangga, yakni suatu kegelisahan dalam perkawinan yang mengakibatkan perjalanan rumah tangga tidak mulus lagi.  Pembalikkan /kawin/ menjadi /winka/ dan /kasih/ menjadi /sihka/ mengandung makna bahwa rumah tangga yang diselimuti rasa cinta dan kasih sayang telah berubah menjadi suatu kebencian. /kawin/ pada awal puisi berjumlah lima buah, hal ini menyiratkan pada periode atau waktu yang telah ditempuh, yaitu lima tahun.
Pada periode berikutnya (pada baris ke-6) /kawin/ terpotong menjadi /ka/ dan /win/ yang menunjukkan bahwa kebahagiaan itu terpotong-potong dan terjadi perpecahan antara suami dan istri yang mungkin disebabkan oleh materi, ketidakpercayaan, ketidakpengertian dan lain-lain. Pada baris ke-7, /kawin/ berjalan mundur. Hal ini mengandung makna bahwa rasa cinta dan kasih sayang berjalan mundur, dari hari ke hari semakin mengecil. Pada baris ke-15, /kawin/ telah berubah menjadi /winka/  yang berarti perbedaan atau perselisihan dalam rumah tangga telah terjadi dan sulit untuk disatukan, sehingga /kasih/ menjadi /sihka/ yang berarti kasih sayang telah beubah menjadi kebencian. Pada baris ke-22 /kasih/ itu berjalan mundur sampai akhirnya tinggal /sih/ yang maksudnya rasa kasih itu benar-benar sugah lenyap. Pada akhir puisi, penyair mengungkapkan bahwa semua itu (rumah tangga) menjadi kaku dan mati, tidak ada lagi yang dapat disatukan. /Ku/ dimulai dengan huruf  kapital untuk menunjukkan bahwa penyair berpaling kepada Tuhan, yaitu menyerahkan permasalahan rumah tangga
kepadaNya dan lebih mendekatkan atau meleburkan diri pada Tuhan.
JADI
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Diapresiasi oleh Rahmat Mahmudi
Tidak setiap derita                   jadi luka
Tidak setiap sepi                      jadi duri
Tidak setiap tanya                   jadi ragu
Tidak setiap jawab                   jadi sebab
Tidak setiap seru                     jadi mau
Tidak setiap tangan                 jadi pegang
Tidak setiap kabar                   jadi tahu
Tidak setiap luka                     jadi kaca
Memandang kau
                                                                        Pada wajahku. 
 (Soekono, tanpa tahun:673)

Analisis puisi dengan pendekatan analitik

Dari puisi di atas dapat kita ketahui bahwa dari segi bahasa (diksi)  sebagian kata yang membentuk puisi adalah kata konkret. Sedang imaji yang muncul dalam puisi di atas adalah imaji visual, auiditif, dan taktil.
Dari segi bentuk, rima yang digunakan dalam puisi tersebut tiap kalimat berbeda, pada dua  kalimat pertama berima a-a-b-b sedang kalimat ketiga dan keempat a-b-a-a. kalimat kelima dan keenam kembali lagi berima a-a-b-b.
Dalam puisi “Jadi” terdapat beberapa aliterasi (perulangan bunyi konsonan dan vokal) seperti //tidak setiap derita jadi luka// jika kita perhatikan dalam kalimat tersebut terdapat aliterasi konsonan /d-d/ dan /a-a/ dan vokal /a-a/ dan /i-i/. selain aliterasi kita juga mendapatkan asonansi yang berbeda di setiap kalimat. Pada kalimat pertama //tidak setiap derita jadi luka //  terdapat perulangan vokal /i/ dan /a/. Dapat kita bandingkan dengan kalimat keenam //tidak setiap seru jadi mau// yang menjadi penanda vocal /a/ dan /u/. Irama pada puisi terdapat  pada setiap awal dari kalimat //tidak setiap… jadi….//.
            Dari struktur isi puisi “Jadi” dapat kita simpulkan bertemakan Ketuhanan. Pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan kejadian yang pernah kita lakukan, seperti //tidak setiap derita  jadi luka// pengarang ingin menyadarkan pada pembaca bahwa sesuatu yang telah menimpa kita baik kejadian yang buruk (membuat kita menderita) bukan  karena kebencian Tuhan terhadap kita (perbuatan), tapi itu adalah bentuk dari rasa cinta Tuhan terhadap kita dengan memberi peringatan pada kita atas kekeliruan kita. Di akhir puisi kalimat //memandang kau pada, pada wajahku// Ini adalah inti dari puisi ini. Memandang kau menandakan bahwa dalam diri pengarang terdapat  perasaan bersalah atau timbulnya kesadaran bahwa yang terjadi ini adalah sebuah bentuk cinta kasih Tuhan terhadap diri kita
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
            Pada puisi jadi pengarang cukup cerdas untuk mangawali setiap larik dengan kalimat /tidak setiap...jadi.../. dengan maksud pengarang ingin memeberi pada pembaca untuk memilih kata yang selanjutnya, walupun pengarang telah memberikan kata yang ada tetapi pembaca bebas untuk mengkombinasikan kata-kata yang ingin diucapkan atau melanjutkan.
            Pada bait pertama terdapat jeda atau spasi yang memenggal larik itu jadi dua seperti /tidak setiap derita   jadi luka/. Mungkin penyair ingin agar sebelum kata jadi pembaca mencoba memikirkan kata apa yang muncul setelah tidak setiap...jadi... itu. Dan ini berlanjut sampai pada larik terakhir. 
            Pada bait kedua penyair hanya mengubah kata pada bait pertama /derita/ dengan /sepi/ yang masih mempunyai hubungan dengan kata pada larik pertama dan kata /luka/ diganti dengan /duri/ dan ini terlihat sampai pada akhir puisi, penyair hanya mengubah kata yang menandai puisi di atas.
Penggantian kata pada setiap larik ini membuat puisi ini berbeda dari puisi lainnya dan hanya dari penggantian  kata pada setiap larik puisi menimbulkan makna yang berbeda.
            Dari segi makna yang terkandung dalam larik pertama penyair ingin memberitahukan bahwa yang terjadi pada kita itu tidak selalu buruk mungkin ada makna yang tersembunyi yang membuat kita menjadi lebih baik seperti dalam larik terakhir dari puisi tersebut yang menyatakan bahwa penyair tidak bisa menganggap bahwa yang terjdi ini adalah takdir kita yang telah ditentukan
pencipta. Dan ini bentuk rasa cinta pencipta kepada kita.
DI LANGIT OTAK KUDA SUKA HATI
Karya Remy Sylado
Diapresiasi oleh Rahmat Mahmudi
Langit
Tak berbatas
Langit-langit   
Bagian pembatas

Otak
Untuk pikiran
Otak-otak        
Untuk santapan

Kuda
Kakinya kekar
Kuda-kuda      
Kaki pendekar

Suka
Lahirkan cinta
Suka-suka       
Lahirkan duka derita
Hati
Rasam perasaan
Hati-hati         
Rasam kewaspadaan
 
Analisis puisi dengan pendekatan analitik
            Pada puisi di atas dapat kita ketahuai bahwa sebagian besar kata atau diksi yang menyusun adalah kata konkret, sedang imajinasi yang muncul dalam puisi tersebut adalah imaji visual dan taktil.
            Penggunaan rima dalam pusisi di atas bersifat bebas, ini dapat kita lihat pada bait pertama berima a-b-a-b, sedang dalam bait kedua dan seterusnya berima a-a-a-a. Rima ini menimbulkan banyak aliterasi dan asonansi yang muncul dalam puisi di atas. Pada bait pertama aliterasi yang muncul konsonan /l-l/, /n-n/, /g-g/, /t-t/, dan vokal /a-a/, /u-u/. Pada bait kedua muncul kedua aliterasi yang muncul seperti konsonan /t-t/ dan vokal /a-a/. Pada bait ketiga terdapat aliterasi konsonan /k-k/ dan vokal /a-a/. Bait keempat aliterasinya konsonan /s-s/ dan vokal /a-a/.
            Penyair menggunakan judul puisi seperti langit, otak, kuda, suka, hati sebagai pikiran utama dalam setiap bait. Kemudian kata-kata ini direduplikasi dengan maksud sebagi pembanding dua hal yang sangat berbeda.seperti pada bait pertama kata langit yang berarti langit itu sendiri pada larik ketiga dibuat perulangannya menjadi langit-langit berarti sebuah atap. Pada bait kedua kata otak yang berarti organ mahkluk hidup untuk berfikir pada larik kedua menjadi otak-otak berarti sebuah nama makanan. Sedang pada bait ketiga penyair menggunakan kata kuda yang berarti hewan kuda pada larik ketiga menjadi  kuda-kuda berarti tumpuan, posisi. Pada bait keempat kata suka bermakna senang pada sesuatu menjadi suka-suka pada larik ketiga mempunyai makna sesuatu yang dikerjakan dengan bergantung perasaan. Pada bait kelima terdapat kata hati bermakna organ mahkluk hidup menjadi hati-hati bermakna kata peringatan.
            Dari keseluruhan isi puisi di atas bertemakan kritik sosial dengan ditandai kata yang direduplikasi akan membuat makna baru begitu juga dengan kita jika kita melakukan sesuatu jangan setengah-setengah.
Anailis puisi dengan pendekatan estetik
            Diksi atau pilihan kata  yang digunakan penyair dalam membuat puisi ini sederhana, dengan mempergunakan judul puisi sebagai pokok pikiran dari setiap bait puisi menjadikan puisi tersebut sangat mudah dipahami pembaca. Ini tak lepas dari tujuan penyair yang ingin menyampaikan maksud dari puisi tersebut.
Puisi di atas dibuat penyair untuk membandingkan satu hal dengan hal yang lainnya. Hal yang dibandingkan tersebut merupakan yang umum ada di sekitar kita, dengan membandingkan sesuatu yang bernilai dan kemudian kata itu direduplikasi sehingga menimbulkan makna baru.
            Hal ini dapat dilihat pada bait kedua kata otak kemudian menjadi otak-otak, otak yang merupakan anugerah yang diberikan pada mahkluk hidup (manusia) harus kita syukuri dengan mempergunkannya dengan baik atau hanya menjdi pelengkap organ saja seperti hewan yang tidak menggunakan otaknya.
            Pada bait ketiga dari puisi ini kata yang digunakan adalah kuda berarti hewan jika kata itu direduplikasi manjadi kuda-kuda yang berarti sebuah posisi dalam bela diri. Pada bait terakhir puisi makna yang digunakan adalah hati yang bermakna organ yang vital bagi makhluk hidup untuk menetralisir racun yang masuk dalam tubuh, jika hati itu sakit atau rusak maka tubuh akan mudah terserang penyakit. Demikian jika kata-kata itu direduplikasi menghasilkan makna seruan, pesan, nasehat agar kita berhati-hati.
            Dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa penyair bermain perualangan kata atau reduplikasi kata dan hasilnya muncul kata baru yang
berbeda makna.
Q
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Diapresiasi oleh Rosalia D.R

                                    ! !
                                     !   !  !               
                                                                        !      ! !             ! !         !
                                                                                                       !


                                 !  a
                                                            lif       !        !
                                    l
                                l                          a
                            l                                  a               m
                                                                           ! !

            mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
                                              iii ii ii iii ii ii ii ii ii
     mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm

Analisis puisi dengan pendekatan analitik
            Puisi di atas bisa disingkat menjadi “Q : alif lam mim “. Jelaslah bahwa puisi ini mengutip salah satu ayat dalam Al-Quran. Beberapa ayat dalam Al-Quran yang berupa huruf-huruf hijaiyah tanpa harakat, misalnya : tho ha, la mim, shod, dll. Terjemahnya tidak ada namun selalu ditulis tafsir hanya Tuhan yang tahu . Tipografi puisi sebagaimana tertulis di atas sebagaimana pembacaan kalau qiraah. Meski kita tidak memahami artinya namun huruf-huruf  tersebut dengan kata : i’lam (ketahuilah), alam (jagad raya), alama (pembelajaran), dan alim (ilmu). Ayat ini terpampang jelas pada Al Baqarah ayat pertama. Bila ditafsirkan maka kita hidup memang harus mempelajari jagad raya ini sebagai ilmu, sebagai langkah awal sebagai makhluk bernama manusia.
            Puisi di atas menunjukkan bahwa Tuhan sengaja tidak memberitahukan maknanya secara langsung. Tampaknya Tuhan memberi teka-teki pada manusia. Dalam hal ini Tuhan hanya memberikan isyarat konsonan dasar dan kita yang memaknainya.
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
            Dalam puisi Q, penyair mengungkapkan “alif, lam, mim” dengan bentuk grafis yang mirip sebuah bangunan dimana /mim/ dijadikan dasar dan tanda /!/ begitu banyak. Hal ini diperkirakan mengandung suatu ajakan/perintah yang harus
ditaati bahwa pembaca hendaknya mengkaji Al-Quran dengan mendalam.
PENUTUP
Puisi kontemporer merupakan puisi yang memiliki ciri khas tersendiri. Puisi kontemporer memberi warna tersendiri dalam perpuisian Indonesia setelah angkatan 45. Ditinjau dari bahasa yang digunakan, puisi kontemporer cenderung memiliki ciri tersendiri, yaitu adanya penggunaan kata-kata tabu dan bahasa asing atau daerah, juga penggunaan kata-kata baru yang diciptakan oleh penyair yang secara linguistik tidak ada artinya.
Dari segi bentuk pun, puisi kontemporer tidak terlalu mementingkan rima maupun irama, namun cenderung mengutamakan tipografi puisi. Melalui pendekatan objektif, yaitu pendekatan analitik dan estetik dapat membantu kita untuk mengapresiasi puisi kontemporer ini. Pendekatan analitik merupakan suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk memahami gagasan, figuratif, mekanisme unsur-unsur kesusastraan (irama, larik, bait, fisik, gaya bahasa, dll.) yang membangun puisi. Sedangkan pendekatan estetik merupakan suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk mengungkap keindahan karya sastra.
Estetika dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, karena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika yang dominan. Estetika dalam karya sastra dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan, bentuknya, penyusunan alur, konflik-konflik, humor, dan sebagainya. Melalui kedua pendekatan ini diharapkan dapat
memudahkan kita untuk mengapresiasi puisi, terutama puisi kontemporer.
DAFTAR RUJUKAN
Badudu, J.S. 1975. Sari Kesusatraan Indonesia 2. Bandung: Pustaka Prima.
Edraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,      Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
Rani, Supratman Abdul. 1999. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Soekono, Wirdjono. tanpa tahun. Sastra Indonesia Modern Abad Pertengahan.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan: Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta:     Erlangga.
Sylado, Remy. 2004. Puisi Mbeling. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
______________. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar