MENGUNGKAP
KEPELIKAN DAN WARNA BARU DALAM PUISI KONTEMPORER MELALUI PENDEKATAN OBJEKTIF
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemilihan Puisi dan Pendekatan
Dalam
makalah ini, kami akan membahas tentang analisis puisi kontemporer dengan
menyertakan beberapa contoh puisi yang sudah kami analisis. Puisi yang kami
analisis mewakili karakteristik umum puisi kontemporer. Kami memilih puisi
kontemporer karena pada masa itu terjadi pembaharuan dunia puisi Indonesia,
yang dipandang sebagai pelopornya adalah Sutardji Calzoum Bachri. Puisi
kontemporer lebih mementingkan bentuk dari pada isinya.
Pengarang yang paling
menonjol pada masa puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachri yang
dianggap sebagai pelopornya dan Remy Sylado. Tema yang paling dominan pada puisi kontemporer adalah
tema Ketuhanan dan protes sosial.
Dalam menganalisis puisi kontemporer, kami
menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan analitik dan pendekatan estetik.
Kami menggunakan pendekatan analitik untuk memahami struktur-struktur puisi,
seperti rima, bait, gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan pendekatan estetik
kami gunakan untuk memahami keindahan yang ada pada puisi tersebut, keindahan
itu bisa kita temukan dari bahasa yang digunakan, bentuknya, penyusunan alur,
konflik-
konflik, humor, dan sebagainya.
Tujuan
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk mengungkap kepelikan dan warna baru puisi kontemporer melalui
pendekatan objektif. Jika ditinjau dari segi bentuk dan strukturnya, puisi
kontemporer berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya. Puisi kontemporer bebas dari
ikatan-ikatan perpuisian, seperti jumlah bait, jumlah baris, rima, dan
lain-lain. Para penyair bebas mengekspresikan idenya secara liar, bebas
menggunakan kata tapi tetap bermakna. Oleh karena itu, dalam makalah ini
dibahas mengenai karakteristik-karakteristik puisi kontemporer agar pembaca
mampu mengapresiasi puisi kontemporer dengan mudah.
Pengertian Pendekatan dan
Prosedur Kerja Apresiasi
Pengertian Pendekatan Analitik
dan Prosedur Kerja
Pendekatan analitik
merupakan suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk memahami gagasan, figuratif,
mekanisme unsur-unsur kesusastraan (irama, larik, bait, fisik, gaya bahasa,
dll.) yang membangun puisi.
Prosedur kerja untuk
mengapresiasi puisi dengan menggunakan pendekatan analitik:
a.
Mencari puisi kontemporer
b. Membaca berbagai macam puisi
kontemporer secara berulang-ulang
c.
Memahami berbagai macam puisi kontemporer
d. Memilih beberapa puisi kontemporer untuk
dianalisis
e.
Menganalisis beberapa puisi kontemporer
f. Mengaplikasikan
beberapa puisi kontemporer dalam makalah
Pengertian Pendekatan Estetik
dan Prosedur Kerja
Pendekatan estetik
merupakan suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk mengungkap keindahan karya
sastra. Estetika dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, karena pada
hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan
mempunyai nilai estetika yang dominan. Estetika dalam karya sastra dapat kita
lihat dari struktur bahasa yang digunakan, bentuknya, penyusunan alur,
konflik-konflik, humor, dan sebagainya.
Prosedur kerja untuk
mengapresiasi puisi dengan menggunakan pendekatan estetik:
a.
Mencari puisi kontemporer
b. Membaca berbagai macam puisi
kontemporer secara berulang-ulang
c. Memilih
beberapa puisi kontemporer untuk dianalisis
d. Menemukan unsur-unsur keindahan yang
terdapat di dalamnya
e.
Menyusun konsep hasil analisis
f. Mengaplikasikan beberapa puisi kontemporer
dalam makalah
KARAKTERISTIK PUISIKarakteristik Bahasa
Diksi
Suroto (1989:112) menyatakan bahwa
diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Diksi yang baik berhubungan
dengan pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras. Diksi yang digunakan
dalam puisi kontemporer cenderung ke arah revolusioner, dalam arti penyair
menerobos aturan perpuisian yang ada. Mereka membebaskan kata dari
fungsi-fungsi yang telah dilekatkan pada kata itu sendiri. Adanya penggunaaan
kata-kata tabu untuk menciptakan efek estetik dan penungkapan gagasan secara
polos dengan kata-kata yang mudah kita pahami, sering kita jumpai dalam puisi
ini. Sebagai contoh,
PROFESOR
seekor
profesor
berak
(menunjukkan pemakaian kata tabu)
di atas
mimbar kuliah
.........................................
( Sutardji, Profesor)
Tak Mau
Banyak
orang tak mau
Banyak
orang tak mau banyak orang
Banyak
orang tak mau sendiri di antara banyak orang
...................................
(Yudhistira. A, Tak Mau)
Tidak hanya pengungkapan dengan kata-kata yang
tabu, tetapi juga penggunaan kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki
arti kata, sehingga pembaca atau apresiator banyak yang mengalami kesulitan
apabila dihadapkan dengan puisi kontemporer. Para penyair membebaskan kata dari
fungsi-fungsi praktis ( adanya penyimpangan-penyimpangan sintaksis), sehingga
muncul lah kata-kata baru dan tidak ada
dalam kamus . Sebagai contoh,
...................................
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa
sepisaupi
Sepisaupa
sepisaupi
Sampai
pisauNya ke dalam nyanyi
(Sutardji, Sepisaupi)
Selain itu terdapat penggunaan bahasa asing atau
bahasa daerah oleh beberapa penyair dalam puisi mereka, sebagai contoh puisi
”Cinta Model Kwangwung” karya Darmanto Jt.
.............................
-aloha!
kaleo o
kane : kahi, elua, ekolu!
..................................................
Iblis
laknat setan bekasakan
Kanioyo temen awakku
Imaji
Pengimajian dapat diartikan
sebagai susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran dan perasaan. Bait atau baris puisi seolah-olah
mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual) dan
sesuatu yang bisa dirasakan, diraba atau disentuh (imaji taktil) (Waluyo,
1987:78). Di bawah ini adalah contoh penggunaan imaji visual,
seekor
profesor
berak
di atas
mimbar kuliah
.........................................
(Sutardji,
Profesor)
Semua
orang membawa kapak
Semua
orang bergerak pergi
Menuju
langit
................
(Sutardji,
Kapak)
Ada langit membentang
di setiap mimpi kita
................................
(Priyono,
Tentang Tuhan II)
Adapun imaji auditif yang terdapat dalam puisi kontemporer antara lain
sebagai berikut,
.
...................
mahasiswa
bertepuk tangan
hanya
tiga menangis
(Sutardji,
Profesor)
.....................
dalam
lelap
lelap ini
tiada
lagi
adzan
.....................
(Hamid
Jabbar, Sebelum Maut itu Datang Ya Allah)
Kita dapat merasakan dan mengetahui adanya imaji taktil pada contoh puisi
di bawah ini,
Tuhan
Sepi
Tuhan
tak mau sepi
...............................
(Husni Jamaluddin, Pada Mulanya Sepi)
Bahasa Kias
Bahasa kias merupakan
bagian dari bahasa figuratif, yaitu bahasa yang digunakan penyair untuk
menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
mengungkapkan makna. Pengiasan disebut juga dengan penyamaan karena
membandingkan atau menyamakan sesuatu hal dengan yang lain.
Personifikasi
Personifikasi atau penginsanan merupakan salah
satu bahasa kias yang melekatkan sifat-sifat insan pada barang atau benda yang
tidak bernyawa atau pada ide yang abstrak (Suroto, 1987:116). Kita dapat menjumpai personifikasi pada
contoh puisi di bawah ini,
...............................
Diam
mendekam jalanan itu
Taman
nan pingsan
Dan
selimut waktu mencekik leherku
...............................
(Hamid Jabbar, Sebelum Maut itu Datang Ya Allah)
...............................
pantaipanas
meludahkan buahpasirnya
................................
(Hamid Jabbar, Homo Homoni Lupus)
Metafora
Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama
atau seharga dengan hal yang lain yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd
dalam Pradopo, tanpa tahun:66). Tak hanya itu Suroto (1987:116) menyatakan,”
metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal
secara implisit ”. Sebagai contoh dalam puisi di bawah ini,
.
............................
Ia
sisihan kita
Kalau kita pergi kondangan
Ia
tetimbangan kita
Kalau kita mau jual palawija
.............................
(Darmanto
Jt, Isteri)
.............................
Iblis
laknat setan bekasakan
kanioyo
temen awakku
.............................
(Darmanto Jt, Main Cinta Model Kwang Wung)
Sinekdoce
Sinekdoce adalah menyebutkan sebagian untuk
keseluruhan atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian. Untuk
menggambarkan kehidupan transmigran, F.Rahardi melukiskan beberapa tarnsmigran
yang mengalami kepahitan dalam hidupnya dan ditempatkan di. Kita dapat melihat
dalam potongan puisi berikut ini,
Sajak Transmigran I
paijan
dan tukimin
dan waginem
dan 20
orang anaknya dan adiknya
dan pamannya
dan
ayahnya
..............................
Ditumpuk di pantat bis
Dijejal di perut kapal
Lalu
diserakkan
Di belantara sumatera
Paralelisme
Suroto (1987:128) menyatakan bahwa pararelisme
merupakan gaya bahasa yang berusaha menyejajarkan pemakaian kata-kata atau
frase yang menduduki fungsi yang sama dan memiliki bentuk gramatikal yang sama,
sebagai contoh
..............................
Pantaipanas
pantaipanas
Pantaipanas
meremas lengannya
Tak ada sampan melabuhkan ikan
Pantaipanas
pantaipanas
Pantaipanas
meremas lengannya
Tak ada
nelayan melabuhkan sampan
(Hamid jabbar, Homo Homoni Lupus)
Sinisme
Puisi di bawah ini potongan puisi karya F.Rahardi
yang menggunakan sinisme
Jas
Anti
Korupsi
Jas
Anti
Korupsi dijahit dan ditambal
Tepat
detik-detik proklamasi
Harganya
murah
( F.Rahardi, Jas Anti Korupsi)
Karakteristik BentukPerulangan Bunyi
Rima
Rima merupakan pengulangan
bunyi dalam puisi yang berupa persamaan bunyi di akhir atau di dalam
baris-baris puisi. Melalui rima ini, puisi menjadi merdu jika dibaca. Rima yang
terikat tentu sudah tidak berlaku dalam puisi kotemporer ini, namun penyair
bebas mengekspresikan ide-idenya. Mereka bisa menggunakan rima yang tertata
maupun rima yang bebas. Dibawah ini potongan dari puisi karya Linus Suryadi
”Senjakala Gunung Merapi”,
Samar
sudah mengatup batas senja
Malam
bagai gadis mengurai rambutnya
Hitam:
mencipta bayang-bayang di balik bulan
Berlindung
aman kelam, kabut bersidekap dahan
..........................................................
Berikut ini contoh puisi yang kurang memperhatikan keberadaan rima,
Tak Lari
Ketika
radio dimatikan
Datanglah
sepi yang terkenal itu
Sewaktu
kopi dihabiskan
Matilah
lampu. Dan gelap yang terkenal itu datang juga
Padahal,
kalau sepi janda-janda pada lari
.....................................
(Yudhistira)
Aliterasi
Aliterasi adalah suatu
gaya bahasa yang menggunakan perulangan bunyi konsonan yang sama. Aliterasi
dalam kontemporer cenderung bebas. Berikut ini contoh penggunaan aliterasi
dalam puisi kontemporer,
.................................
yang
oportunis
sedang
menggigit kwaci
di rumah
bordil gang hober
(Remy
silado, Menguji Kebangsaan)
................................
Kuda
Kakinya kekar
Kuda-kuda
Kaki pendekar
...........................
(Remy
silado, Di langit Otak Kuda Suka Hati)
Asonansi
Asonansi merupakan gaya
bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama (Rani, 1999:149). Berikut
ini contoh penggunaan asonansi dalam puisi kontemporer,
....................
seratus
tikus berkampus
di atasnya
dosen dijerat
..................
(
F.Rahardi, Doktorandus Tikus I)
…………….
Ke manakah
jalan
mencari matahari
ketika tubuh
kuyup
dan pintu
tertutup
.....................
(Wing
Karjo, Salju)
Onomatope
Onomatope berarti tiruan
terhadap bunyi-bunyi yang ada. Dalam puisi, bunyi-bunyi yang dipilih oleh
penyair diharapkan dapat mmemberikan warna suasana tertentu seperti yang
diharapkan oleh penyair (Waluyo, 1987:90).
Dalam puisi kontemporer sering kita jumpai adanya onomatope, berikut ini
salah satu contoh onomatope dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri,
Ngiau
Suatu
gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang. Seekor kucing
menjijit tikus yang menggelepar
tengkuknya...............................................
(Sutardji,
Ngiau)
Shang
Hai
Ping di
atas pong
Pong di
atas ping
Ping
ping bilang pong
...........................
(Sutardji,
Shang Hai)
..........................
pada
ku
kadangkala
bagai ejekan: ciss!
lain
kali bagai mengucapkan salam: haha!
............................
(Hamid
Jabbar, Sejuta Panorama Suara)
Versifikasi
Ritma
Ritma sangat berhubungan
dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa dan
kalimat (Waluyo, 1987:94). (Rani, 1999:300) mengatakan,”irama adalah bunyi atau
gerak yang berurutan secara teratur. Ritma dalam puisi kontemporer sangat
bervariasi, dapat dikatakan bahwa tiap puisi kontemporer memiliki ritma yang
berbeda bahkan penyair kurang mempedulikan adanya irama/ritma ini. Contoh ritma
yang bebas dalam puisi kontemporer,
...........................
dengan
lalat
terbang
dari nanah ke nanah
dari
ngilu ke ngilu
dari
resah sampai ke barah
aku
terbang
sama
lalat arwah
(kini
dia mati
kena
tempeleng)
...........................
(Sutardji, Lalat)
Bentuk Bebas
Bentuk fisik dalam puisi
kontemporer bervariasi. Dalam Soekono (tanpa tahun:402) mengatakan bahwa puisi
kontemporer penyair menggunakan kata-kata yang tersusun rapi sehingga kelihatan
seperti bentuk lukisan. Bentuk atau tipografi puisi cenderung lebih
dipentingkan dalam puisi ini. Adanya penggunaan tipografi ini dimaksudkan untuk
mengemukakan sesuatu dengan kata-kata juga diharapkan agar pembaca ikut
menggunakan indra penglihatan. Penataan larik puisi, rima, maupun irama keluar
dari aturan perpuisian yang telah ada dan konvensional. Kita juga dapat
menjumpai puisi yang prosais. Di bawah ini contoh puisi kontemporer yang
mementingkan tipografi puisi,
DI
Betul
kau pasti
sedang menghitung
berapa nasib lagi tinggal
sebelum fajar terakhir kaututup
tanpa seorang pun tahu siapa kau dan
di
........................
(Noorca Marendra, DI)
Berikut ini contoh potongan puisi yang berbentuk seperti cerpen (prosasis),
Sajak Sikat Gigi
Seorang
lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di
dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka
Ketika
ia bangun pagi hari
Sikat
giginya tinggal sepotong
Sepotong
yang hilang itu agaknya
Tersesat
di dalam mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia
berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.
(Yudhistira, Sajak Sikat Gigi)
Karakteristik Isi
Tema Puisi
Tema adalah gagasan pokok
(subject matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya (Waluyo,
2002:17). Tema yang paling terdapat dalam puisi adalah tema ketuhanan,
kemanusiaan, cinta, patriotisme, kegagalan hidup, kritik sosial, demokrasi dan
perjuangan. Puisi kontemporer atau yang juga disebut puisi mbeling merupakan puisi main-main atau terkesan tidak
berkesungguhan, namun sebenarnya puisi kontemporer banyak yang bertema
ketuhanan dan kritik sosial. Sebagai contoh puisi di bawah ini,
Biarin
Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
Kamu
bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
Kamu
bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
Kamu
bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin
.....................................................
(Yudhistira, Biarin)
Solitude
yang
paling mawar
yang
paling duri
yang
paling sayap
yang
paling bumi
yang
paling pisau
yang
paling risau
yang
paling nancap
yang
paling dekap
samping
yang paling
Kau !
(Sutardji, Solitude)
Puisi di atas menunjukkan
kesepian hati penyair. Saat hening atau sunyi dapat dirasakan oleh penyair
bahwa tidak ada yang maha segalanya kecuali Kau (Tuhan). Penyair menunjukkan
hal-hal yang menyenangkan dan menyedihkan. Dari sifat-sifat baik yang
ditunjukkan oleh penyair, Tuhan lah yang paling membahagiakan, paling diimpikan,
paling nyata namun sulit dijangkau dengan
pikiran manusia.
Nada dan Suasana Puisi
Di samping tema, puisi
juga mengungkapkan nada dan suasana kejiwaan. Nada mengungkapkan sikap penyair
terhadap pembaca dan dari
sini lah tercipta suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, santai,
patriotik, humor, sindiran, khusyuk, dan lain-lain (Waluyo, 2002:37). Nada dan
suasana yang muncul dalam puisi kontemporer beragam. Kita akan banyak menjumpai
nada sinis, khusyuk dan main-main/ masa bodoh dalam puisi kontemporer ini.
Sebagai contoh,
Tentang Tuhan II
Ada langit membentang
Di setiap mimpi kita. Dalam sendiri
Berdiri dengan asing dan ruang kosong
Memusar
tanya. Dari mana kita
ini ?
Kita pula dan tak tahu
Asal kita dan kapankah
Kita tiba dan kapankah
Kita tiada dan buat
apa
Kita ada di sini
Lahir
pada bumi
Yang
sunyi api
Dalam cuaca api
Berkabut
dan
Asing, di langit
Sosok remang-remang
Siapakah dia?
Ularkah dia?
Kata-kata kah?
Suara-suarakah ?
Siapa yangkah?
:Yang Siapa ?
(B.Priyono, Tentang Tuhan II)
Puisi di atas bernada khusyuk, penyair berbicara
tentang tuhan dan hakikat manusia. Dari mana manusia berasal dan siapa tuhan
itu sebenarnya. Dengan apresiasi yang sungguh-sungguh, pembaca akan merasakan
suasana yang dimunculkan puisi di atas. Pengakuan manusia atas keberadaannya
dan tentang tuhan yang masih menjadi tanda tanya akan memunculkan suasana yang
penuh tanda tanya juga atau mengiyakan pernyataan yang diungkapkan penyair
dalam puisinya.
Perasaan Dalam Puisi
Puisi mengungkapkan
perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair akan dapat kita tangkap jika puisi
itu dibaca keras. Membaca puisi dengan suara yang keras dan penghayatan akan
memudahkan kita untuk menemukan perasaan penyair dalam puisinya. Perasaan yang
muncul dalam puisi dapat berupa perasaan yang gembira, sedih, terharu,
terasing, patah hati, menyesal dan lain-lain. Pada puisi “Tentang Tuhan II”
kita dapat merasakan keterasingan di dunia dan kebingungan manusia akan
jatidirinyadan tentang Tuhan yang menciptakan manusia. Pembaca yang menikmati
puisi kontemporer mungkin akan merasakan berbagai macam hal, antara lain
kebingungan karena tidak mengerti maksud kata-kata dalam puisi, perasaan jijik
karena kata-kata yang digunakan cenderung tabu dan kurang pantas diungkapkan,
dan mungkin muncul perasaan yang sesuai dengan maksud puisi.
Amanat dan Nilai Puisi
Amanat, pesan atau nasihat
merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Amanat
disimpulkan sendiri oleh pembaca dan cara mengambil amanat dari suatu puisi
berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap sesuatu. Walaupun ditentukan
oleh cara pandang pembaca, amanat tidak
bisa lepas dari tema yang disajikan oleh penyair (Waluyo, 2002:40).
HASIL APRESIASI PUISI
KONTEMPORER DENGAN PENDEKATAN
ANALITIK DAN ESTETIK
PAHLAWAN DAN SOK PAHLAWAN
Diapresiasi oleh Tedy Niko Jatmiko
yang
berjuang dulu
dan
mati dalam perang
memang
disebut pahlawan
(gambar
pejuang tanpa pamrih)
yang
berjuang dulu
tapi
hidup senang sekarang
ingin
juga disebut pahlawan
gambar
pejuang dengan pamrih
(Sylado,
2004:7)
Analisis puisi dengan pendekatan analitik
Puisi karya Remy Sylado di
atas menggunakan kata konkret. Imaji yang sering digunakan adalah imaji visual.
Bahasa kias yang ada dalam puisi tersebut meliputi sinekdoke yang ditunjukkan
pada kata pejuang yang mewakili para
pejuang yang gugur dalam perang, metafora karena membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dengan cara singkat yang ditunjukkan pada /gambar pejuang tanpa pamrih/, dan metonimia karena
menggunakan nama lain dalam menyebutkan sesuatu dengan nama ciri atau nama hal
yang ditautkan dengan orang atau barang sebagai penggantinya yang ditunjukkan
pada kata pahlawan yang menggantikan
kata pejuang. Sarana retorika yang terdapat pada puisi
"Pahlawan dan Sok Pahlawan" adalah antitesis yang dapat dibuktikan
adanya pertentangan dengan cara menggunakan kata-kata atau kelompok kata pada
bait pertama dengan bait kedua. Selain itu terdapat paralelisme yang
ditunjukkan dengan adanya pengulangan yang tetap pada bait pertama baris
pertama /yang berjuang dulu/ dan bait
kedua baris pertama /yang berjuang dulu/.
Puisi ini menggunakan rima bebas, persamaan bunyi
kata atau suku kata diletakkan secara bebas. Aliterasi puisi tersebut /yang berjuang dulu/ dan /tapi hidup senang sekarang/.
Dalam puisi tersebut ditemukan banyak asonansi, beberapa diantaranya adalah /dan mati dalam
perang/, /memang disebut pahlawan/,
dan /gambar pejuang
tanpa pamrih/. Puisi berbentuk bebas, karena penataan larik keluar dari aturan yang sudah
ditentukan.
Puisi ini mengangkat tema
tentang kekecewaan seseorang terhadap arti pahlawan. Puisi ini memberikan amanat agar seseorang
harus iklhas apabila ia melakukan sesuatu. Suasana dalam puisi tersebut adalah
kesedihan yaitu perasaan kecewa akuliris tentang makna pahlawan.
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
Puisi karya Remy Sylado
yang berjudul ”Pahlawan dan Sok Pahlawan" menggunakan kata-kata konkret
atau kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari sehingga mudah
dipahami isinya. Meskipun puisi tersebut tidak menggunakan diksi atau pilihan
kata konotasi, namun hal itu tidak mengurangi keindahan puisi tersebut karena
puisi tersebut telah didukung dengan adanya aliterasi dan asonansi sehingga
menciptakan suasana yang liris atau penuh perasaan.
Pada bait pertama
menceritakan tentang para pejuang yang telah gugur di medan perang yang
jasa-jasanya hanya menjadi kenangan, dengan pejuang yang masih hidup dan
jasa-jasanya mendapat imbalan berupa materi. Pada bait pertama menjelaskan tentang
arti pahlawan yang sesungguhnya, sedangkan pada bait yang kedua menceritakan
tentang seseorang yang hanya ingin dipuji karena jasa-jasanya. Puisi ini dapat
menjadi pedoman agar seseorang apabila melakukan sesuatu pekerjaan harus
iklhas. Puisi ini menjelaskan arti pahlawan secara jelas karena puisi ini
menggunakan kata-kata konkret sehingga pembaca memahami
tentang arti pahlawan.
TRAGEDI WINKA DAN
SIHKA
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Diapresiasi oleh Sriwijayanti
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
( Pradopo, 2005:293)
Analisis puisi dengan pendekatan analitik
Diksi yang digunakan dalam puisi di atas tidak
terlalu bervariasi. Penyair hanya menggunakan kata ”kawin”, ”kasih”, ”winka”,
”sihka”, dan ”Ku” untuk puisinya ini. Walaupun kata yang digunakan minimalis, puisi ini menyimpan banyak
makna. /kawin/ adalah konotasi dari
sebuah rumah tangga, sedangkan /kasih/ adalah
rasa kasih sayang dalam rumah tangga itu.
/kawin/ dapat juga dikatakan sebagai simbol suatu bangunan, yaitu bangunan
yang berpondasi atas sifat-sifat kemanusiaan yakni rumah tangga.
Penggunaan sarana pararelisme terlihat jelas pada
puisi ini, /kawin/ dan /kasih/ diulang-ulang, tak hanya itu
sarana inversi (pembalikkan susunan kata) /kawin/
dan /kasih/ menjadi /winka/ dan /sihka/ menjadi salah satu ciri khas puisi ini. Pengaturan larik
dan bait dibuat sedemikian rupa, jauh dari aturan perpuisian yang ada,
menciptakan kesan tersendiri saat melihat dan membaca puisi ini.
Amanat yang mungkin dapat kita tangkap dalam puisi
ini adalah sebuah rumah tangga hendaknya dijaga keharmonisannya.
Letupan-letupan kecil dalam rumah tangga termasuk hal yang wajar, namun jangan
sampai membiarkan masalah berlarut-larut. Antara suami dan istri harus ada rasa
saling percaya dan pengertian agar perpecahan dalam rumah tangga tidak terjadi.
Pemasrahan masalah pada Tuhan adalah jalan terakhir dan terbaik saat masalah tidak
dapat lagi diselesaikan oleh manusia.
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
Segi estetik atau keindahan puisi dapat kita amati
melalui tipografi maupun kata-kata yang digunakan. Telah dijelaskan di atas
bahwa segi estetik dari puisi kontemporer sebagian besar terletak pada
tipografi yang belum pernah ada pada periode-periode sebelumnya dan penggunaan
kata-kata yang menerobos keluar dari aturan yang ada.
Bentuk fisik atau tipografi puisi di atas dibuat
sedemikian rupa untuk memunculkan kesan visual dan estetik yang juga turut
membangun makna puisi. Tipografi yang berbentuk zigzag menyiratkan adanya
tragedi. Sebuah tragedi dalam bahtera perkawinan atau rumah tangga, yakni suatu
kegelisahan dalam perkawinan yang mengakibatkan perjalanan rumah tangga tidak
mulus lagi. Pembalikkan /kawin/ menjadi
/winka/ dan /kasih/ menjadi /sihka/ mengandung makna bahwa rumah tangga yang
diselimuti rasa cinta dan kasih sayang telah berubah menjadi suatu kebencian. /kawin/ pada awal puisi berjumlah lima
buah, hal ini menyiratkan pada periode atau waktu yang telah ditempuh, yaitu
lima tahun.
Pada periode berikutnya (pada baris ke-6) /kawin/ terpotong menjadi /ka/ dan /win/ yang menunjukkan bahwa
kebahagiaan itu terpotong-potong dan terjadi perpecahan antara suami dan
istri yang mungkin disebabkan oleh materi, ketidakpercayaan, ketidakpengertian
dan lain-lain. Pada baris ke-7, /kawin/
berjalan mundur. Hal ini mengandung makna bahwa rasa cinta dan kasih sayang
berjalan mundur, dari hari ke hari semakin mengecil. Pada baris ke-15, /kawin/ telah berubah menjadi /winka/ yang berarti perbedaan atau perselisihan dalam
rumah tangga telah terjadi dan sulit untuk disatukan, sehingga /kasih/ menjadi /sihka/ yang berarti kasih sayang telah beubah menjadi kebencian.
Pada baris ke-22 /kasih/ itu berjalan
mundur sampai akhirnya tinggal /sih/ yang
maksudnya rasa kasih itu benar-benar sugah lenyap. Pada akhir puisi, penyair
mengungkapkan bahwa semua itu (rumah tangga) menjadi kaku dan mati, tidak ada
lagi yang dapat disatukan. /Ku/ dimulai dengan huruf kapital untuk menunjukkan bahwa penyair
berpaling kepada Tuhan, yaitu menyerahkan permasalahan rumah tangga
kepadaNya dan lebih mendekatkan atau meleburkan diri pada Tuhan.
JADI
Diapresiasi oleh Rahmat Mahmudi
Tidak
setiap derita jadi luka
Tidak
setiap sepi jadi duri
Tidak
setiap tanya jadi ragu
Tidak
setiap jawab jadi sebab
Tidak
setiap seru jadi mau
Tidak
setiap tangan jadi pegang
Tidak
setiap kabar jadi tahu
Tidak
setiap luka jadi kaca
Memandang kau
Pada
wajahku.
(Soekono, tanpa tahun:673)
Analisis puisi
dengan pendekatan analitik
Dari puisi di atas dapat kita ketahui bahwa dari
segi bahasa (diksi) sebagian kata yang
membentuk puisi adalah kata konkret. Sedang imaji yang muncul dalam puisi di
atas adalah imaji visual, auiditif, dan taktil.
Dari segi bentuk, rima yang digunakan dalam puisi
tersebut tiap kalimat berbeda, pada dua
kalimat pertama berima a-a-b-b sedang kalimat ketiga dan keempat
a-b-a-a. kalimat kelima dan keenam kembali lagi berima a-a-b-b.
Dalam puisi “Jadi” terdapat beberapa aliterasi
(perulangan bunyi konsonan dan vokal) seperti //tidak setiap
derita jadi luka// jika kita perhatikan dalam
kalimat tersebut terdapat aliterasi konsonan /d-d/ dan /a-a/ dan vokal /a-a/
dan /i-i/. selain aliterasi kita juga mendapatkan asonansi yang berbeda di
setiap kalimat. Pada kalimat pertama //tidak setiap derita
jadi luka //
terdapat perulangan vokal /i/ dan /a/. Dapat kita bandingkan dengan
kalimat keenam //tidak setiap seru jadi mau//
yang menjadi penanda vocal /a/ dan /u/. Irama pada puisi terdapat pada setiap awal dari kalimat //tidak setiap…
jadi….//.
Dari struktur isi puisi “Jadi” dapat kita
simpulkan bertemakan Ketuhanan. Pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan kejadian yang pernah kita
lakukan, seperti //tidak setiap
derita jadi luka// pengarang ingin
menyadarkan pada pembaca bahwa sesuatu yang telah menimpa kita baik kejadian
yang buruk (membuat kita menderita) bukan
karena kebencian Tuhan terhadap kita (perbuatan), tapi itu adalah bentuk
dari rasa cinta Tuhan terhadap kita dengan memberi peringatan pada kita atas
kekeliruan kita. Di akhir puisi kalimat //memandang
kau pada, pada wajahku// Ini adalah inti dari puisi ini. Memandang kau menandakan bahwa dalam
diri pengarang terdapat perasaan
bersalah atau timbulnya kesadaran bahwa yang terjadi ini adalah sebuah bentuk
cinta kasih Tuhan terhadap diri kita
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
Pada puisi jadi pengarang
cukup cerdas untuk mangawali setiap larik dengan kalimat /tidak
setiap...jadi.../. dengan maksud pengarang ingin memeberi pada pembaca untuk
memilih kata yang selanjutnya, walupun pengarang telah memberikan kata yang ada
tetapi pembaca bebas untuk mengkombinasikan kata-kata yang ingin diucapkan atau
melanjutkan.
Pada bait pertama terdapat
jeda atau spasi yang memenggal larik itu jadi dua seperti /tidak setiap derita jadi luka/. Mungkin penyair ingin agar
sebelum kata jadi pembaca mencoba
memikirkan kata apa yang muncul setelah tidak
setiap...jadi... itu. Dan ini berlanjut sampai pada larik terakhir.
Pada bait kedua penyair
hanya mengubah kata pada bait pertama /derita/ dengan /sepi/ yang masih
mempunyai hubungan dengan kata pada larik pertama dan kata /luka/ diganti
dengan /duri/ dan ini terlihat sampai pada akhir puisi, penyair hanya mengubah
kata yang menandai puisi di atas.
Penggantian kata pada setiap larik ini membuat
puisi ini berbeda dari puisi lainnya dan hanya dari penggantian kata pada setiap larik puisi menimbulkan
makna yang berbeda.
Dari segi makna yang
terkandung dalam larik pertama penyair ingin memberitahukan bahwa yang terjadi
pada kita itu tidak selalu buruk mungkin ada makna yang tersembunyi yang
membuat kita menjadi lebih baik seperti dalam larik terakhir dari puisi
tersebut yang menyatakan bahwa penyair tidak bisa menganggap bahwa yang terjdi
ini adalah takdir kita yang telah ditentukan
pencipta. Dan ini bentuk rasa cinta pencipta kepada kita.
DI LANGIT OTAK KUDA SUKA HATI
Karya Remy Sylado
Diapresiasi oleh Rahmat Mahmudi
Langit
Tak berbatas
Langit-langit
Bagian
pembatas
Otak
Untuk
pikiran
Otak-otak
Untuk
santapan
Kuda
Kakinya
kekar
Kuda-kuda
Kaki
pendekar
Suka
Lahirkan
cinta
Suka-suka
Lahirkan
duka derita
Hati
Rasam
perasaan
Hati-hati
Rasam
kewaspadaan
Analisis puisi dengan pendekatan analitik
Pada puisi di atas dapat
kita ketahuai bahwa sebagian besar kata atau diksi yang menyusun adalah kata
konkret, sedang imajinasi yang muncul dalam puisi tersebut adalah imaji visual
dan taktil.
Penggunaan rima dalam
pusisi di atas bersifat bebas, ini dapat kita lihat pada bait pertama berima
a-b-a-b, sedang dalam bait kedua dan seterusnya berima a-a-a-a. Rima ini
menimbulkan banyak aliterasi dan asonansi yang muncul dalam puisi di atas. Pada bait pertama aliterasi yang muncul
konsonan /l-l/, /n-n/, /g-g/, /t-t/, dan vokal /a-a/, /u-u/. Pada bait kedua
muncul kedua aliterasi yang muncul seperti konsonan /t-t/ dan vokal /a-a/. Pada
bait ketiga terdapat aliterasi konsonan /k-k/ dan vokal /a-a/. Bait keempat
aliterasinya konsonan /s-s/ dan vokal /a-a/.
Penyair menggunakan judul
puisi seperti langit, otak, kuda, suka, hati sebagai pikiran utama dalam setiap
bait. Kemudian kata-kata ini direduplikasi dengan maksud sebagi pembanding dua
hal yang sangat berbeda.seperti pada bait pertama kata langit yang berarti
langit itu sendiri pada larik ketiga dibuat perulangannya menjadi langit-langit
berarti sebuah atap. Pada bait kedua kata otak yang berarti organ mahkluk hidup
untuk berfikir pada larik kedua menjadi otak-otak berarti sebuah nama makanan.
Sedang pada bait ketiga penyair menggunakan kata kuda yang berarti hewan kuda
pada larik ketiga menjadi kuda-kuda
berarti tumpuan, posisi. Pada bait keempat kata suka bermakna senang pada
sesuatu menjadi suka-suka pada larik ketiga mempunyai makna sesuatu yang
dikerjakan dengan bergantung perasaan. Pada bait kelima terdapat kata hati
bermakna organ mahkluk hidup menjadi hati-hati bermakna kata peringatan.
Dari keseluruhan isi puisi
di atas bertemakan kritik sosial dengan ditandai kata yang direduplikasi akan
membuat makna baru begitu juga dengan kita jika kita melakukan sesuatu jangan
setengah-setengah.
Anailis puisi dengan pendekatan estetik
Diksi atau pilihan
kata yang digunakan penyair dalam
membuat puisi ini sederhana, dengan mempergunakan judul puisi sebagai pokok
pikiran dari setiap bait puisi menjadikan puisi tersebut sangat mudah dipahami
pembaca. Ini tak lepas dari
tujuan penyair yang ingin menyampaikan maksud dari puisi tersebut.
Puisi di atas dibuat penyair untuk membandingkan
satu hal dengan hal yang lainnya. Hal yang dibandingkan tersebut merupakan yang
umum ada di sekitar kita, dengan membandingkan sesuatu yang bernilai dan
kemudian kata itu direduplikasi sehingga menimbulkan makna baru.
Hal ini dapat dilihat pada
bait kedua kata otak kemudian menjadi otak-otak, otak yang merupakan anugerah
yang diberikan pada mahkluk hidup (manusia) harus kita syukuri dengan
mempergunkannya dengan baik atau hanya menjdi pelengkap organ saja seperti
hewan yang tidak menggunakan otaknya.
Pada bait ketiga dari
puisi ini kata yang digunakan adalah kuda berarti hewan jika kata itu
direduplikasi manjadi kuda-kuda yang berarti sebuah posisi dalam bela diri.
Pada bait terakhir puisi makna yang digunakan adalah hati yang bermakna organ
yang vital bagi makhluk hidup untuk menetralisir racun yang masuk dalam tubuh,
jika hati itu sakit atau rusak maka tubuh akan mudah terserang penyakit.
Demikian jika kata-kata itu direduplikasi menghasilkan makna seruan, pesan,
nasehat agar kita berhati-hati.
Dapat ditarik kesimpulan
secara umum bahwa penyair bermain perualangan kata atau reduplikasi kata dan
hasilnya muncul kata baru yang
berbeda makna.
Q
Diapresiasi oleh Rosalia D.R
! !
!
! !
! ! ! !
! !
!
! a
lif !
!
l
l a
l a m
! !
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iii ii ii iii ii ii ii ii ii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Analisis puisi dengan pendekatan analitik
Puisi di atas bisa
disingkat menjadi “Q : alif lam mim “. Jelaslah bahwa puisi ini mengutip salah
satu ayat dalam Al-Quran. Beberapa ayat dalam Al-Quran yang berupa huruf-huruf
hijaiyah tanpa harakat, misalnya : tho ha, la mim, shod, dll. Terjemahnya tidak
ada namun selalu ditulis tafsir hanya Tuhan yang tahu . Tipografi puisi
sebagaimana tertulis di atas sebagaimana pembacaan kalau qiraah. Meski kita
tidak memahami artinya namun huruf-huruf
tersebut dengan kata : i’lam (ketahuilah), alam (jagad raya), alama
(pembelajaran), dan alim (ilmu). Ayat ini terpampang jelas pada Al Baqarah ayat
pertama. Bila ditafsirkan maka kita hidup memang harus mempelajari jagad raya
ini sebagai ilmu, sebagai langkah awal sebagai makhluk bernama manusia.
Puisi
di atas menunjukkan bahwa Tuhan sengaja tidak memberitahukan maknanya secara
langsung. Tampaknya Tuhan memberi teka-teki pada manusia. Dalam hal ini Tuhan
hanya memberikan isyarat konsonan dasar dan kita yang memaknainya.
Analisis puisi dengan pendekatan estetik
Dalam puisi Q, penyair
mengungkapkan “alif, lam, mim” dengan bentuk grafis yang mirip sebuah bangunan
dimana /mim/ dijadikan dasar dan tanda /!/ begitu banyak. Hal ini diperkirakan
mengandung suatu ajakan/perintah yang harus
ditaati bahwa pembaca hendaknya mengkaji Al-Quran dengan mendalam.
PENUTUP
Puisi kontemporer merupakan puisi yang memiliki
ciri khas tersendiri. Puisi kontemporer memberi warna
tersendiri dalam perpuisian Indonesia setelah angkatan 45. Ditinjau dari bahasa
yang digunakan, puisi kontemporer cenderung memiliki ciri tersendiri, yaitu
adanya penggunaan kata-kata tabu dan bahasa asing atau daerah, juga penggunaan
kata-kata baru yang diciptakan oleh penyair yang secara linguistik tidak ada
artinya.
Dari segi bentuk pun, puisi kontemporer tidak
terlalu mementingkan rima maupun irama, namun cenderung mengutamakan tipografi
puisi. Melalui pendekatan objektif, yaitu pendekatan analitik dan estetik dapat
membantu kita untuk mengapresiasi puisi kontemporer ini. Pendekatan analitik
merupakan suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk memahami gagasan, figuratif,
mekanisme unsur-unsur kesusastraan (irama, larik, bait, fisik, gaya bahasa,
dll.) yang membangun puisi. Sedangkan pendekatan estetik merupakan suatu
pendekatan yang dimaksudkan untuk mengungkap keindahan karya sastra.
Estetika dalam karya sastra begitu penting
keberadaannya, karena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif
yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika yang dominan. Estetika dalam karya sastra dapat kita
lihat dari struktur bahasa yang digunakan, bentuknya, penyusunan alur,
konflik-konflik, humor, dan sebagainya. Melalui kedua pendekatan ini diharapkan dapat
memudahkan kita untuk mengapresiasi puisi, terutama puisi kontemporer.
DAFTAR RUJUKAN
Badudu, J.S. 1975. Sari Kesusatraan Indonesia 2. Bandung: Pustaka Prima.
Edraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra:
Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Widyatama.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Jakarta: Gadjah Mada
University Press.
Rani, Supratman Abdul. 1999. Intisari
Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Soekono, Wirdjono. tanpa tahun. Sastra
Indonesia Modern Abad Pertengahan.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan:
Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sylado, Remy. 2004. Puisi Mbeling.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan
Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
______________. 2002. Apresiasi Puisi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar