Latar Belakang Pemilihan Puisi Lama dan Pendekatan
Estetik
Indonesia merupakan negara yang memiliki
beragam warisan budaya. Tingkat kebudayaan tersebut menunjukkan tingkat
peradaban masyarakat pemiliknya. Hal ini disebabkan karena tingkat budaya
berbanding lurus dengan peradaban. Prof Koentjaraningrat membagi wujud budaya
dalam beberapa 7 items, diantaranya adalah kesenian. Karya sastra
Indonesia termasuk dalam items kesenian. Kesastraan di Indonesia tersebut
dibagi berdasarkan periode penulisannya. Tiap periode memiliki karakteristik
karya tersendiri.
Kesastraaan Indonesia lama merupakan
periode yang paling awal. Pada masa itu, sastra tidak hanya berkembang di
daerah-daerah tertentu di Indonesia sebagai titik pusatnya. Namun, keberadaan
sastra pada masa itu telah mempengaruhi perkembangan sastra di negara lain.
Puisi Melayu pernah juga mempengaruhi sastra dunia. Pada abad ke-19, sajak
berbaris 4 (pantun) dibawa ke dalam sastra Prancis oleh Victor Hugo, Th Gauher,
dan Lecontide Lisle (Aveling, 2002:117). Berdasarkan hal tersebut, tentunya
sastra Indonesia lama, terutama puisi, memiliki karakteristik yang unik dan
menarik. Meskipun
demikian, keberadaan sastra Indonesia lama, baik prosa maupun puisi, mulai
punah.
Kepunahan tersebut dapat dicegah dengan
mengapresiasinya. Karya sastra lama yang semakin menurun kuantitasnya adalah
puisi. Puisi-puisi lama memiliki ciri khas, keunikan, dan nilai estetis tersendiri,
diantaranya keindahan kata-kata, ritme, irama, dan unsur fisik lainnya. Apresiasi
puisi lama ini ditujukan untuk lebih mengenal sastra Indonesia lama sekaligus
melestarikannya.
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan
dalam mengapresiasi puisi. Pendekatan tersebut antara lain pendekatan mimetik,
pendekatan ekspresif, pendekatan objektif, dan pendekatan pragmatik. Pendekatan
tersebut digunakan untuk mempermudah memahami makna sebuah puisi.
Puisi lama lebih menitik-beratkan pada nilai-nilai
keindahan, antara lain bentuk, bunyi, diksi dan keterkaitan antar kalimat dalam
sebuah puisi lama tersebut. Unsur fisik pada puisi lama sangat menonjol
dibandingkan dengan puisi-puisi baru dan kontemporer. Oleh karena itu,
pendekatan obyektif-lah yang paling tepat digunakan dalam mengapresiasi
puisi-puisi lama. Pendekatan obyektif terdiri dari pendekatan analitik dan
pendekatan estetis. Berdasarkan uraian di atas, judul ”Keindahan Fisik dalam
Puisi Lama” dipilih untuk mewakili pembahasan berikut yang menitik-beratkan
pada apresiasi unsur fisik puisi lama.
Tujuan Penulisan Hasil
Apresiasi Puisi Lama
Dalam latar belakang telah dijelaskan alasan
pemilihan puisi lama dan pendekatan yang digunakan. Makalah ini disusun untuk
menindaklanjuti ketertarikan kami pada keindahan puisi lama. Secara umum, dengan mengapresiasi
puisi lama, maka kita akan lebih mengenal Sastra Indonesia Lama. Sedangkan
secara khusus kegiatan apresiasi puisi lama dengan menggunakan pendekatan
estetik dan analitik ini bertujuan untuk mengungkapkan sisi keindahan puisi
lama yang unik serta menggambarkan unsur intrinsik dan mengungkap makna dari
puisi lama sebagai cerminan kebudayaan masyarakat lama. Selain untuk melatih
dan meningkatkan kemampuan mengapresiasi, kita juga akan lebih menghargai
budaya, seni, dan sastra Indonesia.
Pengertian Pendekatan
Estetik dan Prosedur Kerja Apresiasi
Apa itu estetik? Tambajong (1981:113) mengatakan
bahwa estetik itu ilmu tentang filsafat keindahan. Soal keindahan adalah soal
hati masing-masing, dengan kata lain, keindahan adalah sesuatu yang nisbi.
Kajian estetika akan mengungkap keindahan karya.
Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui
eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang
optimal. Tetapi kajian estetika tidak hanya berhubungan dengan seni bahasa
saja, tetapi juga menyeluruh ke unsur-unsur pembangun karya sastra. Keindahan
karya sastra diharapkan mampu merebut hati pembaca. Melalui keindahan itu
pembaca akan memburu karya sastra dan menilainya lebih. Endraswara (2004:69)
mengatakan bahwa:
Sepintas,
penelitian estetik itu sekedar mengungkap masalah unsur pembentuk seni sastra
saja. Padahal, penelitian ini juga merupakan bagian dari strukturalisme murni.
Hanya saja jika penelitian strukturalisme murni menekankan aspek hubungan antar
unsur, penelitian estetik tidak demikian. Penelitian estetik hanya memfokuskan
pada aspek yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik.
Prosedur kerja apresiasi puisi lama dengan
pendekatan analitik dimulai dengan membaca puisi lama secara berulang-ulang,
kemudian kita pahami puisi lama tersebut. Selanjutnya kita menelaah struktur
fisik, isi, dan unsur-unsur pembangunnya untuk menghasilkan pembahasan puisi
secara lebih mendalam, kita mengidentifikasi diksi, pengimajian, majas, dan
sarana retorika dalam puisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat
mensintesiskan telaah kita itu dan mengambil hasil kesimpulan.
Prosedur kerja apresiasi puisi lama
menggunakan pendekatan estetik dimulai dengan membaca karya tersebut, lalu
menelaah struktur karya sastra secara umum, kita berusaha memahami karakteristik
puisi lama. Kemudian untuk melengkapi pemahaman secara global karya yang kita
telaah, maka kita bahas corak khas dan segi estetik yang menjadi ciri dari
zaman penyair itu berkarya, kata-kata dan ungkapan khas, juga zaman saat puisi
itu diciptakan. Setelah itu barulah diambil simpulan.
KARAKTERISTIK STRUKTUR PUISI
LAMA
Puisi lama berbeda dengan puisi baru. Hal itu
nyata sebab memang banyak perbedaannya, mulai dari bentuk, bahasa, dan isi
puisi lama berbeda dengan puisi baru. Perbedaan di antara keduanya berhubungan
dengan kebudayaan di sekelilingnya dan masyarakat tempat masing-masing
kebudayaan itu tumbuh. Puisi lama merupakan sebagian dari kebudayaan lama.
Jadi, kalau kita akan mengenali puisi lama, maka kita harus mengenal kebudayaan
dan masyarakat lama.
Puisi lama terdiri dari berbagai jenis, yaitu
mantra, pantun, syair, gurindam, karmina, talibun, dan seloka. Berikut ini akan
dijelaskan ciri masing-masing jenis puisi lama tersebut:
Mantra
Bentuk puisi yang paling tua adalah mantra. Di
dalam mantra tercermin hakikat sesungguhnya dari puisi, yakni bahwa
pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh penciptanya untuk
menimbulkan daya magis. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia.
Karena sifat sakralnya, mantra seringkali tidak boleh diucapkan oleh sembarang
orang. Hanya pawang yang berhak dan dianggap pantas mengucapkan mantra itu.
Pengucapannya pun harus disertai dengan upacara ritual, oleh karena itu mantra
tidak mudah ditemukan.
Ciri-ciri pokok dari mantra, yaitu:
a) Pemilihan
kata sangat seksama.
b) Bunyi-bunyi
diusahakan berulang-ulang untuk memperkuat daya sugesti.
c)
Banyak
dipergunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
d)
Jika
dibaca secara keras mantra menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis.
Contoh mantra:
Assalamualaikum,
Aku kirim salam kepada jin tanah,
Aku tahu asalmu,
Kau keluar dari air ketuban,
Bukan
aku melepas bala mustaka,
Sang
Kaka Sang kipat,
Melepas
bala mustaka.
Pantun
Pantun adalah puisi asli Indonesia. Hampir semua
daerah di Indonesia terdapat tradisi berpantun. Pantun adalah jenis puisi lama
yang terdiri atas empat baris, memiliki rima (persamaan bunyi) /abab/, dengan
baris pertama dan kedua merupakan sampiran dan baris ketiga dan keempat
merupakan isi.
Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna
kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu
kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain.pantun terdiri dari beberapa
dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu pantun muda-mudi(pantun berkasih-kasihan),
pantun tua(pantun nasihat, pantun agama), dan pantun anak-anak(pantun
teka-teki). Contoh pantun dari Minangkabau, Sumatera Barat:
Asam
kandih, asam galugua
Katigo
asam si riang-riang
Managih
maik di dalam kubua
Manganang
nasib indak sembahyang
Syair
Pantun selesai dalam
satu bait. Syair tidak selesai
dalam satu bait, karena syair biasanya untuk bercerita. Semua baris syair
mengandung isi, karena syair tidak bersampiran. Dalam kesusastraan Indonesia,
syair berarti puisi lama yang terdiri dari atas empat baris per bait, memiliki
rima /aaaa/. Contoh syair dari Riau:
Mengaji
Quran jikalau serta tamat
Mengaji
kitab moga-moga selamat
Supaya
lepas daripada bala kiamat
Dimasukkan
syurga tempat yang nikmat
Jikalu
kitab sudah dikaji
Berlayar
pula engkau naik haji
Perempuan
pun banyak yang sudi
Karena
engkau tahan mengaji
Gurindam
Gurindam adalah jenis puisi
lama yang terdiri dari dua baris, semuanya merupakan isi dan menunjukkan
hubungan sebab akibat. Gurindam mempunyai maksud untuk menyampaikan
pesan/nasihat dengan pendek.
Gurindam adalah bentuk puisi Melayu lama yang
terdiri dari dua larik (baris), mempunyai irama akhir yang sama dan merupakan
satu kesatuan yang utuh. Larik atau baris pertama berisikan semacam soal atau
perjanjian, sedangkan bait kedua adalah jawaban soal atau akibat dari
perjanjian tersebut. Contoh gurindam dari Riau:
Siapa memakai ilmu menyalah
Dunia akhirat takkan
semenggah
Siapa memakai ilmu menyalah
Alamat dirinya dimurkai
Allah
Siapa memakai ilmu menyalah
Badan hina tercampak tuah
Siapa memakai ilmu menyalah
Di dunia sengsara di akhirat
susah
Karmina
Karmina adalah sebuah bentuk
pantun yang terdiri dari dua baris; baris pertama
sampiran dan baris kedua isinya. Karmina disebut juga pantun kilat; mirip gurindam. Biasanya berisi curahan hati.
Ciri-ciri :
1. 2 baris per bait
2. sajak a a
3. 4-5 kata atau 8-12 suku kata per baris/larik.
1. 2 baris per bait
2. sajak a a
3. 4-5 kata atau 8-12 suku kata per baris/larik.
Talibun
Talibun adalah sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi lebih dari 4 baris ( mulai dari 6
baris hingga 20 baris). Separuh bagian atas merupakan sampiran, sedangkan
separuh di bawahnya merupakan isi atau maksud. Berirama abc-abc, abcd-abcd,
abcde-abcde, dan seterusnya.
Ciri-ciri Talibun adalah seperti
berikut:
a) Ia
merupakan sejenis puisi bebas
b)
Terdapat
beberapa baris dalam rangkap untuk menjelaskan pemerian
c)
Isinya
berdasarkan sesuatu perkara diceritakan secara terperinci
d)
Tiada
pembayang. Setiap rangkap dapat menjelaskan satu keseluruhan cerita
e)
Menggunakan
puisi lain (pantun/syair) dalam pembentukannya
f)
Gaya
bahasa yang luas dan lumrah (memberi penekanan kepada bahasa yang berirama
seperti pengulangan dll)
g) Berfungsi
untuk menjelaskan sesuatu perkara
h)
Merupakan
bahan penting dalam pengkaryaan cerita penglipur lara
Contoh Talibun:
Tengah malam sudah terlampau
Dinihari belum lagi nampak
Budak-budak dua kali jaga
Orang muda pulang bertandang
Orang tua berkalih tidur
Embun jantan rintik-rintik
Berbunyi kuang jauh ke tengah
Sering lanting riang di rimba
Melenguh lembu di padang
Sambut menguak kerbau di kandang
Berkokok mendung, Merak mengigal
Fajar sidik menyinsing naik
Kicak-kicau bunyi Murai
Taktibau melambung tinggi
Berkuku balam dihujung bendul
Terdengar puyuh panjang bunyi
Puntung sejengkal tinggal sejari
Itulah alamat hari nak siang
(Hikayat Malim Deman)
Dinihari belum lagi nampak
Budak-budak dua kali jaga
Orang muda pulang bertandang
Orang tua berkalih tidur
Embun jantan rintik-rintik
Berbunyi kuang jauh ke tengah
Sering lanting riang di rimba
Melenguh lembu di padang
Sambut menguak kerbau di kandang
Berkokok mendung, Merak mengigal
Fajar sidik menyinsing naik
Kicak-kicau bunyi Murai
Taktibau melambung tinggi
Berkuku balam dihujung bendul
Terdengar puyuh panjang bunyi
Puntung sejengkal tinggal sejari
Itulah alamat hari nak siang
(Hikayat Malim Deman)
Seloka
Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepetah maupun perumpamaan yang
mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris
memakai bentuk pantun atau syair, terkadang dapat juga ditemui seloka yang
ditulis lebih dari empat baris.
Ciri-ciri
seloka:
a) Tiap
bait terdiri atas empat larik.
b)
Tiap
larik terdiri atas 8-11 suku kata.
c) Bersajak
seperti syair /aaaa/.
d)
Hubungan
larik-lariknya seperti pantun.
Contoh seloka 4 baris:
Sudah
bertemu kasih sayang
Duduk
terkurung malam siang
Hingga
setapak tiada renggang
Tulang
sendi habis berguncang
Karakteristik Bentuk
Jika kita bandingkan masyarakat lama dengan
masyarakat modern, maka akan tampak perbedaannya. Masyarakat lama mempunyai
persatuan yang lebih rapat dan padu, tidak terpecah belah seperti masyarakat
modern. Tentu dalam masyarakat yang bersatu padu seperti itu ada tali pengikat
yang mengikat anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain,
ada aturan yang kukuh yang mengatur hubungan antar anggota masyarakatnya.
Aturan yang mengikat anggota masyarakat tersebut dalam satu ikatan yang kukuh
adalah adat.
Puisi lama mempunyai aturan atau ikatan yang kuat
pula layaknya masyarakat lama dalam hal bentuk. Puisi lama biasanya berbentuk
bait, jumlah baris tiap bait dan jumlah kata dalam tiap baris juga ditentukan.
Namun, secara umum puisi lama atau baris dalam tiap bait puisi lama tergolong
pendek atau singkat. Selain itu, baris-baris tersebut juga terikat oleh rima
tertentu. Sebagai contoh adalah pantun berikut ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi
teduh
Hati dendam bertambah
dendam
Dendam dahulu belum
lagi sembuh
Pantun tersebut mempunyai bentuk yang terdiri dari empat baris tiap
bait, baris pertama dan kedua merupakan sampiran sedangkan baris ketiga dan
keempat adalah isi. Tiap baris terdiri dari 4-6 kata atau 8-12 suku kata.
Demikian pula dengan jenis puisi lama yang lain, yaitu pada karmina, talibun,
gurindam, seloka, dan syair. Masing-masing jenis puisi lama tersebut juga memiliki aturan bentuk yang
mengikat. Hanya saja pada syair seluruhnya merupakan isi.
Pada mantra , bentuknya lebih bebas, tidak terikat
oleh jumlah bait, baris, maupun kata pada tiap baris. Contohnya adalah
penggalan mantra Siawang Lebih berikut ini:
Setentang dua tentang,
Sebimbar dua bimbar, Siapa menentang siapa kasih, Siapa menentang siapa gila,
Gila raja, gila menteri, gila dengan sebalai dirinya.
Meskipun mantra tersebut tidak terikat bentuknya, namun mantra tersebut
tetap terikat oleh aturan pemilihan kata dan kekhasan bunyi. Dalam mantra
tersebut terdapat istilah atau kata yang kurang umum seperti setentang dan sebimbar. Jika kata tersebut dipaksa diganti dengan kata lain maka
mantra tersebut akan berkurang daya sugestinya.
Rima dan Irama
Karena
begitu pentingnya kata-kata dalam puisi lama, maka bunyi kata juga
dipertimbangkan secara cermat. Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan irama.
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas. Dengan
pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Dengan cara ini
pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi (Waluyo, 1987:90). Karena pemilihan kata-kata mempertimbangkan
berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah dipilih bersifat absolut. Jika
kata itu diganti akan mengganggu komposisi dengan kata lainnya dalam konstruksi
keseluruhan puisi.
Dalam irama terjadi pemotongan-pemotongan baris
menjadi frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi
itu. Dalam puisi lama jelas sekali
pemotongan garis puisi menjadi dua frasa merupakan teknik pembentukn irama yang
padu, namun teknik tersebut bersifat statis. Contohnya pada pantun berikut:
Kalau puan ,/ puan tjerana,
Ambil gelas / di dalam peti
Kalau tuan / bidjak laksana,
Binatang apa / tanduk di kaki?
Pantun tersebut mempunyai rima a-b-a-b. Jika diamati, maka pada tiap baris
pantun tersebut terdiri dari dua frasa.
Pada baris pertama, frasa yang pertama adalah /kalau puan/, sedangkan yang kedua adalah /puan tjerana/. Pemotongan baris puisi tersebut menjadi dua frasa
menimbulkan irama yang indah saat dibaca.
Aliterasi dan asonansi
Aliterasi
adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya
pada awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan
kesan keindahan bunyi. Sedangkan asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan
yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan seperti ini menimbulkan
kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Dalam puisi lama
ditemukan beberapa aliterasi dan asonansi. Contohnya pada pantun berikut:
Buah budi bedara mengkal,
Masak sebidji ditepi pantai;
Hilang budi bitjara
akal,
Buah apa tidak bertangkai?
Pada pantun tersebut terdapat pengulangan vokal /u/ dan /e/ pada baris
pertama. Sedangkan
pengulangan konsonan /b/ ditemukan pada baris pertama dan ketiga.
Paralelisme
Paralelisme adalah pengulangan kata. Dalam
puisi lama ditemukan beberapa pengulangan kata, salah satunya pada mantra
Dirasuk Polong di bawah ini:
Long dalam long
Aku
menawar si raja polong
Polong ditawar polong mati
Polong tak polong ti
Pihat patah
perendah patah
Batah sekalian batang bertuan
Aku menawar
doa tiga patah
Menawar hantu orang
Ting si kiting
Pada mantra tersebut terdapat pengulangan kata /long/, /polong/, /menawar/, dan /patah/.
Karakteristik Bahasa
Bahasa puisi bersifat khas. Sesuai dengan bahasa
yang digunakan oleh masyarakat lama, maka puisi lama kebanyakan menggunakan
dialek bahasa Melayu atau bahasa daerah tempat puisi lama tersebut berkembang.
Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata dalam puisi
(Waluyo, 1987:72). Dalam puisi lama, penyair memilih kata-kata yang disesuaikan
dengan tuntutan estetis. Karena bentuk puisi lama biasanya singkat, maka
penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis
harus mempertimbangkan komposisi bunyi dalam rima atau irama dan dipertimbangkan
maknanya agar pesan yang terkandung pada puisi lama tersampaikan dalam kalimat
yang pendek tersebut. Di samping memilih kata yang tepat, penyair juga
mempertimbangkan urutan kata, dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata
tersebut. Karena ketepatan pilihan dan ketepatan penempatannya, maka kata-kata
itu seolah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kapada pembaca. Contohnya
seperti pada mantra di bawah ini:
Niku mejong di lattai
Nyak mejong di
keresi
Rupamu gegod bakkai
Nyak gegoh bidadari
Pilihan kata yang digunakan dalam mantra tersebut tidak bisa diganti
karena akan merusak rima dan irama serta mengurangi daya sugesti mantra
tersebut.
Denotasi sebuah
kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal
yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan atau diceritakan (Altenbernd dalam
Pradopo, 1987:58), sedangkan kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul
dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi (Altenbernd dalam Pradopo,
1987:59).
Dalam puisi lama lebih banyak
digunakan kata denotasi daripada kata konotasi, meskipun ditemukan beberpa kata
konotasi. Hal itu mungkin merupakan cerminan kesederhanaan kehidupan masyarakat
lama. Contoh kata denotasi dan konotasi terdapat pada penggalan syair dari Riau
berikut ini:
...Jikalah diperbuat
demikian itu
Nyatalah kamu setan dan hantu
Hargamu tiada sereal
batu
Tiadalah harus dibuat menantu...
Pada syair tersebut terdapat kata konkret, yaitu setan, hantu, dan menantu.
Dalam syair tersebut juga dijumpai kata konotasi yaitu sereal batuyang makna sesungguhnya adalah tidak berharga.
Imaji
Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Siswanto, 2008:118) .
Imaji dapat dibagi menjadi tiga: imaji suara (auditif), imaji penglihatan
(imaji visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil).
Menurut Waluyo (1987:78) imaji visual adalah benda yang tampak. Pada puisi lama terdapat
banyak imaji visual, misalnya pada karmina berikut:
Gendang gendut tali kecapi
Kenyang
perut senanglah hati
Imaji auditori
berpusat pada pendengaran. Imaji ini juga banyak terdapat pada puisi lama,
contohnya pada penggalan syair di bawah ini:
...Sepoi-sepoi angin
Selatan,
Berkokoklah ramai
ayam di hutan,
Dengan merak bersahut-sahutan,
Seperti mengelu-elukan
anak sultan...
Imaji taktil
(perasaan) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu memengaruhi
perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya (Waluyo, 2005:11). Imaji taktil juga ditemukan pada puisi
lama, antara lain pada karmina berikut:
Pinggan tak
retak, nasi tak dingin
Tuan tak hendak,
kami tak ingin
Bahasa Kias
Waluyo (1987:87) mengatakan bahwa bahasa kias dalam puisi dapat membuat
puisi lebih menarik. Hal itu berarti bahasa kias menambah nilai estetik sebuah
puisi.
Simile
merupakan bahasa kias yang paling banyak digunakan pada syair. Misalnya saja
pada penggalan syair Bidasari Lahir berikut:
...Anaknja puteri
puspa warna,
Eloknja bagai
anak-anakan kentjana,
Laksana
bunga tjempaka warna
Maka digubah sebuah rana...
Personifikasi yaitu
mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat,
berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 1987:75). Contonya pada
gurindam berikut ini:
Isteri tjantik permainan
mata
Isteri budiman tadjuk
mahkota
Depersonifikasi adalah
kebalikan dari personifikasi. Contohnya terdapat dalam pantun di bawah ini:
Kalau tuan pergi ke laut,
Tjarilah sahaja ketam betina.
Kalau tuan mendjadi
rambut,
Sahaja mendjadi bunga
China.
Metafora adalah
bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata
pemabanding, seperti bagai, laksana, seperti dan sebagainya. Metafora itu
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Pradopo, 1987:66). Contoh metafora
terdapat dalam syair berikut:
...wahai
Ananda intan pilihan
Sifat tnggung jawab engkau
amalkan
Berani mencencang terpotong
tangan
Berani berhutang tumbuhlah
beban...
Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran
(Altenbernd dalam Pradopo, 1987:93).
Hiperbola ialah gaya
bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan baik jumlah, ukuran,
ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan, memperhebat, meningkatkan kesan
dan pengaruhnya. Contohnya pada penggalan syair berikut:
Tengah malam pungguk
terdjaga,
Melihat bintang pujuh laga.
Bintang belantik beratur
tiga,
tjahajanja terang tidak
terhingga.
Antiklimaks adalah
gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berturut-turut, dengan tingkatan yang
makin melemah. Misal pada mantra berikut:
Ho...hu...manahu...hun...manahun...
Yang jahat jadi abu yang
kuat jadi teman.
Siapa yang nilat dengki
padaku
Ditahan Allah, ditahan
Muhammad,
Berkata laa illaha illallah.
Ironi ialah gaya
bahasa yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang
sebenarnya. Misalnya pada seloka berikut ini:
Baik budi emak si Randang
Dagang lalu ditanakkan
Tiada berkayu rumah
diruntuhkan
Anak pulang kelaparan
Anak dipangku diletakkan
Kera dihutan disusui
Emak si Randang disindir baik budinya karena anaknya yang kelaparan
diabaikan dan malah menyusui kera di hutan. Seharusnya emak si Randang menyusui
anaknya yang kelaparan, bukannya menyusui kera di hutan.
Karakteristik Isi
Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh
penyair melalui puisinya (Waluyo, 2005:17). Puisi lama biasanya berisi nasihat
yang temanya diambil dari aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang agama
atau kepercayaan terhadap dunia gaib, ada juga yang menceritakan suatu kisah.
Sebagian besar puisi lama bersifat istana sentris. Hal itu ditunjukkan pada
penggalan syair berikut:
...Bertitah pula baginda
sultan,
”Esok hari istana hiaskan,
Adinda jangan berlambatan,
Kerja nin hendak kakanda
segerakan.”...
Syair tersebut menceritakan tentang seorang sultan yang memberi teguran
kepada permaisurinya untuk ikut membantu menghias istana karena akan diadakan
sebuah acara.
Nada dan suasana
Nada merupakan ungkapan sikap penyair terhadap pembaca (Waluyo, 2005:37). Dalam
menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca apakah itu
menggurui, menasihati, mengejek, menyindir atau bersifat lugas. Puisi lama kebanyakan
mempunyai nada puisi yang bersifat menasihati (seperti contoh gurindam di atas),
namun ada pula yang mengejek dan menyindir. Ini disebabkan oleh masyarakat lama
yang menjunjung tinggi agama, adat, dan norma sehingga mereka cukup peka
terhadap pelanggaran yang menyangkut hal-hal tersebut dan berusaha mencegahnya
dengan membuat puisi berisi nasihat. Salah satunya pada pantun dari Totoli,
Sulawesi Utara berikut ini yang berisi nasihat agar orang selalu berbuat baik:
I sadang ilaeng bona (demi daun bona)
Bobo poguro pononga (Dek belajar dan bertanyalah)
Dunia kode sandon (dunia hanya pinjaman)
Akhirat tolotolona (akhirat juga yang sesungguhnya)
Perasaan dalam Puisi
Perasaan pada puisi lama bergantung pada fungsi dan tema yang dikandungnya.
Puisi lama berfungsi sebagai penyampai pesan, selain itu secara sosial puisi
lama memiliki fungsi pergaulan yang kuat. Misalnya pada pantun muda-mudi yang
bertemakan cinta atau berkasih-kasihan dan digunakan dalam pergaulan, biasanya
mengandung perasaan senang (jatuh cinta) atau perasaan sedih(patah hati).
Sedangkan pada pantun tua terkandung perasaan wanti-wanti dan serius. Contohnya
pada syair berikut ini yang menasihati para perempuan agar taat kepada suaminya
dan berhati-hati jangan sampai melawan atau mendurhakai:
Demikian lagi wahai perempuan
Taatlah kepada suamimu Tuan
Jangan mendurhaka
jangan melawan
Jadikan
dirimu bersifat setiawan
Amanat
Amanat adalah pesan atau nasihat yang merupakan kesan yang ditangkap oleh
pembaca setelah membaca puisi (Waluyo, 2005:40). Amanat yang hendak disampaikan
oleh penyair dapat ditelaah setelah memahami tema, rasa, dan nada puisi itu
sebab amanat tersebut tersirat di balik kata-kata yang disusun dan juga berada
di balik tema puisi.
Puisi lama mengandung nilai-nilai luhur yang
penting dan bermanfaat. Dalam puisi lama terkandung nilai-nilai luhur yang
berkaitan dengan agama, budaya, dan norma sosial yang dianut masyarakatnya.
Karena nilai itu bertalian dengan kehidupan manusia yang merupakan makhluk
sosial, maka nilai-nilai dalam puisi lama tersebut dapat dikelompokkan menjadi
lima, yaitu berdasarkan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan masyarakat,
hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia denagn diri sendiri, dan
hubungan manusia dengan lingkungannya. Misalnya seperti pada penggalan Gurindam Dua
Belas pasal dua karya Raja Ali Haji berikut ini:
Barang siapa mengenal yang tersebut
tahulah ia makna takut...
tahulah ia makna takut...
Gurindam tersebut berisi nasihat bertema agama dan merupakan gambaran
hubungan manusia dengan Tuhannya. Amanat yang hendak disampaikan oleh Gurindam
tersebut adalah /barang siapa mengenal yang tersebut/, yaitu Allah, maka
dia akan mempunyai rasa takut jika melanggar larangan Allah.
HASIL APRESIASI PUISI LAMA DENGAN
PENDEKATAN ESTETIK
Analisis Struktur Fisik Mantera “Pengusir Hantu”
(1) Assalamualaikum anak cucu hantu
pemburu
Imaji
auditori, imaji visual, kata konkret
(2) Yang diam di rimba
sekampung
Imaji
visual, kata konkret
(3) Yang duduk di ceruh
banir
Imaji
visual, kata konkret
(4) Yang bersandar
di pinang burung
Imaji
visual, kata konkret
(5) Yang berteduh di
bawah tukas
Imaji
visual, kata konkret
(6) Yang berbulukan
daun resam
Imaji
visual, imaji taktil, kata konkret
(7) Yang bertilamkan
daun lirik
Imaji
visual, kata konkret
(8) Yang berbuai di
medan jelawai
Imaji
visual, kata konkret
(9) Tali buaya semambu tunggal
Imaji
visual, kata konkret
(10) Kurnia Tengku Sultan Berimbangan
Imaji
visual, kata konkret
(11) Yang diam di Pagaruyung
Imaji
visual, kata konkret
(12) Rumah bertiang terus
jelatang
Imaji
visual, kata konkret
(13) Rumah berbendul
bayang-bayang
Imaji
visual, kata konkret
(14) Bertaburkan batang purut-purut
Imaji
visual, kata konkret
(15) Yang berbulu roma
sungsang
Imaji
visual, imaji taktil, kata konkret
(16) Yang menaruh jala lalat
Imaji
visual, kata konkret
(17) Yang bergendang kulit
tuma
Imaji
visual, kata konkret
(18) Janganlah engkau mungkir setia padaku
Imaji
visual, kata konkret
(19) Matilah engkau didaulat empat penjuru
alam
Imaji
visual, kata konkret
(20) Mati ditimpa malaikat
yang empat puluh empat
Imaji
visual, kata konkret
(21) Mati ditimpa tiang Ka’bah
Imaji visual,
kata konkret
(22) Mati disula besi kawi
Imaji
visual, kata konkret
(23) Mati dipanah halilintar
Imaji
visual, kata konkret
(24) Mati disambar kilat senja
Imaji
visual, kata konkret
(25) Mati ditimpa
Qur’an tiga puluh juz
Imaji
visual, kata konkret
(26) Mati ditimpa kalimah
Imaji
visual, kata konkret
Mantra merupakan bentuk puisi lama tertua di
Indonesia. Mantra berkembang pesat di daerah-daerah Indonesia dan dalam
perkembangannya, budaya mantra berakulturasi dengan agama yang masuk ke Indonesia.
Pada mulanya, mantra berhubungan erat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme
masyarakat pemilik. Mantra di atas merupakan salah satu contoh mantra dari
Melayu yang telah berakulturasi dengan agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan
penggunaan salam khas Islam pada baris
pertama (1) dan penggunaan diksi khusus yang berhubungan erat dengan Islam,
seperti Ka’bah, Qur’an, dan kalimah.
Akan tetapi, tidak semua mantra Melayu mengandung
sapaan sebagai pembuka sebagaimana pada contoh di atas. Sebagian besar mantra
Melayu dibuka dengan bismillahirrahmanirrahim
dan diakhiri dengan lailahailallah.
Demikian pula dengan mantra dari Kalimantan dan Jawa yang telah terpengaruh
oleh agama Islam.
Mantra merupakan bentuk puisi bebas, artinya
mantra tidak terikat dengan jumlah bait, baris, maupun persamaan rima
sebagaimana bentuk puisi lama lainnya, seperti pantun dan gurindam. Hal ini
dibuktikan dengan contoh mantra Melayu di atas. Struktur fisik mantra tersebut
sama dengan bentuk puisi bebas. Rima mantra di atas adalah
u-u-i-u-a-a-i-i-a-a-u-a-a-u-a-a-a-u-a-a-a-i-a-a-u-a. namun, bukan berarti bahwa
mantra tidak diperkenankan dalam bentuk terikat sebagaimana pantun. Mantra-mantra yang lain pun ada yang
berbentuk kalimat, pantun, gurindam dan syair.
Meskipun, mantra merupakan bentuk yang bebas,
namun pada hakekatnya mantra merupakan bentuk tertutup. Hal ini dikarenakan,
mantra tidak dapat diubah, baik susunan kata maupun cara membacanya serta tata
cara fisik lain yang menyertai pengucapannya. Tata cara yang demikian ketat itu
merupakan warisan ahli mantra di masa lampau. Hal yang paling utama sebagai ciri
khas mantra adalah kekhasan bunyi. Permainan keindahan bunyi adalah ciri khas
utama yang sengaja digunakan untuk menghadirkan suasana magis dalam
pembacaannya. Bunyi-bunyi ini sudah paten dan mutlak, sehingga tak dapat
diubah. Hal ini dapat dilihat pada mantra Melayu pengusir hantu di atas yang
banyak menggunakan majas repetisi (dicetak miring), terutama paralelisme
anafora (pengulangan pada awal kalimat). Selain itu, terdapat pengulangan
imbuhan antar baris (imbuhan dicetak miring) dan pengulangan struktur kalimat
antar baris, seperti pada baris kedua hingga kedelapan yang berstruktur S
(Subyek-- S-P-K dan Subyek—S-P-Pel).
Majas lainnya ialah majas tautologi (25). Kata-kata
“tiga puluh juz” sebagai salah satu ciri khas Alqur’an yang tidak dimiliki oleh
kitab lain, bersifat memberikan penegasan pada kata “Qur’an”. Namun, ada pula
diksi yang sebenarnya memerlukan kata penjelas, namun kata penjelas tersebut
justru tidak digunakan (pemadatan bahasa), yaitu pada baris terakhir. Kata
”kalimah” (26) sebagai diksi yang sebenarnya memerlukan kata penjelas, misalnya
kalimah Lailahailallah. Namun, hal tersebut tidaklah menjadi persoalan yang
rumit, sebab tanpa kata penjelas, para pemeluk agama Islam sudah paham.
Apalagi, mayoritas pengguna mantra ini adalah pemeluk Islam. Tentunya, hal ini
akan menyulitkan orang yang tidak mengenal karakteristik “kalimah” tersebut.
Bahasa dipadatkan agar berkekuatan gaib (Waluyo, 2005:2). Hal ini sesuai dengan
fungsi perulangan untuk menimbulkan suasana tertentu (magis). Penggunaan majas
juga terdapat pada mantra lainnya, terutama majas perulangan. Pengulangan kata
atau majas repetisi merupakan ciri khas utama pula dari mantra. Apalagi, hampir
seluruh mantra dibacakan dengan cara dilagukan, tentu unsur bunyi sangatlah
mendukung keindahan pembacaannya.
Dalam puisi, banyak digunakan lambang yaitu
pengganti suatu hal/benda dengan hal/benda lain. Dalam mantra di atas,
kata-kata “empat penjuru alam” (14) merupakan perlambangan dari arah barat,
timur, utara, dan selatan. Penggunaan “Tengku Sultan Berimbangan” (10)
merupakan perlambang atas kekuatan yang diharapkan akan mampu membuat hantu “keder”.
Tengku Sultan Berimbangan dikenal sebagai orang yang sakti. Hal ini berlaku
pula pada mantra-mantra lainnya, seperti Dewi Sri yang merupakan perlambang
kesuburan padi. Unsur arkaik tidak ditemukan dalam mantra di atas, namun pada
mantra-mantra lain banyak ditemukan arkaik dan onomatope.
Sebagaimana pada bentuk puisi lainnya, mantra juga
memiliki kata konkret dan kata imaji. Perulangan pertama pada mantra Melayu di
atas merupakan perluasan yang merujuk pada bentuk konkret “hantu”. Imaji yang terdapat pada mantra tersebut
adalah imaji visual saja, seperti “Rumah bertiang…”, “rumah berbendul
bayang-bayang”, dan “bertaburkan batang purut-purut”. Hal ini membuktikan,
bahwa meskipun mantra sangat memperhatikan keindahan irama, namun tidak selalu
menggunakan kata-kata imaji auditif.
Struktur isi mantra (tema, nada, amanat, nilai,
dan sebagainya) berkaitan dengan fungsi mantra. Misalnya pada mantra pengusir
hantu di atas, tema mantra tersebut adalah ancaman atau perintah pada makhluk
halus agar menyingkir dan tidak mengganggu. Penyair ingin menyampaikan ancaman
agar makhluk halus tersebut menyingkir. Suasana kejiwaan yang dominan pada
mantra tersebut adalah semangat menggertak oleh penyair. Adapun perasaan dalam
mantra adalah emosi kuat yaitu ancaman. Amanat sebagai pesan yang direfleksikan
dari tema, nada dan perasaan adalah hendaknya para makhluk halus menyingkir dan
tidak mengganggu jalannya penyair agar tak kena hukuman alam. Nilai yang terasa
kuat dalam mantra tersebut adalah nilai kepercayaan (magis), bahwa manusia
adalah penguasa alam dan merupakan pemimpin di bumi (khalifah) yang dapat
mengendalikan makhluk halus. Uraian di atas semakin memperjelas bahwa struktur
isi mantra sangat berkaitan erat dengan tujuan/fungsi mantra. Tujuan atau
fungsi tersebut sangat beragam dan berbeda-beda pada tiap daerah. Uraian di
atas juga semakin mempertegas bahwa struktur fisik mantra sebagai salah satu
jenis puisi lama sangatlah indah, terutama unsur bunyi yang merdu (efoni)
Hasil
Apresiasi Puisi Lama: Pantun “Berani Kulanggar Lautan Api”
Berani
Kulanggar Lautan Api
(1) Ditenun kain dengan kapas,
Imaji visual, kata konkret
(2) bermatjam-matjam warna ragi
Imaji visual, kata konkret
(3) Perahu lilin lajar kertas,
Imaji visual, kata konkret
(4) berani kulanggar lautan api
Imaji visual, kata konkret
(5) Tjik Daud berketam padi
Imaji visual, kata konkret
(6) Sambil petik bunga pudak
Imaji visual, imaji taktil, kata konkret
(7) Tuan pergi ke laut api,
Imaji visual, kata konkret
(8) Biar hangus kuturut djuga
Imaji taktil, kata konkret
(9) Kedondong batang sumpitan,
Imaji visual, kata konkret
(10) Batang padi sahaja lurutkan
Imaji visual, imaji taktil, kata konkret
(11) Tudjuh gunung sembilan lautan
Imaji visual, kata konkret
(12) Kalau tak mati sahaja turutkan
imaji taktil, kata konkret
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang
memiliki persyaratan-persyaratan tertentu. Oleh karenanya, pantun digolongkan
dalam jenis puisi terikat. Keterikatan tersebut tampak pada topografinya.
Pantun di atas terdiri atas 3 bait yang masing-masing bait terdiri atas 4
baris. Baris pertama dan kedua pada tiap bait disebut sampiran, sedangkan baris
ketiga dan keempat pada tiap bait disebut isi. Prasyarat kedua adalah persamaan
rima. Dalam penulisan pantun, persamaan rima haruslah diperhatikan. Rima pada pantun selalu berpola [a]-[b]-[a]-[b].
Hal ini dapat dilihat pada pantun di atas. Bait pertama berima [a]-[i]-[a]-[i],
bait kedua berima [i]-[a]-[i]-[a], bait ketiga
berima [a]-[a]-[a]-[a]. Meskipun
bait ketiga berakhiran huruf vokal [a], namun suku kata pada tiap baris
membentuk pola rima [a]-[b]-[a]-[b], yaitu tan-kan-tan-kan. Penulis menuliskan pantun ini
dengan teknik penulisan pantun lama, yaitu penulisan dengan ejaan lama seperti:
nj, dj, ej, oe, eo, j, dan lain sebagainya.
Diksi yang digunakan dalam pantun
tersebut merupakan diksi yang masih terkait erat dengan bahasa melayu sebagai
bahasa ibu dari bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kalimat (5), (8),
(10), dan (12). Kata ”ketam” pada baris kelima merupakan kosa kata dari bahasa
Melayu yang penggunaannya tidak meluas dalam bahasa Indonesia. Demikian pula dengan kata ”sahaja” pada
baris kesepuluh dan kedua belas. Kata-kata ”kuturut djuga” pada baris kedelapan
memang bukan kata-kata khusus, namun pola induk kata (DM/MD) berbeda dengan
bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, maka kata-kata tersebut akan
dituliskan terbalik yaitu, ”juga ku turut”. Kata ”turut” pun jarang digunakan
dalam komunikasi sehari-hari, baik lisan maupun tulis. Kata ”ikut” akan lebih
dipilih untuk digunakan dari pada kata ”turut”.
Pantun “Berani Kulanggar Lautan Api” merupakan
salah satu puisi Melayu yang kaya akan kosakata khas Melayu, seperti sapaan Cik
(Tjik), turut (dalam bahasa Indonesia:ikut), dan sahaja (dalam bahasa
Indonesia:saya). Sebagaimana pantun lainnya, pantun tersebut juga mengandung
perulangan bunyi, diantaranya asonansi (sambil petik bunga pudak). Rima
per akhir kata, i-i-a-a, telah menciptakan keindahan bunyi tersendiri. Penyair
menggunakan bunga pudak, bukan bunga pandan agar tercipta
keindahan bunyi tersendiri, meskipun bunga pudak dan bunga pandan adalah sama
(merupakan tumbuhan yang sama). Demi keindahan bunyi tersebut, bagian sampiran
tak lagi mengindahkan isi, seperti kedondong batang sumpitan/batang padi
sahaja turutkan. Baris sampiran tersebut tidak mengisyaratkan makna apapun.
Penggunaan kata sumpitan dan turutkan hanya untuk memenuhi
keindahan bunyi sampiran (sesuai dengan syarat penulisan pantun dalam hal rima,
yaitu a-b-a-b)
Pantun yang berjudul “Berani Kulanggar Lautan
Api” ini mempunyai tiga bait yang saling berkaitan antara bait pertama
dengan bait kedua, bait pertama dengan bait ketiga, dan bait kedua dengan bait
ketiga. Pada bait pertama terdapat artian “berani menghadapi marabahaya atau
kesulitan dan/atau hadangan atau hambatan yang ada di depan” maksudnya penulis
berani menghadapi apa saja yang menghadangnya, baik berupa, kesulitan,
marabahaya, hambatan, kesusahan, ataupun rintangan sekalipun. Maka dalam hal
ini penulis menyiratkan makna tersebut dalam suatu gabungan kebahasaan yang
terangkum dalam kata “berani kulanggar lautan api”.
Pada bait yang kedua, penulis mengutarakan
keinginannya untuk mengikuti tuannya pergi menantang atau menghadapi yang
tersirat dari kata ‘kulanggar’, bahaya, malapetaka, atau kesulitan yang
tersirat dalam kata ‘lautan api’. Pada bait kedua ini tersirat makna
“bila tuan menghadapi bahaya besar, biarpun berat akan aku ikuti juga”. Dilihat
dari makna yang tersirat, penulis ingin mengutarakan jika sekalipun marabahaya
di depan menghadang dengan ganasnya, maka penulispun berani menanggung
resikonya. Berdasarkan hal inilah, dapat diketahui bahwa penulis sangat gigih
dalam keyakinannya mengikuti tuannya mengahdapi marabahaya apapun resikonya.
Pada baris ketiga, penulis meneruskan keyakinannya
dalam menghadapi bahaya, ataupun kesulitannya. Di sini dijelaskan apa saja
hambatan yang ditulis dengan kata “lautan api” dan apa resiko yang
didapat ketika menghadapi “lautan api” tersebut. Hambatan yang tersurat dalam
baris ketiga ini ditulis dalam bait ke-3 yaitu kalimat (11). Di samping itu
makna tersurat untuk resiko yang dialami adalah kalimat (12). Dalam hal ini
resikonya adalah mati. Berarti keyakinan yang kuat dari sang penulis dalam
mengahadapi rintangan yang besar atau berat adalah melakukannya meskipun
resikonya adalah mati.
Kaitan baris pertama dengan baris kedua ini adalah
hambatan dan resiko yang tersirat dari isi pantun. Sedangkan kaitan baris
pertama dan baris ketiga adalah hambatan yang ditulis secara tersurat oleh
penulis yaitu baris (11). Sehubungan dengan itu kaitan baris pertama dengan
baris ketiga adalah resiko yang didapat,oleh penulis disebutkan secara tersurat
yaitu baris (12). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
keseluruhan makna dari isi pantun yang berjudul “Berani Kulanggar Lautan Api”
ini adalah kegigihan dan keyakinan yang kuat untuk mengadapi hambatan ataupun
rintangan yang akan dilalui dalam menggapai sesuatu yang mutlak dalam hal ini
sesuatu yang tak terduga yang mempunyai resiko besar yaitu mati.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui pula struktur
isi/bathin pantun “Berani Kulanggar Lautan Api”. Tema pantun tersebut adalah
kegigihan dalam menggapai keinginan. Berdasarkan tema tersebut dapat diketahui
nada/perasaan penyair, yaitu semangat tinggi atau gigih. Amanat pantun tersebut
adalah, diperlukan kegigihan dan keyakinan yang kuat dalam menggapai suatu
keinginan. Nilai yang paling kuat dalam pantun tersebut adalah nilai
patriotisme (semangat tinggi) dan kesetiaan (setia kepada majikan).
Hasil Analisis
Syair “Ken Tambuhan”
(1) Lalulah berjalan Ken Tambuhan
imaji visual, kata konkret
(2) Diiringkan penglipur dengan tadahan
Imaji visual, kata konkret
(3) Lemah lembut berjalan perlahan-lahan
Imaji taktil, imaji visual, kata konkret
(4) Lakunya manis memberi kasihan
Imaji taktil, kata konkret
(5) Tunduk menangis segala puteri
Imaji visual, kata konkret
(6) Masing-masing berkata sama sendiri
Imaji auditif, kata konkret
(7) Jahatnya perangai permaisuri
Imaji visual, imaji taktil, kata konkret
(8) Lakunya seperti jin dan peri
Imaji visual, kata konkret
Syair merupakan salah satu bentuk puisi lama,
biasanya untuk menyampaikan suatu kisah atau cerita dari satu orang kepada
orang lain. Semua baris syair mengandung isi, karena syair tidak memiliki
sampiran. Syair memiliki empat baris per bait dan mempunyai bentuk yang
terikat, inilah yang merupakan keindahan puisi lama. Syair ini mempunyai rima [a]-[a]-[a]-[a] pada
tiap baitnya.
Kata-kata dalam syair biasanya sulit dimengerti
karena sering ada kata yang tidak lazim, yang sengaja digunakan agar mempunyai
rima yang indah. Misalnya pada baris (2). Kata tadahan tersebut tidak lazim
digunakan, namun memenuhi rima dari syair tersebut sehingga menambahkeindahan
bunyinya.
Syair berjudul “Ken Tambuhan” tersebut
menceritakan tentang seorang permaisuri yang terlihat baik, namun sebenarnya
bersifat buruk. Permaisuri yang dimaksud ialah Ken Tambuhan. Hal ini dapat
diketahui dari hubungan bait pertama dan kedua. Pada bait pertama baris (3) dan
(4) dimaksudkan bahwa perilaku Ken Tambuhan lemah lembut dan manis
sehingga membuat orang lain jatuh kasihan padanya. Hal ini seolah-olah bertentangan
dengan makna pada bait kedua, bahwa semua putri menangis ketakutan karena permaisuri
yang jahat, namun mereka tidak berani mengatakannya. Ken Tambuhan dan
permaisuri adalah dua orang yang berbeda. Ken Tambuhan adalah anak tiri dari
sang permaisuri yang telah memperlakukannya dengan tidak baik. Oleh karenanya,
dapat disimpulkan bahwa baris (1) hingga (5) ditujukan pada Ken Tambuhan,
sedang baris (7) dan (8) ditujukan bagi snag permaisuri.
Dalam syair Ken Tambuhan banyak digunakan kata
konkret, antara lain terdapat pada baris (1) yang kalau diartikan
menjadi Ken Tambuhan berjalan melewati segalanya yang dilihat. Juga pada baris
(3) yang memiliki arti cara Ken Tambuhan berjalan secara lemah lembut dan
perlahan lahan. Kata konkret ditemukan pula pada baris (4) yang bermakna
perilaku Ken Tambuhan sangat manis dan membuat kasihan pada orang-orang di
sekitarnya. Juga pada baris (5) yang artinya adalah masing-masing dari orang
yang melihat permaisuri berkata dalam hatinya masing-masing, serta baris (7) yang
maksudnya adalah permaisuri yang memiliki perangai yang buruk.
Bahasa kias hampir tidak ditemukan dalam syair
ini, kecuali pada baris terakhir bait kedua, yaitu Lakunya seperti jin dan
peri yang menggunakan majas simile. Hal ini disebabkan oleh banyaknya penggunaan
kata konkret dalam syair ini. Dalam syair juga ditemukan sarana retorika
sarkasme pada baris (7) yang merupakan kata-kata kasar untuk
menggambarkan sifat permaisuri.
Syair “Ken Tambuhan” mempunyai tema sosial.
Ceritanya tergolong istana sentris sebagaimana kebanyakan tema karya sastra
lama. Melalui syair ini penyair ingin menyampaikan amanat supaya dalam
pergaulan kita bersikap baik kepada orang lain, dan hendaknya sikap baik kita
itu sungguh-sungguh dan bukan pura-pura. Jika tidak, maka kita akan menjadi
bahan pembicaraan orang lain.
Jika ditinjau dari pilihan kata yang digunakan
oleh penyairnya, kata-kata yang digunakan sederhana dan mudah dipahami. Dalam
syair ini penyair menggunakan nada puisi yang santai dan bersifat lugas. Berdasarkan
syair tersebut, kita juga dapat mengetahui bahwa sejak dulu ada kejahatan yang
bertopeng kebaikan, bahkan pada kehidupan istana.
PENUTUP
Kesimpulan
Puisi lama sebagai bagian dari sastra Indonesia,
memiliki struktur fisik dan struktur batin yang berbeda dengan puisi-puisi
baru. Sebagian besar puisi lama merupakan bentuk terikat, yaitu keterikatan
dengan persamaan rima, jumlah baris, jumlah bait, dan jumlah kata tiap baris.
Hal ini dapat diketahui pada pantun, syair, gurindam, seloka, karmina. Meskipun
demikian, terdapat puisi lama yang berbentuk bebas sebagaimana mantra. Meskipun
mantra tidak terikat bentuknya, namun
mantra tersebut tetap terikat oleh aturan pemilihan kata dan kekhasan bunyi.
Aturan yang mengikat pad puisi lama tersebut menimbulkan keindahan tersendiri
yang khas pada puisi lama.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Sutan Takdir.
1961. Puisi Lama. Jakarta: Pustaka
Rakyat.
Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi,
Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatma.
Mardiyanto, dkk. 2002. Antologi Puisi Lama Berisi Nasihat. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada
University Press.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Grasindo.
Sudikan, Setya Yuwana. 1985. Apresiasi Sastra untuk Anda: Pengantar Teori
dan Perkembangan Sastra Lama Indonesia. Surabaya: Sinar Wijaya.
Tambajong, Japi.1981. Dasar-dasar Dramaturgi. Bandung: Pustaka Prima.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan
Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga.
Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi
Puisi:Panduan untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
www.melayuonline.com
www.wikipedia.com
www.wordpress.com
Puisi Jomblo Bingung Pacaran Susah||Puisi Sedih Mawar Layu Semalam||Puisi Sedih Putus Cinta Tanpa Alasan||Puisi Cinta Sedih Marah Dan Patah Hati||PUISI CINTA TIDAK BERPISAH SELAMANYA||Puisi Cinta Ucapan Selamat Tidur Kren... !||Puisi Untuk Ayah Bahan Renungan||PUISI SUBUH MINGGU BULAN MARET||Puisi Nasehat Gadis Jilbab||Halah Poems Youn And Me Frriend Forever||Puisi Jendral Koruptor Berkalung (.)(.)||PUISI CINTA SENIN SELASA RABU KAMIS JUM'AT SABTU MINGGU||PUISI KAMPAYE POLITIK LAGU IWAK PEYEK||wasiat pada anak cucuku||Puisi Nenek mana anak cucuku||PUISI LAGU TENGAH MALAM||Puisi Kenangan Pantai Sanur Bali||Puisi Musim Gugur Di Hongkong||Puisi Meditasi Kesehatan||Puisi Perjuangan Anak Desa||Puisi 10 Partai Peserta Pemilu 2014||Puisi Kecap Bango||Puisi Bidadari Linglung||Puisi Pahlawan Malam Bingung||Puisi Islami Mi'raj
BalasHapus