Senin, 02 Juli 2012


POTRET PROTES SOSIAL DALAM PUISI ANGKATAN 66

PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemilihan Puisi
Tahun 60-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia (Waluyo, 2005:107). Angkatan 66 adalah salah satu angkatan dalam pembabakan sastra Indonesia modern. Angkatan 66 lahir setelah ditumpasnya gerakan G 30 S PKI. Lahirnya Angkatan 66 ini didahului oleh adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh teror politik yang dilakukan oleh PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Sejak tahun 50-an dalam dunia sastra Indonesia sudah terjadi berbagai macam polemik yang berpangkal pada perbedaan politik. Pada masa itu memang terjadi kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya, pemerintahan Presiden Soekarno yang otoriter, PKI yang telah berkhianat dari negara dan telah menyimpang dari UUD dan falsafah Pancasila, dan LEKRA telah menjadi organ politik dari PKI. Rakyat kecillah yang menjadi korban dari berbagai kemelut itu, terjadi penginjak-injakan martabat manusia.  Kemelaratan, kemiskinan, dan penderitaan yang paling dalam akibat adanya kebijaksanaan politik luar negeri yang sudah tidak realistis dan petualangan dalam bidang ekonomi yang tidak kepalang tanggung. Situasi yang demikian itu memberikan ciri khas hasil karya sastra pada periode ini. Di tengah-tengah sajak-sajak yang menyanyikan kemenangan perjuangan yang ditulis oleh para pengarang LEKRA, timbullah perlawanan para pengarang yang ingin membela martabat manusia. Mereka tergabung dalam Manifes Kebudayaan. Mereka itu telah bangkit menghasilkan sajak-sajak yang berisi protes sosial dan protes politik terhadap penginjak-injakkan martabat manusia. Oleh karena itu kami memilih Angkatan 66 sebagai bahan dalam makalah ini.
Puncak atau klimaks dari sastra perlawanan dalam periode ini adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Bur Rasuanto, Mansur Samin, Abdul Wahid Situmeang, Goenawan Muhammad, Hartoyo Andangjaya, dan lain-lainnya yang ditulis di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar pada permulaan tahun 1966. Oleh sebab itu kami memilih para penyair tersebut karena mereka menghasilkan sajak-sajak yang memberikan gambaran ciri khas pada periode ini.
Dari latar belakang di atas, sangatlah tepat jika puisi-puisi Angkatan 66 untuk diapresiasi dengan menggunakan pendekatan sosiologis karena banyak bertemakan protes-protes sosial. Selain digunakannya pendekatan sosiologis, pendekatan analitik juga akan digunakan dalam setiap apresiasi puisi karena pendekatan ini mutlak ada.


Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Dalam latar belakang telah dijelaskan bahwa kegiatan apresiasi ini menggunakan pendekatan sosiologis di samping pendekatan analitik yang berkaitan dengan tujuan suatu karya yang hendak disampaikan kepada pembaca. Bisa disimpulkan jika dilihat dari pendekatan sosiologis kegiatan apresiasi ini bertujuan mengungkapkan cerminan kehidupan masyarakat melalui peristiwa sosial yang terjadi pada saat itu. Selain itu jika dilihat dari pendekatan analitik, kegiatan apresisi ini bertujuan untuk menggambarkan unsur intrisik suatu puisi serta mampu menghubungkan antara unsur yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat diketahui hasil kegiatan apresiasi yang di dalamnya terungkap pula karakteristik puisi pada Angkatan 66.

Pengertian Pendekatan  Analitik dan Sosiologis
Pendekatan analitik adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen instrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen instrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya (Aminudin, 1987:44).
Prosedur kerja apresiasi dalam pendekatan analitik puisi Angkatan 66 adalah mencari puisi Angkatan 66, membaca berbagai macam puisi Angkatan 66 secara berulang-ulang, memahami berbagai macam puisi Angkatan 66, memilih beberapa puisi Angkatan 66 untuk dianalisis, menganalisis beberapa puisi Angkatan 66, dan mengaplikasikan beberapa puisi Angkatan 66 yang telah dianalisis dalam bentuk makalah.
Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1990:73). Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus dan mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.
Prosedur kerja apresiasi dalam pendekatan sosiologis pada puisi Angkatan 66 adalah mengenali sosok pengarang dan kehidupan sosialnya, mencari dan memahami segi sosial dalam karya sastra, telaah aspek instrinsik karya sastra yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat dan misi sastra, telaah sikap masyarakat terhadap karya sastra tersebut, telaah sikap penyair terhadap segi sosial yang terjadi saat itu, telaah pengaruh karya tersebut bagi pembaca dan juga bagi penulis (apa efek positif yang mereka terima), telaah protes sosial yang terdapat di dalamnya.
KARAKTERISTIK STRUKTUR PUISI ANGKATAN 66
Karakteristik Bahasa
Diksi
Menurut Pradopo (1993:54) diksi adalah pemilihan kata dalam sajak. Dalam Angkatan 66 tampak suatu gejala umum yakni lebih cenderung kepada kalimat panjang, sederhana dan jelas. Pada puisi Angkatan 66 banyak mengungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap kelompoknya dan kecaman keras pada pihak yang dikritik, karena puisi Angkatan 66 yang yang bertemakan protes sosial. Untuk pihak yang dikritik, para penyair menggunakan kata-kata yang kasar atau umpatan.
...
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
...
(Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
Sebaliknya untuk pihak yang dibela penyair menggunakan kata-kata yang manis dan penuh pujian. Salah satu contohnya dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul ”Rakyat”. Dalam puisi ini penyair menyebut bahwa rakyat adalah darah di tubuh bangsa dan debar sepanjang masa. Rakyat mempunyai peranan penting bagi negara.
...
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dengan suara lantang mempertasanamakan
Kawula Dukana yang berpuluh juta
...
            (Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
Denotasi
            Menurut Altenbernd dalam Pradopo (1987: 58), denotasi adalah artinya yang menunjuk. Yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau diceritakan. Taufiq Ismail menggunakan denotasi pada puisinya yang berjudul ”Kembalikan Indonesia Padaku”.
            ...
Kembalikan
            Indonesia
            padaku
            ...
            (Taufiq Ismail, Kembalikan Indonesia Padaku)
Konotasi
            Menurut Pradopo (1987: 58), konotasi yaitu arti tambahannya. Yaitu kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari seting yang dilukiskan itu. Misalnya dalam puisi ”Kemis Pagi” karya Taufiq Ismail.
Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
            Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
            Dan menaiki kereta-kereta kencana
            Dan menggunakan materei kerajaan
            Dengan suara lantang memperatasnamakan
            Kawula dukana yang berpuluh juta
            ...
            (Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
            Pada puisi ini, penyair mengajak pembaca untuk memberantas pemimpin yang semena-mena. Yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Imaji
Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair. Melalui pengimajian, apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (imaji visual), didengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil) (Waluyo, 2005:10).
Imaji Visual
Imaji visual adalah benda yang nampak (Waluyo,1987:78). Dalam ”Perempuan-perempuan Perkasa”, Hatoyo Andangjaya melukiskan kerja perempuan-perempuan yang dikagumi itu dengan imaji visual sebagai berikut:
            Perempuan-perempuan  yang membawa bakul di pagi buta,
      siapakah mereka
            mereka ibu-ibu berhati baja
            perempuan-perempuan perkasa
            ...
            (Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan Perkasa)
Selain itu, penerapan imaji visual tampak pada puisi ”Catatan Harian Seorang Demonstran” karya Slamet Sukirnanto berikut ini:
            Jaket kuning berlumur darah
            Dengan sedih kutatap kawan-kawan rebah
            Di bumi, terik matahari kota Jakarta
            O kita tahu apa arti ini semua
....
            (Slamet Sukirnanto, Catatan Harian Seorang Demonstran)
Imaji Auditori
Imaji auditori adalah penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara yang digambarkan oleh penyair (Waluyo, 1989:11). Puisi ”Almanak” karya Goenawan Mohammad berikut ini memiliki ungkapan yang dapat dinyatakan sebagai imaji auditif:
            ...
Antara bisik lembut Acoka
            Atau bising Zulkarnain
            Dalam ringkik kuda
            (Goenawan Mohammad, Almanak)
Imaji Taktil
Imaji taktil adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya (Waluyo, 1989:11). Dalam puisi “Asmaradana” karya Goenawan Mohammad.
...
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok pagi pada rumput halaman
Ada tapak yang menjauh ke utara,
Ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan
Tiba
Karena ia tak berani lagi.
(Goenawan Mohammad, Asmaradana)

Bahasa Kias
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah dengan menggunakan bahasa kiasan. Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 1987:62). Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meski bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain.
Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan ungkapan itu langsung berupa kiasan (Waluyo, 1987:84). Contohnya dapat kita lihat pada karya  Hartoyo Andangjaya yang berjudul ”Perempuan-perempuan Perkasa” di bawah ini :
...
            Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
                        ke manakah mereka
            Di atas roda-roda baja mereka berkendara
            ...
            (Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan Perkasa)
Hartoyo Andangjaya, dalam “Perempuan-perempuan Perkasa” menciptakan metafora roda-roda baja untuk mengiaskan kereta api.
Simili                                                           
Simili adalah kiasan yang tidak langsung. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti, laksana, bagaikan, bagai, bak, dan sebagainya. Kadang-kadang juga tidak digunakan kata-kata pembanding (Waluyo, 1987:84). Misalnya:
            ...
Hendak ke mana kita ini semua
            bagai kelompok lembu piara
            digiring seorang gembala
            ke rumah potong atau ke lapangan
            jangan kau tanya
            ...        
            (Abdul Wahid Situmeang, Tanah Air)
Pada puisi tersebut penyair menyamakan kita semua dengan sekolompok lembu piaraan yang sedang digiring oleh seorang penggembala.
Perumpamaan Epos
            Menurut Pradopo (1987: ) perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sangat panjang. Abdul Wahid Situmeang dalam puisinya yang berjudul ”Tanah Air” membuat perumpamaan epos sebagai berikut:
            ...
Hendak ke mana kita ini semua
            bagai kelompok lembu piara
            digiring seorang gembala
            ke rumah potong atau ke lapangan
            jangan kau tanya
            ...
            (Abdul Wahid Situmeang, Tanah Air)
dalam puisi ini Abdul Wahid Situmeang membandingkan kita dengan lembu piara. Kemudian perbandingannya dilanjutkan atau diperpanjang yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya. Dalam hal ini lembu piara diperpanjang dengan kata /digiring seorang gembala/ /ke rumah potong atau ke lapangan/.
Personifikasi                                                                                                               
Keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona, atau di”personifikasi”kan. Hal ini digunakan untuk memperjelas pengambaran peristiwa dan keadaan itu (Waluyo, 1987:85). Sapardi Djoko Darmono dalam puisinya yang berjudul ”Percakapan dalam Kamar” menggunakan personifikasi sebagai berikut:
Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tiba-
            tiba menghela nafas lalu berdiri.
Bunga plastik dan lukisan bercakap tentang seorang yang
berdiri seperti bertahan terhadap sesuatu yang akan
menghancurkannya
            ...
            (Sapardi Djoko Damono, Percakapan dalam Kamar)
dalam puisi di atas penyair menggunakan kiasan personifikasi. Puntung rokok, kursi, bunga plastik, dan lukisan dipersonifikasikan sebagai manusia, yaitu bisa bercakap-cakap. Abdul Wahid Situmeang juga menggunakan kiasan personifikasi dalam puisinya yang berjudul ”Tantangan” berikut :
            ...
Siapa lagi mau angkat bicara
            tentang kejayaan dan kemegahan bangsa
            di atas ini bumi luka parah
            bumi yang sabar dan ramah
            ...
(Abdul Wahid Situmeang, Tantangan)
Bumi dipersonifikasikan sebagai benda hidup atau manusia, yaitu bisa terluka, /di atas ini bumi luka parah/. Selain itu bumi juga dikiaskan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu sifat sabar dan ramah.
Alegori
Alegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain (Pradopo, 1987:71). Sapardi Djoko Damono membuat alegori sebagai berikut:
            Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang
                        melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya,
                        katanya kepada suaminya, ”Alangkah indahnya kulit ular
                        itu untuk tas dan sepatu!”
            Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik
                        lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
            (Sapardi Djoko Damono, Di Kebon Binatang)
Metonimia
Metonimia adalah kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tertentu (Pradopo, 1987:77). Bahasa kias ini jarang ditemukan pemakaiannya dibanding metafora, perbandingan, dan personifikasi. Fridolin Ukur menggunakan metonimia pada sajaknya yang berjudul ”Cerita Kosong”. Penyair menggunakan kata ”mercedez” untuk menggantikan mobil.
...
Tiba-tiba
kau menghilang
di dalam mercedezmu
tinggal debu dan aku
kembali mendorong gerobak
(Fridolin Ukur, Cerita Kosong untuk Gembong-gembong Tukang Bicara)
Sinekdoke
Sinekdoke adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987:85). Part pro toto (menyebut sebagian untuk keseluruhan), pada Angkatan 66 kita dapat melihat part pro toto pada puisi karya Hartoyo Andangjaya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa berikut ini:
            ...
            sebelum peluit kereta api terjaga
            sebelum hari bermula dalam pesta kerja.

            Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
                        ke manakah mereka
            Di atas roda-roda baja mereka berkendara
            ...
            (Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan Perkasa)       
Untuk melukiskan kereta api, Hartoyo Andangjaya mewakilinya dengan peluit kereta api dan roda-roda baja. Penyair menyebutkan sebagian dari kereta api untuk keseluruhan kereta api.
            Selain itu bahasa kias sinekdoke juga terdapat pada sajak Taufiq Ismail yang berjudul ”Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya”. Untuk melukiskan solidaritas rakyat kecil terhadap para demonstran 1966, Taufiq Ismail mewakilinya dengan ”Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya”
...
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar mukanya di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, Bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rejeki mereka
...
(Taufiq Ismail, Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya)
Untuk melukiskan korban-korban kekejaman Orde Lama khususnya mahasiswa Universitas Indonesia yang berdemonstrasi, Slamet Sukirnanto melukiskankannya dengan ”jaket kuning berlumur darah”.
...
Jaket kuning berlumur darah
Dengan sedih kutatap kawan-kawan rebah
Di bumi, di terik matahari kota Jakarta
...
(Slamet Sukirnanto, Catatan Harian Seorang Demonstran)
Puisi tersebut menunjukkan peristiwa demonstrasi mahasiswa tahun 1966 dalam menumbangkan rezim Orde Lama. Banyak korban-korban berjatuhan. Korban itu berjaket kuning, yakni jaket para mahasiswa Universitas Indonesia.
Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya (Pradopo, 1987:94). Ada beberapa macam sarana retorika, namun setiap periode atau angkatan sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya. Corak-corak atau jenis-jenis sarana retorika tiap periode ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya, aliran, serta pahamnya.
Hiperbola
Menurut Waluyo (1987:85)  hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang seksama dari pembaca. Penyair-penyair pada Angkatan 66 menggunakan hiperbola untuk menjelek-jelekkan sifat jelek pihak yang dikritik. Taufik Ismail membuat hiperbola sebagai berikut :
...
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di mancanegara
Dan memperoleh uang emas beratus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita
(Taufik Ismail, Benteng)
Dalam puisi di atas taufik Ismail mengutuk rezim Orde Lama yang dipandang telah menyelewengkan berbagai hal dan bersikap tamak sehingga menyengsarakan rakyat. Kebejatan moral seolah tidak ditanggulangi, bahkan /merekalah penganjur zina secara terbuka/. Penguasa (kebejatan moral penguasa) dilukiskannya sebagai penganjur zina secara terbuka. Lukisan itu terlalu melebih-lebihkan. Dalam puisinya yang berjudul ”Kembalikan Indonesia Padaku”, Taufik Ismail juga menggunakan hiperbola. /Hari depan Indonesia adalah Pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya/. Dalam puisi tersebut  penyair terlalu melebih-lebihkan untuk melukiskan hari depan Indonesia
Ironi
Dalam puisi pamflet, demonstrasi, dan kritik sosial, banyak digunakan ironi yakni kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Ironi dapat berubah menjadi sinisme dan sarkasme, yakni penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik (Waluyo, 1987:86). Nada ironi dapat kita hayati pada puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Yang Kami Minta Hanyalah” sebagai berikut:
...
Kirimkan kapur dan semen insinyur ahli
Lupakan tersianya sedekah berjuta-juta
Yang tak sampai kepada kami
...
(Taufiq Ismail, Yang Kami Minta Hanyalah)
penyair bertujuan untuk mengkritik dengan keras pemimpin pada masa itu dengan menggunakan kata ”insinyur ahli”. Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras namun dibungkus dengan pengucapan bahasa yang lembut dan halus.
Sarkasme
Sarkasme ialah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyidir atau mengkritik (Waluyo, 1987:86). Sarkasme dapat kita hayati pada puisi “Cerita Kosong” karya Fridolin Ukur. Penyair menyindir dengan kasar pemimpin Orde Lama yang “cuma banyak bicara”, sudah sepuluh tahun menjabat (sejak kemerdekaan bangsa Indonesia), tetapi keadaan rakyat masih menderita.
Jemu aku dengar bicaramu
“kemakmuran
keadilan
kebahagiaan”
sudah 10 tahun engkau bicara
aku masih tak punya celana
(Fridolin Ukur, Cerita Kosong)
Selain itu kita  dapat melihat sinisme pada puisi karya Abdul Wahid Situmeang yang berjudul “Tantangan” berikut ini.
            Jangan lagi kau bicara dan bicara
            membeber cerita fitnah dan dusta
            membela kerakusan hatimu yang hina
            karena cukup kami kenal siapa kau sebenarnya
macam penghulu belantara
            (Abdul Wahid Situmeang, Tantangan)
Penyair menyebut pemimpin pada saat itu dengan kata-kata yang kasar yaitu “macam penghulu belantara”, yang maksudnya rakus dan serakah.
Pararelisme
Menurut Slametmuljana (dalam Pradopo, 1987:97) pararelisme (persejajaran) adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kaliamat yang mendahului. Contoh penerapan pararelisme dapat dilihat pada puisi “Pidato Seorang Demonstran” karya Mansur Samin berikut ini:
            ...                
            rakyat diam saja
            ...
            rakyat masih diam saja
            ...
            toh rakyat masih terus diam saja
            ...
            apakah kita masih terus diam saja ?
            (Mansur Samin, Pidato Seorang Demonstran)
selain itu dapat pula kita jumpai pada puisi “Telah Gugur Beberapa Nama” karya Bur Rusuanto berikut ini:
            Telah gugur beberapa nama
            Telah gugur
            ...
            Telah gugur beberapa nama
            Telah gugur
            ...
            Telah gugur beberapa nama
            Telah gugur
            ...
            (Bur Rusuanto, Telah Gugur Beberapa Nama)
Dalam puisi di atas Bur Rusuanto menggunakan pararelisme, yaitu  pada setiap awal bait, penyair menggunakan kata /telah gugur beberapa nama/. Dalam puisinya yang berjudul Tirani, Bur Rusuanto juga menggunakan pararelisme.
            tirani adalah
            ...
            tirani adalah
            ...
            tirani adalah
            ...
            tirani adalah
            (Bur Rusuanto, Tirani)
Dalam puisi ini, Bur Rusuanto selalu mengawali tiap awal baitnya dengan kata /tirani adalah/ yang maksudnya adalah pengikat beberapa bait, sehingga baris-baris itu bergelombang dan menimbulkan ritma.
Retorik retisense
Retorik retisense adalah sarana yang mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan (Pradopo, 1987:97). Penggunaan retorik retisense dapat kita temui pada puisi “Doa di Tengah-tengah Masa” karya Sapardi Djoko Damono.
            ...
dari kebohongan dan penjajahan.
            lindungilah kami, yang dengan gemuruh bergerak
            dalam teriakan-teriakan, tangan-tangan terkepal,
            agar tidak mabuk dan terpelanting ke dalam
            jurang yang hampa . . . . . . . . . .
            ...
            (Sapardi Djoko Damono, Doa di Tengah-tengah Masa)
Selain itu, penggunaan retorik retisense dapat pula kita lihat dalam karya Fridolin Ukur yang berjudul “Cerita Kosong” berikut ini:
            ...
            kau ulang cerita:
            . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
            tanganmu dan tanganku,
            dapat bikin ini negara
            sempurna bahagia . . . . . . . . . . . . .
            ...
            (Fridolin Ukur, Cerita Kosong)          
Kita juga dapat menjumpai penggunaan retorik retisense pada puisi “Muara” karya Sapardi Djoko Damono.
            ...
Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia
                        Terapung di muara.itu, di sana-sini timbul
                        Pusaran air, dan tepi-tepi muara tiba-tiba
                        Bersuara ribut : ‘Tidak ! Bukan aku yang
di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata,
membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan,
sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab
bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubuk-
mu, tidaklah sedalam . . . . . . . . . .
(Sapardi Djoko Damono, Muara)
Tautologi
            Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar (Pradopo, 1987:95). Dalam Angkatan 66 kita dapat melihat tautologi pada puisi “Doa di Tengah-tengah Masa” karya Sapardi Djoko Damono
            ...
            berseru dengan keras, dengan terkepal teracu,
            bergegar bergerak; wahai, lindungilah kami
            dari nikmatnya mabuk dan lupa diri
            dari nikmatnya mabuk dan lupa diri,
            ...
            (Sapardi Djoko Damono, Doa di Tengah-tengah Masa)
Pada puisi “Doa di Tengah-tengah Masa”, Sapardi Djoko Damono menggunakan kata yang artinya sama atau hampir sama dengan kata sebelumnya, yaitu /bergegar bergerak.../.
Goenawan Moammad juga menggunakan tautologi pada puisinya yang berjudul “Almanak”. Penyair mengulang kata yang hampir sama maknanya yaitu hitam legam.
            ...
            di benteng-benteng kejauhan, sayang, dan
            di kaki langit yang hitam legam
            dan di hari-hari
            dari tengah-tengah Nagasaki merangkan Asia yang sepi
            ...
            (Goenawan Mohammad, Almanak)
Pleonasme
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar (Pradopo, 1987:95). Kita dapat menemukan pleonasme pada puisi yang berjudul “Muara” karya Sapardi Djoko Damono.
...
Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia
                        Terapung di muara.itu, di sana-sini timbul
                        Pusaran air, dan tepi-tepi muara tiba-tiba
                        Bersuara ribut : ‘Tidak ! Bukan aku yang
di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata,
membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan,
sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab
bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubuk-
mu, tidaklah sedalam . . . . . . . . . .”
(Sapardi Djoko Damono, Muara)
Karakteristik Bentuk Puisi
Perulangan Bunyi
Rima
Rima ialah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi (Waluyo, 1987:90). Ada beberapa puisi Angkatan 66 yang menggunakan rima yang terikat, seperti pada puisi “Demontrasi” karya Gerson Poyk berikut ini:
            Wajah-wajah terbakar mentari
            Semangatnya terbakar mentari
            Tak ada tempat berteduh di sini
            Suara resah tambah meninggi
            Yang pawai ini
            Atau berdiri berjam-jam menanti
            Jawaban yang pasti
            ...
(Gerson Poyk, Demonstrasi)
dari kutipan puisi di atas dapat kita lihat persamaan bunyi yang terdapat pada akhir baris yang berpola a-a-a-a.
Namun, karena pada Angkatan 66 didominasi oleh gaya prosais maka rima dan ritma dalam puisi kurang mendapatkan perhatian dari penyair yang lebih dipentingkan adalah isi.
Asonansi
Asonansi adalah perulangan bunyi vokal (Waluyo,1987:92). Dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul ”Perempuan-perempuan Perkasa”.
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
dari  manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
 sebelum peluit kereta api terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja.

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
            ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara,
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
...
(Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan Perkasa)
Aliterasi
            Perulangan bunyi pada suku kata pertama (Waluyo, 1987: 92). Dalam puisi Mansur Samin yang berjudul ”Pidato Seorang Demonstran”. /Mereka telah tembak teman kita/

Verifikasi
Ritma
Menurut Waluyo (1987: 90), ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
            dari manakah mereka
...
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta
            ke manakah mereka
...
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
 siapakah mereka
...
(Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan Perkasa)
Puisi di atas terdiri dari tiga bait, dalam tiap-tiap bait diikat dengan frase: /perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta .../. Ikatan itu membentuk ritma puisi. Jawaban atas ikatan itu merupakan perkembangan gagasan dalam tiga bait itu, yakni: /dari manakah mereka/, /ke manakah mereka/, dan /siapakah mereka/.
Soneta
            Soneta adalah puisi empat belas larik dengan pola rima tertentu.
            Siapa menggores di langit biru
            Siapa meretas di awan lalu
            Siapa mengkristal di kabut itu
            Siapa mengertap di bunga layu
            Siapa cerna di warna ungu
            Siapa bernafas di detak waktu
            Siapa berkelebat setiap ku buka pintu
            Siapa mencair di bawah pandangku
            Siapa terucap di celah kata-kataku
            Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
            Siapa tiba menjemput berburu
            Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
            Siapa meledak dalam diriku
            :  siapa Aku
            (Sapardi Djoko Damono, Sonet: X)
Bentuk Konvensional
            Puisi dalam Angkatan 66 cenderung menggunakan puisi konvensional. Yakni adanya pembicaraan langsung dan adanya bait yang hanya terdiri atas satu baris. Ada juga bait yang terdiri atas satu baris. Ada juga bait yang terdiri dari dua dan tiga baris yang membubuhkan tanda titik di tengah baris. Hal ini dipergunakan penyair untuk menguraikan cerita yang kait-mengait. Tingkat kepadatan gagasan yang dikemukakan pada setiap bait tidak sama, oleh sebab itu terdapat bait yang terdiri atas tiga baris, dua baris, dan satu baris. Pembicaraan langsung merupakan pengikat narasi, dan juga menjadi inti gagasan dalam renungan yang bersifat filosofis dari penyair.
            ”Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus patihku
Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari
kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?”
(Goenawan Mohammad, Dongeng Sebelum Tidur)
Pada kutipan puisi di atas, mengandung maksud pertanyaan sang raja merupakan misteri yang sulit mendapatkan jawaban dan merupakan renungan yang membuat manusia sadar akan eksistensinya. Manusia sering memilih tindakan berdasarkan atas sesuatu yang terlalu diyakini dan membuang pilihan lainnya, kendatipun secara rasional kedua alternatif tersebut sama pentingnya.

Karakteristik Isi
Karakteristik isi puisi pada Angkatan 66 bertemakan protes sosial. Protes sosial dikemukakan begitu berapi-api. Protes yang dikemukakan dalam Angkatan 66 ditujukan kepada kemunafikkan dan kesewenang-wenangan pemerintahan pada masa Orde Lama. Dalam puisi-puisi protes sosial makna karya sastra sering dibungkus dengan bahasa yang kasar atau berlebih-lebihan, namun demikian karya-karya protes sosial sering pula begitu lembut. Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras namun dibungkus dengan wujud pengucapan bahasa yang lembut dan halus. Sebenarnya kritik yang diberikan dalam puisi protes bertujuan untuk memperbaiki kehidupan.Setiap penyair sadar akan puisinya untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi manusia meskipun hanya lewat kata-kata.
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, bisa disimpulkan Angkatan 66 nada kritik dikemukakan begitu berapi-api. Nada kritik yang disampaikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakkan bagi pembaca.
Amanat yang hendak disampaikan penyair dapat ditelaah setelah memahami tema dan nada puisi (Waluyo, 1987:130). Pada Angkatan 66, amanat yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca yaitu agar pembaca mau merenungi dan mau memperjuangkan harkat dan martabatnya. Jika rakyat hanya diam dan pasrah saja menerima keadaan, martabat rakyat akan terus diinjak-injak. Oleh karena itu keadilan, kebenaran, hak-hak azasi harus diperjuangkan.

Tema
            Menurut Herman Waluyo (1987: 106), tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial.
            Mansur Samin, dalam puisinya yang berjudul “Pidato Seorang Demonstran”, mengkritik dan memprotes pemimpin dan para menteri pada masa itu.
. . .
Ketika produksi negara kosong
para pemimpin asyik ngomong
tapi harga-harga terus menanjak
sebab percaya diatasi dengan mupakat
rakyat masih diam saja
...
            (Mansur Samin, Pidato Seorang Demonstran)
Bisa disimpulkan tema puisi di atas adalah protes sosial karena dorongan yang kuat yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan, mengkritik pemimpin yang cuma”asyik ngomong”, hanya memberikan janji-janji, padahal harga terus naik.
             Puisi “Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya” karya Hartoyo Andangjaya, melukiskan penderitaan ekonomi seorang guru pada masa itu.
            . . .
Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
Aku takut, anak-anakku
Kursi-kursi tua yang di sana
Dan meja tulis sederhana
Dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
Semua padamu akan bercerita
Tentang hidupku di rumah tangga
. . .
(Hartoyo Andangjaya, Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya)
Puisi di atas bertemakan tentang keadilan sosial. Penyair mengisahkan tentang penderitaan dan kemiskinan seorang guru. Tema keadilan sosial bertujuan agar pembaca turut memikirkan kesejahteraan guru.
Dua puisi di atas sudah cukup mewakili tema-tema puisi pada Angkatan 66. Sebagian besar puisi pada  Angkatan 66 bertemakan protes sosial. Kebanyakan kritik sosial pada Angkatan 66 mengemukakan tentang ketidakadilan. Ketidakadilan dalam bidang politik, pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Dalam berbagai sektor kehidupan terjadi ketidakadilan sehingga penyair merasa perlu memberikan kritiknya.

Perasaan
Puisi mengungkapkan perasaan penyair (Waluyo, 2005:39). Pada Angkatan 66 perasaan geram terhadap ketidakadilan nampak sekali. Dalam menghadapi ketidakadilan, perasaan penyair yang satu berbeda dengan penyair yang lain. Taufiq Ismail sangat menonjolkan perasaan geram itu karena penyair merasa bahwa ketidakadilan sudah begitu merajalela. Seperti dalam puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Kemis Pagi” di bawah ini :
            ...        
Hari ini kita serahkan mereka
            Untuk digantung di tiang Keadilan
            Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
            Bertahun-tahun lamanya.
            ...
(Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
berbeda dengan Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Darmono juga mengemukakan kritik terhadap ketidakadilan, namun dengan perasaan yang mengendap, sabar, penuh pertimbangan, dan perenungan. Seperti dalam sajaknya yang berjudul “Doa di Tengah-tengah Masa”.
wahai, lindungilah kami dari kemusnahan yang sia-sia
berjuta rakyat-Mu yang sedang gemuruh bergerak,
dalam teriakan-teriakan, dengan tangan-tangan terkepal,
di bawah matahari yang leleh; ya, lindungilah kami
dari dusta dan tipu daya,
dari hasutan-hasutan bergula.
...
(Sapardi Djoko Darmono, Doa di Tengah-tengah Masa)
Nada dan Suasana
Menurut Waluyo (1987:125) nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi sebagai akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Pada Angkatan 66 nada kritik yang ditimbulkan penyair menimbulkan suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Seperti dalam puisi yang berjudul “Pidato Seorang Demonstran” karya Mansur Samin.
...
Mereka telah diupah oleh jerih orang tua kita
tapi tak tahu cara terima kasih, bahkan memfitnah:
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara
apakah kita masih terus diam saja ?
(Mansur Samin, Pidato seorang Demonstran)

Amanat
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada dari puisi itu. Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya (Waluyo, 1987:130). Dalam puisi-puisi protes sosial, makna karya sastra yang tinggi sering dibungkus dengan pengucapan bahasa yang kasar atau berlebih-lebihan. Kritik yang diberikan dalam puisi protes bertujuan untuk memperbaiki kehidupan. Tidak ada penyair yang berniat jelek dengan puisinya. Setiap penyair sadar akan misinya untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi manusia meskipun hanya lewat kata-kata.
Karya-karya protes sering pula begitu lembut. Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras, namun dibungkus dengan wujud pengucapan yang lembut dan halus. Puisi-puisi pada Angkatan 66, memiliki amanat yang sangat berguna bagi hidup kita, yaitu agar pembaca mau merenungi dan mau memperjuangkan harkat dan martabatnya. Jika rakyat hanya pasrah dan diam saja menerima keadaan, martabat rakyat akan terus diinjak-injak. Oleh karena itu, keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi harus diperjuangkan.
            Dari amanat dan tema puisi-puisi Angkatan 66, kita bisa menyimpulkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Di dalam tema kritik sosial, diungkapkan nilai politik, nilai sosial, nilai moral, maupun nilai ekonomi.
...
Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Tidak tugu atau tempat main bola
Yang mancur warna-warni

Kirimkan kapur dan semen insinyur ahli
Lupakan tersianya sedekah berjuta-juta yang tak sampai kepada kami.
Bertahun-tahun kita merdeka, Bapa
Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Kabulkanlah kiranya.
(Taufiq Ismail, Yang Kami Minta Hanyalah)
Sajak di atas menunjukkan ekspresi jiwa Taufiq Ismail yang menghendaki agar para pemimpin memikirkan kebutuhan yang langsung berhubungan dengan hajat hidup rakyat. Air mancur, tugu, dan tempat main bola, tidak diminta oleh rakyat. Yang mereka minta hanyalah sebuah bendungan. Kita bisa menyimpulkan amanat yang terkandung dalam puisi tersebut adalah agar para pemimpin memperhatikan nasib rakkyatnya. Nilai yang terkandung dalam puisi tersebut ialah nilai sosial.

HASIL APRESIASI PUISI ANGKATAN 66 DENGAN PENDEKATAN ANALITIK DAN SOSIOLOGIS

Puisi 1:
KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI


Tidak ada lagi plihan. Kita harus
Konkret,visual
Berjalan terus
Konkret,visual
Karena berhenti atau mundur
Konkret,visual
Berarti hancur.
Konkret, taktil

Apakah akan kita jual keyakinan kita
                        Konkret,taktil
Dalam pengabdian tanpa harga
            Konkret,taktil
Akan maukah kita duduk satu meja
                        Konkret,visual
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
            Konotatif,taktil,sarkasme
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
”Duli Tuanku?
ironi
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Konkret,visual
Berjalan terus.
Konkret,visual
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan
            Konotatif,visual,metafora
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Konotatif,visual
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Hiperbola,taktil
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Personifikasi,taktil
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Konkret,auditor, ironi
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Konotatif,auditori
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara.
Konotatif,auditori

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Konkret,visual
Berjalan terus.
Konkret,visual
Dari: Tirani

Apresiasi Puisi dengan Menggunakan Pendekatan Analitik
Puisi ini dibuka dengan kalimat yang baik oleh penyair. Penyair dengan tegas menyatakan bahwa kita (rakyat) adalah pemilik sah republik ini. Diksi yang digunakan Taufiq Ismail langsung menyaran ke gagasan pokok dalam puisi tersebut. Diksi yang digunakan kebanyakan adalah kata konkret. Dalam pemakaian kalimat yakni lebih cenderung kepada kalimat yang panjang, sederhana, dan jelas artinya. Dalam perbendaharaan kata, Taufiq Ismail memilih kata-kata khas. Banyak diungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap kelompoknya (rakyat) dan kecaman keras kepada pihak yang dikritik. Oleh sebab itu untuk pihak yang dikritik digunakan kata-kata kasar atau umpatan, kadang juga digunakan kata-kata yang manis dan lembut dengan maksdu menyindir secara keras, sebaliknya untuk pihak yang dibela digunakan kata-kata manis penuh pujian dan penghargaan. Hal itu bisa kita lihat pada bait kedua, baris ketiga /Dengan para pembunuh tahun lalu/. Untuk pihak yang dikritik digunakan kata-kata kasar, yaitu para pembunuh tahun lalu. Kata pembunuh disini maksudnya adalah orang-orang yang kejam dan sewenan-wenang, para pemimpin yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Dalam hal ini penyair mengkritik pemimpin dengan wujud pengucapan bahasa yang kasar dan berlebih-lebihan. Namun demikian, pada bait kedua baris keenam, /”Duli Tuanku?”/,penyair menggunakan kata yang halus padahal tujuannya adalah menyindir keras. Pemilihan kata duli tuanku dirasa kebih intens untuk mengemukakan tujuan penyair. Kata tersebut halus namun mengesankan sindiran keras. Penyair menyindir pemimpin pada masa itu dengan sebutan duli tuanku yang artinya orang yang dihormati atau sebutan untuk raja. Sebaliknya untuk pihak yang dibela penyair menggunakan kata-kata yang manis penuh pujian dan pembelaan. Hal itu bisa kita lihat dalam bait keempat baris ketiga /kita adalah manusia bermata kuyu yang di tepi jalan/ dan juga pada baris kelima /Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/. Penyair menggunakan pembelaan secara keras untuk kelompoknya.
            Pengimajian dan kata konkret juga digunakan dalam puisi tersebut. Dengan pengimajian dan kata konkret diharapkan pembaca dapat membayangkan gambaran yang terjadi pada masa itu. Imajivisual yang berbunyi /Kita adalah manusia yang bermata kuyu, yang di tepi jalan/ Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/ memperkonkret gambaran tentang rakyat yang menderita, kalah, dan dijajah oleh penguasa bangsa sendiri. Imaji taktil yang berbunyi /Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/ Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama/ semakin memperkonkret gambaran rakyat yang menderita.
Pada puisi ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini” hanya sedikit yang menggunakan bahasa kias. Metafora pada bait ketiga baris ketiga /...manusia bermata kuyu.../, manusia bermata kuyu adalah kiasan untuk rakyat yang kecil yang menderita. Personifikasi dapat kita lihat pada bait keempat baris kesatu /Dipukul banjir, gunung api kutuk dan hama/, jadi banjir, gunung api, kutuk dan hama dipersonifiasikan seperti sifat manusia yang bisa memukul. Namun demikian sarana retorika sangat kental digunakan untuk mengemukakan protes sosial. Misalnya Ironi pada bait kedua baris keenam /duli tuanku?/ penyair menyindir pemimpin otoriter pada masa itu dengan sebutan ”duli tuanku?” yang artinya orang yang dihormati atau sebutan untuk raja. Jadi walaupun tujuan yang dikemukakan penyair adalah kritik yang cukup keras, namun dibungkus dengan wujud pengucapan bahasa yang lembut dan halus Selain itu sarkasme juga kental sekali dirasakan. Misalnya dalam bait kedua baris keempat /para pembunuh tahun yang lalu/ penyair menyebut para pemimpin dengan sebutan para pembunuh tahun yang lalu. Kata pembunuh disini maksudnya adalah orang yang kejam dan sewenang-wenang para pemimpin sewenang-wenang yang hanya mengutamakan kepentingan sendiri. Dalam hal ini penyair mengkritik para pemimpin dengan wujud pengucapan bahasa yang kasar dan melebih-lebihkan. Selain itu juga ditemukan sarana retorik paralelisme dalam puisi ini yaitu pada kalimat /Tidak ada pilihan lain. Kita harus/Berjalan terus/. Kalimat /tidak ada pilihan lain. Kita harus berjalan terus/ merupakan pengikat beberapa baris, diulang-ulang yaitu pada bait kesatu, ketiga dan kelima sehingga baris-baris itu bergelombang menimbulkan ritma.
Puisi di atas adalah puisi modern, bukan puisi lama dan bukan puisi baru (angkatan Pujangga Baru). Hal ini dapat kita lihat dari struktur baris dan baitnya. Adanya tanda titik di tengah baris menunjukkan perbedaan puisi tersebut dari puisi dari puisi lama dan puisi baru. Ada bait yang hanya terdiri dari dua baris dan dibubuhkan tanda titik di tengah baris. Hal ini dipergunakan penyair untuk menguraikan cerita yang kait-mengait.
Dari segi bentuk, puisi ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini” tidak terikat oleh pembagian bait, baris, maupun persajakan. Pada bait pertama terdiri dari empat baris, baris kedua terdiri dari enam baris, pada bait ketiga terdiri dari lima baris, dan bait keempat terdiri dari empat baris, dan pada baris kelima terdiri dari dua baris. Jika kita perhatikan rima dalam puisi di atas adalah bait kesatu aabb, bait kedua a-a-a-b-a-b, baris ketiga a-a-b-a-b,bait keempat a-a-a-a, dan baris kelima a-a. Dalam puisi tersebut juga terdapat perulangan bunyi vokal (asonansi) pada bait keempat baris kesatu /dipukul banjir, gunung, kutuk dan hama/ pada bait tersebut asonansi vokal u pada kata dipukul, gunung, kutuk dan asonansi vokal a pada kata banjir, api, dan hama.
Dari judulnya saja ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini” di atas, lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa judul ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik” Ini tersebut mengandung pengertian bahwa Taufiq Ismail mewakili ”kita”, yakni orang-orang yang nasibnya tidak diperhatikan di masa Orde Lama (rakyat). Penyair dengan tegas menyatakan bahwa kita (rakyat) adalah pemilik sah republik ini, yaitu Indonesia. Dan dengan tegas pula penyair menyatakan tidak ada pilihan lain/kita harus berjalan terus. Penyair menyatakan tidak ada alasan untuk tidak berjuang melawan kesewenang-wenangan karena berhenti atau mundur / berarti hancur. Rakyat akan semakin menderita. Penyair mengajak rakyat agar tidak mau kompromi lagi dengan para penguasa orde lama yang tidak memikirkan kepentingan rakyat. Kita tidak boleh menjual keyakinan/dalam pengabdian tanpa harga. Kita juga tidak boleh duduk satu meja/dengan para pembunuh tahun lalu. Kata pembunuh artinya kekuasaan sewenang-wenang para pemimpin yang mau menang sendiri. Rakyat diharapkan agar tidak lagi tunduk patuh kepada pemimpin otoriter (dalam setiap kalimat yang berakhiran duli tuanku). Penyair merasa bahwa rakyat sudah lama menderita, kalah, dan dijajah oleh penguasa bangsa sendiri /kita adalah manusia bermata kuyu/. Rakyat kecil tersisih tidak pernah turut menikmati hasil pembangunan /yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/. Selama ini rakyat diam dalam kekalahan dan ketakutan /bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka/. Penyair mengkritik pidato-pidato tanpa isi yang tidak bermanfaat bagi rakyat /tak punya kepentingan dengan seribu pengeras suara yang hampa suara/. Pada bait terakhir penyakit menegaskan lagi bahwa rakyat harus mempunyai ketetapan hati untuk membela keadilan dan kebenaran. Kita tidak boleh ragu seperti larik /tidak ada lagi pilihan lain/Kita harus/Berjalan terus.
Dari struktur isi puisi tersebut bertema tentang patriotisme, yaitu mengungkapkan perjuangan membela bangsa dan tanah air. Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras, sebenarnya puisi protes bertujuan untuk memperbaiki kehidupan. Penyair sadar akan puisinya untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi manusia meskipun hanya lewat kata-kata.
Perasaan penyair nampak sekali saat membahas bait demi bait. Perasaan geram terhadap ketidakadilan nampak sekali dalam puisi di atas. Perasaan geram itu ditonjolkan karena penyair merasa bahwa ketidakadilan sudah begitu merajalela. Penyair merasa tidak puas dan tidak setuju terhadap keadaan masyarakay yang dihadapi. Nada revolisuoner dan nada kritik nampak pada puisi tersebut. Nada kritik yang ditujukan kepada pemerintah karena tidak adil. Dan nada revolusioner yang dikemukakan agar rakyat terus menerus mengobarkan sikap patriotik untuk melanjutkan pembangunan. Amanat dalam puisi di atas ialah agar pemerintah mau memperhatikan rakyat kecil, meningkatkan kesadaran nasional pembacanya, pembaca harus berusaha agar dirinya tidak menjadi penonton pembangunan. oleh karena itu penyair memberi nasihat, mengatakan bahwa ”Kita Pemilik Syah Reublik Ini”. Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa nilai dalam puisi di atas adalah nilai patriotisme.

Apresiasi Puisi Dengan Pendekatan Sosiologis
Untuk melengkapi pemahaman global tentang puisi di atas kita perlu mengenal siapakah Taufiq Ismail dan periode pada saat puisi di atas diciptakan. Taufik Ismail Abdul gafar Ismail, itulah nama lengkap sastrawan yang lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1937. setelah menamatkan pendidikannya di SMA B negeri Pekalongan, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan di Bogor dan tamat pada tahun 1963, kemudian beberapa waktu lamanya ia bekerja di fakultas tersebut sebagai asisten pada bagian ilmu ternak, namun ia diberhentikan karenatermasuk salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan. Taufiq Ismail adalah pelopor puisi-puisi demonstrasi. Puisi-puisinya adalah puisi demonstrasi yang mengungkapkan tuntutan membela kebenaran dan keadilan. Selama menjadi mahasiswa ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Puisi Taufik Ismail menandakan suatu kebangkitan Angkatan 66 dalam dunia perpuisian Indonesia yang selama kurang lebih 5 tahun telah dikuasai oleh LEKRA. Sedangkan Taufiq Ismail adalah salah satu pengarang yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan. Puncak klimaks daripada sastra perlawanan dalam angkatan 66 adalah adanya sajak-sajak perlawanan yang lahir di tengah-tengah masa yang mengadakan aksi demonstrasi untuk mengajukan protes politik dan protes sosial, dan salah satunya adalah sajak-sajak Taufik Ismail.
Dari puisi yang berjudul ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik” ini lebih lanjut bisa disimpulkan bahwa pada saat penciptaan puisi itu terjadi ketidakadilan. Pada saat itu memang terjadi kemelut di berbagai bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Pada akhirnya rakyat kecillah yang menjadi korban. Terjadi penginjak-injakkan martabat manusia . kemelaratan, kemiskinan, dan penderitaan terjadi di mana-mana. Sekarang bagaimana sikap penyair terhadap kemelut politik dan pemerintahan yang benar-benar menjadikan rakyat kecil sebagai korban? Penyair menyuarakan dengan lantang bahwa ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini”, oleh karena itu kita harus maju, tidak hanya menjadi penonton pembangunan saja. Merdeka tetapi keadaan tetap menderita. Penyair menyadari bahwa selama bertahun-tahun negara seolah-olah menjadi pemilik segelintir penguasa yang berbuat apa saja semata-mata hanya untuk kepentingan golongan penguasa saja.
Lalu bagaimana sikap pembaca terhadap karya tersebut? Sikap pembaca adalah menerima dengan terbuka karena bacaan semacam itu sangat didambakan orang untuk memenuhi selera hatinya yang sudah begitu penuh dengan penderitaan batin itu. Pengaruh karya sastra tersebut bagi pembaca adalah sebagai penyemangat, meningkatkan kesadaran nasional pembacanya agar tidak hanya menjadi penonton pembangunan saja. Sikap patriotik harus terus menerus kita kobarkan dalam dada kita untuk melanjutkan pembangunan. Dalam hal ini penyair memberi nasihat mengatakan bahwa kita semua adalah pemilik sah republik ini. Efek positif bagi penyair adalah penyair secara praktis bisa menyumbangkan daya ciptanya dalam memberikan perlawanan terhadap kezaliman, dan kebatilan yang dilakukan para penguasa, penyair bisa membangkitkan semangat para pembacanya agar terus maju untuk membina rasa kesatuan dan rasa kenasionalan. Protes sosial yang terdapat dalam puisi tersebut adalah protes terhadap pemerintah utamanya para pemimpin agar menegakkan keadilan untuk rakyat kecil, tidak hanya mementingkan kepentingannya saja.


Puisi 2:


PERNYATAAN



Sebab terlalu lama meminta
konkret
tangan terkulai bagai dikoyak
konkret,                       simili
sebab terlalu pasrah pada derita
konkret, taktil

kesetiaan makin diinjak
personifikasi
Demi amanat dan beban rakyat
konkret
kami nyatakan ke seluruh dunia
konkret, visual
telah bangkit di tanah air
visual
sebuah aksi perlawanan
konkret, visual
terhadap kepalsuan dan kebohongan
konkret, visual

yang bersarang dalam kekuasaan
personifikasi
orang-orang pemimpin gadungan
sarkasme
Maka pagi ini
konkret, visual

dengan resmi
konkret
kami memulai
konkret, visual
aksi demonstrasi
konkret, visual
Pernyataan ini
auditori
disahkan di Jakarta
konkret
kami
konkret
Mahasiswa Indonesia
konkret                       


                       


            Dari: Perlawanan

Apresiasi Puisi dengan Menggunakan Pendekatan Analitik

Mansur Samin dalam karyanya yang berjudul ”Pernyataan” mencoba menunjukkan kepada pembaca tentang sebuah perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah. Dari segi bahasa, diksi yang digunakan sebagian besar adalah kata konkret, yaitu langsung merujuk pada makna sebenarnya. Dalam pemakaian kalimat yakni lebih cenderung kepada kalimat yang sederhana dan jelas artinya. Misalnya pada bait terakhir /pernyataan ini disahkan di Jakarta. Kami mahasiswa Indonesia/. Diksi tersebut bersifat denotatif atau bermakna yang sesungguhnya. Yaitu menunjukkan pernyataan para mahasiswa Indonesia yang memprotes pemerintah Orde Lama yang disahkan di Jakarta. Citraan atau imaji yang digunakan sebagian besar adalah imaji visual. Selain itu digunakan pula sarana retorika berupa sarkasme yang terdapat pada bait ke tiga, baris ke tiga /orang-orang pemimpin gadungan/. Dalam puisi-puisi yang bertemakan protes sosial, sering kali digunakan kata-kata yang kasar untuk menyebut pihak yang dikritik. Mansur Samin menyebut pemerintah Orde Lama dengan sebutan orang-orang pemimpin gadungan. Hal ini digunakan bukan karena penyair memiliki niat yang jelek, melainkan bertujuan untuk memperbaiki kehidupan.
Dari segi bentuk puisi ”Pernyataan” termasuk puisi bebas, karena puisi ini tidak terikat oleh bentuk, jumlah baris dan bait, rima, dan sebagainya. Mansur Samin hanya menumpahkan ketidakberterimaannya pada pemerintah Orde Lama. Meski begitu, dari kelima bait puisi ini hanya terdapat satu bait yang berima bebas, sedangkan yang lain berima a-b-a-b dan a-a-a-a.
Dari struktur isi, puisi Pernyataan bertemakan protes sosial yang sudah dibahas sebelumnya. Setelah memahami makna puisi tersebut, dapat kita ketahui bahwa melalui puisi tersebut penyair ingin menunjukkan perlawanan mahasiswa Indonesia kepada pemerintah Orde Lama pada saat itu.

Apresiasi Puisi dengan Menggunakan Pendekatan Sosiologis
Untuk melengkapi pemahaman kita tentang puisi Mansur Samin di atas kita harus mengenal sosok pengarang lebih jauh. Mansur Samin lahir di Batang Toru, Tapanuli pada tanggal 29 April 1930. Sastrawan ini dapat dikategorikan sebagai penyair demontrasi karena ada sebagian puisi-puisinya yang merupakan puisi demonstrasi. Mansur Samin menamatkan pelajarannya di SMA Solo. Setelah itu ia menjadi guru dan menggiatkan deklamasi di sekolahnya. Ia juga pernah menjadi redaktur siaran Sastra RRI Solo, menjadi redaktur mingguan Adil di Solo, menjadi redaktur majalah Cerpen di Jakarta, dan menjadi wartawan harian Merdeka di Jakarta. Sejak permulaan tahun 1966 ia pindah ke Jakarta dan mengikuti dari dekat pergolakan mahasiswa dan pemuda pelajar yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Tema dari puisi “Peryataan” ini adalah protes sosial. Pada periode Angkatan 66 mula-mula timbul dua kelompok karya sastra, yakni para pengarang Lekra dan para pengarang yang tergabung dalam kelompok Manifes Kebudayaan. Para pengarang Lekra menulis sajak-sajak, cerpen-cerpen, dan esei-esei yang dinyanyikan kemenangan perjuangan sedangkan para pengarang Manifes Kebudayaan menghasilkan karya sastra yang berisi keinginan membela martabat manusia, yakni yang ingin membela kebebasan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik. Perjuangan antara kedua kelompok tersebut akhirnya dimenangkan oleh kelompok kedua setelah pengkhianatan G 30 S/PKI dan Orde Lama ditumpas oleh Orde Baru. Puncak atau klimaks pada sastra perlawanan dalam periode ini ialah sajak-sajak Taufiq Ismail, Bur Rusuanto, Mansur Samin, Abdul Wahid Situmeang, dan lain-lainnya, yang ditulis di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar pada permulaan tahun 1966. Salah satu bentuk sastra perlawanan yang ditulis oleh Mansur Samin adalah “Peryataan”.
Dalam puisi tersebut Mansur Samin berusaha menggambarkan perlawanan para mahasiswa Indonesia terhadap pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, sehingga rakyat kecillah yang menjadi korban. Dalam hal ini mahasiswa berfungsi sebagai kontrol sosial yang membela kepentingan rakyat.
Efek positif yang dapat diperoleh oleh pembaca adalah bahwasannya kita sebagai kaum yang lemah, haruslah dapat mempertahankan harkat, martabat, serta harga diri kita. Meskipun para penguasa yang kuat sewenang-wenang menginjak-injak kita, tetapi kita harus bisa bangkit dari itu semua, kita harus memperjuangkan hak kita dengan perjuangan yang sangat keras meskipun suara kita nantinya tidak akan pernah dihiraukan.

Puisi 3:
DEMONSTRAN



Melengking ringkik kuda lepas kendali
Auditori,                      konkret
Suara yang telah lama hilang
                Auditori, taktil
Suara saksi yang tak diperlukan kesaksiannya
             Auditori, majas personifiksi
Suara yang dirindukan anak negeri
                 Auditori, taktil
Menghingarkan Ibu Kota
          Auditori, taktil
Membentur tembok istana
Visual, konkret, majas hiperbola

Mereka berangkat ke istana
          Visual, konkret
Tanpa upeti
Konotatif, visual
Karena bukan mau menghadap raja
              Visual, konkret



Mereka berbondong ke istana
            Visual, konkret
Barisan pemuda yang habis sabar
             Konotatif, visual
Menunggu janji
Konotatif, taktil

Bukan barisan kehormatan dalam acara resmi
                           Konotatif, visual

Barisan kebangkitan menjalarkan api
Konotatif, taktil
Menurut janji kepada pemimpin
Konotatif, visual
Siapa merasa bisa tahan
Konotatif, taktil
Dibanting gelombang datang beruntun
Konotatif, majas personifikasi
Musnahlah engkau pemimpin yang linglung
Konotatif, majas sarkasme



                                                                        Dari : Pembebasan

Apresiasi Puisi Dengan Menggunakan Pendekatan Analitik
Jika kita lihat dari karakteristik bahasa, yakni mengenai diksi/ pemilihan kata dalam sajak “Demonstran” ini lebih cenderung kepada kalimat panjang, sederhana, dan jelas. Pada puisi “Demonstran” ini, banyak mengungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap kelompoknya, dan kecaman keras pada pihak yang dikritik. Untuk pihak yang dikritik, para penyair menggunakan kata-kata yang kasar atau umpatan /Musnahlah engkau pemimpin yang linglung/. Selanjutnya mengenai imaji yang digunakan dalam sajak ini lebih banyak menggunakan imaji visual /Barisan pemuda yang habis sabar/, imaji taktil /Suara yang telah lama hilang/, serta auditori /Melengking ringkik kuda lepas kendali/, di sini cara penyampaian makna puisi agar bisa sampai kepada para pembaca dengan baik, lebih mengarah kepada suara, penglihatan, serta perasaan yang seolah-olah dapat digambarkan dengan mudah oleh kata-kata di dalam puisi ini. Untuk mendapat kepuitisan ialah dengan menggunakan bahasa kiasan. Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perjatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 1987:62). Dalam puisi ”Demonstran” ini, kiasan yang digunakan menggunakan majas metafora /Melengking ringkik kuda lepas kendali/. Yang dimaksudkan melengking ringkik kuda di sini bukanlah kuda yang sebenarnya, melainkan suara dari para demonstran yang dikiaskan sebagai lengkingan kuda. Jika kita telaah lebih dalam lagi, sarana retorika yang diambil di dalam puisi ini menggunakan tiga majas, yakni majas personifikasi /Dibanting gelombang datang beruntun/, majas sarkasme /Musnahlah engkau pemimpin yang linglung/, serta majas hiperbola /Membentur tembok istana/, sehingga dalam puisi ”Demonstran” ini juga tidak bisa lepas oleh majas-majas yang justru menambah kekuatan makna dari kata itu sendiri.
Jika kita lihat pada paragraf pertama tadi lebih menganilisis puisi ”Demonstran” dari segi karakteristik bahasa, maka pada pembahasan ini kita akan menganalisis puisi dari segi karakteristik bentuk bunyi, kita lihat di sini, bahwa pada puisi ”Demonstran” ini termasuk kedalam bentuk bebas, karena didalam puisi ini tidak terikat pada rima serta penataan larik yang keluar dari konvensional, aliterasi dan asonansi, serta onomatope. Jelaslah disini, bahwa pengarang mencurahkan kata-katanya disini sehingga menjadi sebuah puisi taerjadi secara spontanitas, dan tidak terlalu rumit memikirkan tentang rima, aliterasi dan asonansi, serta onomatope di dalamnya.
Mengenai struktur isi puisi pada sajak ini, tema yang dimbil lebih menekankan kepada protes sosial yang acapkali sering terjadi pada saat itu, sesuai dengan karakteristik pada puisi-puisi lain yang seangkatan dengannya, yakni Angkatan 66 yang lebih mengambil protes sosial sebagai tema kebanyakan puisi lainnya. Nada dan suasana puisi sikap penyair terhadap pembaca di sini, lebih menggambarkan susana kejiwaan yang dapat membangkitkan emosi yang sangat kuat oleh para demonstran terhadap para penguasa. Perasaan yang dapat diambil dalam puisi tersebut ialah perasaan marah yang meluap terhadap janji-janji para penguasa yang tak kunjung dapat ditepati. Amanat serta nilai yang dapat kita ambil di sini bahwasannya kita sebagai kaum yang lemah, haruslah dapat mempertahankan harkat, martabat, serta harga diri kita. Meskipun para penguasa yang kuat dengan seenaknya menginjak-injak kita, tetapi kita harus bisa bangkit dari itu semua, kita harus memperjuangkan hak kita dengan perjuangan yang sangat keras meskipun suara kita nantinya tidak akan pernah dihiraukan.

Apresiasi Puisi dengan Menggunakan Pendekatan Sosiologis
Sastrawan yang bernama Abdul Wahid Situmeang ini lahir di Sibolga, Tapanuli Sumatera Utara pada tanggal 22 Juni 1939. Setelah tamat SMEA Negeri, ia bekerja di Departemen Kesehatan (1957-1958) dan kemudian di Departemen Perdagangan. Sebagai Sastrawan ia menulis sajak yang pernah dimuat dalam Majalah Mimbar Indonesia dan Sastra.terbukti sebagi sastrawan yang banyak mengeluarkan sajak-sajaknya yang sebagian besar mengangkat tentang kehidupan sosial di dalamnya, tidak hanya Puisi ”Demonstran” saja yang ia hasilkan, melainkan terdapat sajak-sajak karyanya yang lain berjudul Bapak, Demonstran, Senjata, Kaki, Tanah Air, dan Kepada Pemimpin oleh H.B. Jassin dimuat dalam buku antaloginya yang berjudul Angkatan 66 Jilid II.
Sajak-sajak tersebut dikutipnya dari buku Abdul Wahid Situmeang yang berjudul ”Pembebasan”, kumpulan sajak dalam bentuk stensilan yang diterbitkan oleh sanggar ibukota pada tahun 1966. 
”Demonstran”, merupakan puisi yang menggambarkan keadaan sosial masyarakat pada saat itu yang sangat teraniaya karena hak-hak mereka yang tak kunjung ditepati. Puisi ”Demonstran” merupakan puisi sebagai ungkapan jiwa pengarang yang melihat secara jelas peristiwa-peristiwa demonstrasi mahasiswa yang terjadi, sebagai seorang sastrawan, tentunya Abdul Wahid Situmeang tidak dapat diam saja melihat peristiwa sosial yang sedang terjadi saat itu, dimana demonstrasi mahasiswa acapkali sering terjadi. Dari situlah timbul perlawanan pengarang yang ingin membela martabat manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik oleh kaum pengusa pada saat itu. Pengarang menciptakan puisi ini sebagai protes sosial dan protes politik terhadap penginjakan martabat manusia. Pengarang memahami dan merasakan bagaimana kemelaratan dan penderitaan rakyat Indonesia yang sampai di lembah penderitaan yang paling dalam akibat adanya kebijaksanaan politik luar negeri yang tidak realistis lagi dan petualangan dalam bidang ekonomi yang sudah sangat parah. Para demonstran pada masa itu yang tidak terkendali lagi /Melengking ringkik kuda lepas kendali/, yang sudah menelan beberapa korban jiwa, apalagi mahasiswa yang selama ini tunduk patuh terhadap rezim yang menindas mereka /suara yang telah lama hilang/, mereka yang sudah tidak didengar lagi aspirasinya /suara saksi yang tak diperlukan kesaksiannya/, pengarang di sini melihat secara langsung peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu, ia melihat para demonstran menuju ke istana tempat para pejabat berkuasa /mereka berangkat ke istana/. Mereka para demonstran, sudah tidak mau lagi bersabar kepada para pejabat yang hanya memberikan janji /barisan pemuda yang habis sabar menunggu janji/, mereka sudah tidak bisa lagi bertahan terhadap kebijaksanaan konyol yang diambil pemimpin dan mereka menuntut kebijaksanaan baru sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Efek positif yang pengarang berikan serta yang pembaca terima, bahwasannya kita sebagai kaum yang lemah, haruslah dapat mempertahankan harkat, martabat, serta harga diri kita. Meskipun para penguasa yang kuat dengan seenaknya menginjak-injak kita, tetapi kita harus bisa bangkit dari itu semua, kita harus memperjuangkan hak kita dengan perjuangan yang sangat keras meskipun suara kita nantinya tidak akan pernah dihiraukan.

Puisi 4:
RAKYAT


Rakyat ialah kita
konkret
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
konkret
di bumi di tanah tercinta
konkret, sinekdok
jutaan tangan mengayun bersama
konkret
membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
konkret, visual
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
konkret, visual
menaikkan layar menebar jala
konkret, visual
meraba kelam di tambang logam dan batu bara
konotatif, metafora
Rakyat ialah tangan yang bekerja
konkret

Rakyat ialah kita
konkret
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
konotatif, metafora
yang selalu berkata dua adalah dua
konkret
yang bergerak di simpang siur garis niaga
konotatif, metafora
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
konkret
Rakyat ialah kita
konkret
beragam suara di langit di tanah tercinta
konkret
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
konkret, auditif


suara kecapi di pegunungan jelita
konkret, auditif
suara bonang mengambang di pendapa
konkret, auditif
suara kecak di muka pura
konkret, auditif
suara tifa di hutan kebun pala
konkret, auditif
Rakyat ialah suara beraneka ragam
konkret

Rakyat ialah kita
konkret
puisi kaya makna di wajah semesta
konkret, hiperbola
di darat
konkret, visual
hari yang berkeringat
konkret,taktil,  personifikasi
gunung batu berwarna coklat
konkret, visual
di laut
konkret, visual
angin yang menyapu kabut
konkret, personifikasi
awan menyimpan topan
konkret, personifikasi
Rakyat ialah puisi di wajah semesta
konkret

Rakyat ialah kita
konkret
darah di tubuh bangsa
konotatif
debar sepanjang masa
konotatif, hiperbola


(Hartoyo Andangjaya)

Apresiasi Puisi dengan Menggunakan Pendekatan Analitik
Dapat dilihat, bahwa kata konkret mendominasi puisi ini. Kata konotatif terdapat pada /otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka/ ,/yang bergerak di simpang siur garis niaga/, /darah di tubuh bangsa/,dan /debar sepanjang masa/. Imaji visual terdapat pada /membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga/, /mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota/, dan /menaikkan layar menebar jala/. Serta terdapat pada /di darat/, /gunung batu berwarna coklat/, dan /di laut/. Imaji auditif terdapat pada /suara bangsi di rumah berjenjang bertangga/. Imaji taktil terdapat pada /hari yang berkeringat/.
Majas sinekdok terdapat pada /di bumi di tanah tercinta/. Majas metafora terdapat pada /meraba kelam/, yang berarti menjalankan suatu ketidakpastian, ”meraba” biasanya digunakan untuk mengetahui keberadaan benda nyata melalui indra peraba, namun di puisi ini digunakan pada kata ”kelam” yang bukan merupakan benda nyata, /menapak sepanjang jemaring angka-angka/, berarti bekerja keras untuk mendapatkan uang, umumnya ”menapak” digunakan untuk menunjukkan suatu rah yang dituju, yaitu jalan, /simpang siur garis niaga/, berarti kehidupan yang terus berubah-ubah, umumnya digunakan untuk jalan. Majas personifikasi terdapat pada /hari yang berkeringat/ berarti cuaca yang panas, ”berkeringat” umumnya digunakan untuk menyatakan manusia yang mengeluarkan air keringat di badannya, /angin yang menyapu kabut/, ”menyapu” lazimnya digunakan untuk manusia yang melakukan kegiatan ”sapu”, /awan yang menyimpan topan/ berarti di dalam ketenangan menyimpan suatu kekuatan yang besar, ”menyimpan” biasanya digunakan untuk manusia yang melakukan kegiatan ”simpan”.
Sarana retorika hiperbola terdapat pada /puisi kaya makna di wajah semesta/, rakyat adalah sesuatu yang memiliki banyak peranan di dalam suatu kehidupan berbangsa, /debar sepanjang masa/, yang berarti kehidupan yang terus berjalan selamanya. Pararelisme terdapat pada /Rakyat ialah kita/ yang diulang-ulang setiap baitnya.
Dilihat dari segi bentuk, puisi ini memiliki rima terikat a-a-a-a. Pembagian baris tiap bait tidak beraturan, bait pertama terdiri dari sembilan baris, bait kedua terdiri dari tigabelas baris, bait ketiga terdiri dari sembilan baris, dan bait keempat terdiri dari tiga baris. Perulangan bunyi atau asonansi banyak terdapat pada tiap bait di puisi ini.
Tema puisi ini adalah kedaulatan rakyat. Karena rakyat mempunyai suara yang penting dan menentukan kekuasaan. Pemerintah dan penguasa harus mencerminkan kepentingan rakyat.
Perasaan penyair terharu kepada rakyat yang terus bekerja keras dan tidak mengenal lelah demi kelangsungan hidupnya dan keluarganya.
Nada dan suasana bercerita bersifat memberitahu kepada pembaca tentang kehidupan bernegara yang tidak akan sanggup berjalan tanpa adanya rakyat.
Amanat yang terkandung adalah rakyat itu sebagai tonggak penting dalam kelangsungan pemerintahan dan negara, sekaligus dalam kehidupan berbangsa.

Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Sosiologis
            Hartoyo Andangjaya lahir di Solo pada tahun 1930 dan meninggal dunia pada tahun 1990 di kota Solo. Beliau pernah menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Pernah juga menjadi redaktur majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairannya sangat kental, sehingga beliau tidak mau bekerja di luar bidangnya itu.
Di dalam puisi ini terkandung segi sosial yaitu kepedulian kepada rakyat yang pada waktu itu tidak diperhatikan oleh pemerintah padahal rakyat adalah sesuatu yang sangat penting bagi kelangsungan pemerintahan.
Dengan puisi ini, diharapkan masyarakat mampu menilai karya sastra tersebut dengan konsep mereka sendiri. Apakah karya tersebut dapat memberikan efek positif atau bahkan memberikan efek negatif.
Dari tema puisi, dapat disimpulkan bahwa penyair begitu peduli dengan nasib rakyat yang saat itu masih berada dalam garis kemiskinan, dan penyair juga menyadari bahwa rakyat adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan suatu bangsa.
Bagi pembaca, puisi tersebut dapat mempengaruhi pandangan mereka dalam menilai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedang bagi penulis, bisa mendapatkan timbal balik dari pembaca karya sastra.
Protes sosial yang terkandung adalah kemiskinan yang melanda rakyat pada masa itu memberikan dampak bagi kehidupan mereka. Mereka harus bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan mereka, terus bekerja dengan tidak mengenal lelah walaupun pada masa itu pemerintah kurang peduli dengan kesengsaraan yang menimpa mereka. Padahal merekalah yang menggerakkan roda kehidupan suatu bangsa.



Puisi 5:
LAGU PEKERJA MALAM


Lagu pekerja malam
Konkret, auditori
Sesayup-sayup embun
Konkret, auditori, personifikasi
Antara dinamo menderam
Konkret, auditori
Pantun demi pantun
Konkret, auditori

Lagu pekerja malam
Konkret, auditori
Lagu padat damai
Konkret, taktil
Lagu tak terucapkan
Konkret, auditori
Jika duka pun usai
Konkret, taktil

Tangan yang hitam, tangan lelaki
Konkret, visual
Lengan melogam berpercik api
Konkret, visual

Dan batupun retak di lagu serak
Konotatif, visual, auditori
Majulah jalan, majulah setapak
Konkret, visual

Nada akan terulang-ulang
Konkret, auditori
Di antara lampu-lampu sepi
Konotatif, visual
Alangkah panjang, alangkah panjang
Konkret, taktil
Dinihari, o, dinihari!
Konkret, visual

Lagu pekerja malam
Konkret, auditori
Lagu tiang-tiang besi
Konotatif, auditori
Lagu tak terelahkan
Konkret, taktil
Memintas sepi
Konkret, taktil




Sastra, Th II No.6, 1962

Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Analitik
Puisi ini merupakan karya dari Goenawan Mohamad. Pada puisi ”Lagu Pekerja Malam” ini, banyak menggunakan kata konkret seperti /lagu pekerja malam/, /tangan yang hitam/, /tangan lelak majulah jalan/, /majulah setapak/, /lagu tak terelahkan/ /memintas sepi/ dan imaji auditori seperti /sesayup-sayup embun/, /antara dinamo menderam/, /nada akan terulang-ulang/. Penggunaan kta konotatif hanya sebagian saja, yakni terdapat pada /dan batupun retak di lagu serak/ yang berarti dapat menghancurkan sesuatu yang keras sekalipun. /Di antara lampu-lampu sepi/ yang berarti pada malam hari yang sepi hanya ditemani lampu-lampu. /Lagu tiang-tiang besi/ yang berarti dentuman-dntuman besi yang saling bergesekan. Sedangkan bahasa kiasnya tidak banyak digunakan. Dalam puisi ini hanya ada satu bahasa kias berupa personifikasi yang terdapat pada /Sesayup-sayup embun/ yang mana embun diibaratkan suara manusia yang sayup-sayup. Puisi ini menggunakan rima a-b-a-b pada bait satu, dua, empat, dan lima yang terdapat pada kata malam, embun, menderam, pantun, malam, damai, terucapkan, usai,ulng, sepi, panjang, dinihari, malam, besi, terelahkan, sepi. Sedangkan pada bait tiga menggunakan rima a-a-b-b yang terdapat pada kata lelaki, api, serak, dan setapak. Penggunaan aliterasi dapat dijumpai pada /Sesayup-sayup embun/, /Pantun demi pantun/tangan yang hitam, tangan lelaki. Penggunaan asonansi dapat dijumpai pada kata-kata /Lagu pekerja malam/Sesayup-sayup embun/Lagu padat damai/Jika duka pun usai/Tangan yang hitam, tangan lelaki/Majulah jalan, majulah setapak/Lagu tiang-tiang besi/Lagu tak terelahkan. Penggunaan ritma pada puisi ini tampak pada kata-kata /lagu..../ yang diulang-ulang. Selain itu, dalam puisi ini dapat ditemukan adanya pararelisme yang tampak pada /Lagu pekerja malam/ yang diulang-ulang setiap baitnya.

Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Sosiologis
Puisi ini diciptakan oleh Goenawan Mohamad. Beliau lahir di Batang pada 29 Juli 1942. Pernah kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kemudian melanjutkan ke jurusan Ilmu Politik College d’Europe, Brugge, Belgia (1965-1966), tidak tamat. Pernah menjadi wartawan Harian KAMI (1966-1970), pemimpin redaksi majalah Ekspress (1969-1970), redaksi majalah Horison (1967-1672), anggota Dewan Penasehat majalah Horison (sejak 1972). Tahun 1973 beliau mengikuti festival Penyair Internasional di Rotterdam. Ia adalah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan (1963). Pada tahun 1972, Goenawan Mohamad mendapatkan Anugerah Seni. Sebagai sastrawan, beliau di samping menggubah sajak, juga menulis esei dan menghasilkan karya terjemahan. Sajak-sajak dan esei-eseinya pernah dimuat harian Abadi dan majalah Sastra, Basis, Gelora, dan Horison. Esei-eseinya pernah mendapat hadiah pertama dari majalah Sastra untuk esei-esei yang dimuat pada majalah itu pada tahun 1963. Baik sajak-sajak maupun esei-eseinya banyak yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jepang.
Pada puisi ini penyair ingin menunjukkan tentang kerja keras para pekerja malam /lagu pekerja malam/sesayup-sayup embun/antara dinamo menderam/pantun demi pantun/. Pekerja malam dalam puisi ini dapat disamakan sebagai para kuli bangunan yang selalu bekerja keras siang malam. Penyamaan dengan kuli bangunan itu tampak pada /tangan yang hitam, tangan lelaki/. Aktivitas mereka setiap hari seakan-akan seperti lagu padat damai. Hal ini dilakukan karena demi menyambung hidup. Kesengsaraan ini terjadi karena setiap hari mereka harus bekerja keras seolah-olah /lagu tak terucapkan/jika duka pun usai/. Tapi tampakanya penyair ingin tetap memberi semangat lewat /majulah jalan, majulah setapak/. Semua aktivitas rutin itu telah menjadi /lagu tiang-tiang besi/lagu tak terelahkan/nada akan berulang-ulang/alangkah panjang/dinihari, o, dinihari/.
Pada puisi ini penyair ingin memberikan semacam kritik di mana pada kehidupan nyata pernah kita jumpai para kuli bangunan yang bekerja siang malam untuk mencari nafkah. Mereka terpaksa melakukannya demi kebutuhan ekonomi. Secara tersirat penyair juga ingin memberi kritikan pada orang-oarang yang memeperkerjakan para kuli bangunan tersebut agar tidak memperkerjakan mereka siang malam.
Tema yang terkandung dalam puisi ini adalah tema tentang protes sosial di mana penyair merasa tergugah dengan keadaan para kuli bangunan yang senantiasa bekerja siang malam tanpa lelah. Nada dan suasana dalam puisi ini menggunakan nada yang penuh belas kasih dengan menggunakan perasaan yang  terharu yang disampaikan oleh penyair. Amanat yang terkandung dalam puisi ini antara lain: jangalah memperkerjakan seseorang siang malam tanpa mengenal waktu, semua manusia memiliki hak yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dalam kehidupan, dan hendaknya kita saling menghargai dan toleransi satu sama lain.

PENUTUP
            Dari segi bentuknya, puisi-puisi Angkatan 66 pada umumnya masih meneruskan bentuk sajak yang dipergunakan oleh Angkatan 45 yakni sajak bebas. Jadi bentuk-bentuk sajak tidak bertambah. Hanya dalam pemakaian kalimat tampak suatu gejala umum yakni, lebih cenderung kepada penggunaan kalimat yang panjang, sederhana, dan jelas artinya. Ritma ataupun rima kurang mendapatkan perhatian penyair.
            Dalam Angkatan 66 yang lebih ditonjolkan adalah dari segi isi. Puisi protes dan demostrasi sangatlah dominan. Hal itu menggambarkan suasana yang sedang terjadi pada masa itu yaitu terjadinya kemelut dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh ulah teror politik yang dilakukan oleh PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Selain itu tema protes sosial dikemukakan begitu berapi-api, oleh karena itu slogan dan sarana retorika begitu kuat. Sarana retorika yang paling dominan adalah ironi dan sarkasme yang bertujuan untuk menyindir pemerintahan Orde Lama. Protes yang dikemukakan dalam Angkatan 66 ditujukan kepada Orde Lama dan juga kepincangan-kepincangan politik yang terdapat di dalamnya, selain itu juga ditujukan kepada para pemimpin yang sewenang-wenang dan tidak memikirkan kepentingan rakyat kecil. Selain isi yang dipentingkan adalah misi karya tersebut yaitu agar sampai kepada rakyat banyak dan dapat dibaca di kalangan luas. Dalam hal ini sastra benar-benar berfungsi sebagai alat perjuangan, seperti pamflet-pamflet yang sekian banyak beredar dan coretan-coretan di tembok-tembok seluruh kota.

DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung: Sinar Baru
Pradopo, Rachmad Djoko. 1989. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar