POTRET PROTES SOSIAL DALAM PUISI
ANGKATAN 66
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemilihan Puisi
Tahun 60-an adalah tahun-tahun subur bagi
kehidupan dunia perpuisian Indonesia (Waluyo, 2005:107). Angkatan 66 adalah salah satu angkatan dalam
pembabakan sastra Indonesia modern. Angkatan 66 lahir setelah ditumpasnya
gerakan G 30 S PKI. Lahirnya Angkatan 66 ini didahului oleh adanya kemelut
dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh teror politik
yang dilakukan oleh PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Sejak tahun 50-an
dalam dunia sastra Indonesia sudah terjadi berbagai macam polemik yang
berpangkal pada perbedaan politik. Pada masa itu memang terjadi kemelut dalam
segala bidang kehidupan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh PKI dan
ormas-ormas yang bernaung di bawahnya, pemerintahan Presiden Soekarno yang
otoriter, PKI yang telah berkhianat dari negara dan telah menyimpang dari UUD
dan falsafah Pancasila, dan LEKRA telah menjadi organ politik dari PKI. Rakyat
kecillah yang menjadi korban dari berbagai kemelut itu, terjadi
penginjak-injakan martabat manusia.
Kemelaratan, kemiskinan, dan penderitaan yang paling dalam akibat adanya
kebijaksanaan politik luar negeri yang sudah tidak realistis dan petualangan
dalam bidang ekonomi yang tidak kepalang tanggung. Situasi yang demikian itu
memberikan ciri khas hasil karya sastra pada periode ini. Di tengah-tengah
sajak-sajak yang menyanyikan kemenangan perjuangan yang ditulis oleh para
pengarang LEKRA, timbullah perlawanan para pengarang yang ingin membela
martabat manusia. Mereka tergabung dalam Manifes Kebudayaan. Mereka itu telah
bangkit menghasilkan sajak-sajak yang berisi protes sosial dan protes politik
terhadap penginjak-injakkan martabat manusia. Oleh karena itu kami memilih
Angkatan 66 sebagai bahan dalam makalah ini.
Puncak atau klimaks dari sastra perlawanan dalam
periode ini adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Bur Rasuanto, Mansur Samin, Abdul
Wahid Situmeang, Goenawan Muhammad, Hartoyo Andangjaya, dan lain-lainnya yang
ditulis di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar pada permulaan tahun
1966. Oleh sebab itu kami memilih para penyair tersebut karena mereka
menghasilkan sajak-sajak yang memberikan gambaran ciri khas pada periode ini.
Dari latar belakang di atas, sangatlah tepat jika
puisi-puisi Angkatan 66 untuk diapresiasi dengan menggunakan pendekatan
sosiologis karena banyak bertemakan protes-protes sosial. Selain digunakannya
pendekatan sosiologis, pendekatan analitik juga akan digunakan dalam setiap
apresiasi puisi karena pendekatan ini mutlak ada.
Tujuan Penulisan Hasil
Apresiasi
Dalam latar belakang telah dijelaskan bahwa
kegiatan apresiasi ini menggunakan pendekatan sosiologis di samping pendekatan
analitik yang berkaitan dengan tujuan suatu karya yang hendak disampaikan
kepada pembaca. Bisa disimpulkan jika dilihat dari pendekatan sosiologis
kegiatan apresiasi ini bertujuan mengungkapkan cerminan kehidupan masyarakat
melalui peristiwa sosial yang terjadi pada saat itu. Selain itu jika dilihat
dari pendekatan analitik, kegiatan apresisi ini bertujuan untuk menggambarkan
unsur intrisik suatu puisi serta mampu menghubungkan antara unsur yang satu
dengan yang lainnya, sehingga dapat diketahui hasil kegiatan apresiasi yang di
dalamnya terungkap pula karakteristik puisi pada Angkatan 66.
Pengertian Pendekatan Analitik dan Sosiologis
Pendekatan analitik adalah suatu pendekatan yang
berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan
ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen
instrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen instrinsik itu sehingga
mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun
totalitas bentuk maupun totalitas maknanya (Aminudin, 1987:44).
Prosedur kerja apresiasi dalam pendekatan analitik
puisi Angkatan 66 adalah mencari puisi Angkatan 66, membaca berbagai macam
puisi Angkatan 66 secara berulang-ulang, memahami berbagai macam puisi Angkatan
66, memilih beberapa puisi Angkatan 66 untuk dianalisis, menganalisis beberapa
puisi Angkatan 66, dan mengaplikasikan beberapa puisi Angkatan 66 yang telah
dianalisis dalam bentuk makalah.
Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang
bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat
(Semi, 1990:73). Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem
kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima
pengaruh dari masyarakat dan sekaligus dan mampu memberi pengaruh terhadap
masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra
yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota
masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari
lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.
Prosedur kerja apresiasi dalam pendekatan
sosiologis pada puisi Angkatan 66 adalah mengenali sosok pengarang dan
kehidupan sosialnya, mencari dan memahami segi sosial dalam karya sastra, telaah
aspek instrinsik karya sastra yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat dan
misi sastra, telaah sikap masyarakat terhadap karya sastra tersebut, telaah
sikap penyair terhadap segi sosial yang terjadi saat itu, telaah pengaruh karya
tersebut bagi pembaca dan juga bagi penulis (apa efek positif yang mereka
terima), telaah protes sosial yang terdapat di dalamnya.
KARAKTERISTIK STRUKTUR PUISI ANGKATAN 66
Karakteristik Bahasa
Diksi
Menurut Pradopo (1993:54) diksi adalah pemilihan
kata dalam sajak. Dalam Angkatan 66 tampak suatu gejala umum yakni lebih
cenderung kepada kalimat panjang, sederhana dan jelas. Pada puisi Angkatan 66
banyak mengungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan secara keras terhadap
kelompoknya dan kecaman keras pada pihak yang dikritik, karena puisi Angkatan
66 yang yang bertemakan protes sosial. Untuk pihak yang dikritik, para penyair
menggunakan kata-kata yang kasar atau umpatan.
...
Hari ini kita serahkan
mereka
Untuk digantung di tiang
keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
...
(Taufiq Ismail, Kemis
Pagi)
Sebaliknya untuk pihak yang dibela penyair menggunakan kata-kata yang manis
dan penuh pujian. Salah satu contohnya dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang
berjudul ”Rakyat”. Dalam puisi ini penyair menyebut bahwa rakyat adalah darah
di tubuh bangsa dan debar sepanjang masa. Rakyat mempunyai peranan penting bagi
negara.
...
Hari ini kita tangkap
tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini
mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta
kencana
Dengan suara lantang
mempertasanamakan
Kawula Dukana yang
berpuluh juta
...
(Taufiq
Ismail, Kemis Pagi)
Denotasi
Menurut Altenbernd dalam
Pradopo (1987: 58), denotasi adalah artinya yang menunjuk. Yaitu pengertian
yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau
diceritakan. Taufiq Ismail menggunakan denotasi pada puisinya yang berjudul
”Kembalikan Indonesia Padaku”.
...
Kembalikan
Indonesia
padaku
...
(Taufiq Ismail, Kembalikan Indonesia
Padaku)
Konotasi
Menurut Pradopo (1987:
58), konotasi yaitu arti tambahannya. Yaitu kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan
yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari seting yang dilukiskan itu.
Misalnya dalam puisi ”Kemis Pagi” karya Taufiq Ismail.
Hari ini kita tangkap
tangan-tangan kebatilan
Yang
selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan
menaiki kereta-kereta kencana
Dan
menggunakan materei kerajaan
Dengan
suara lantang memperatasnamakan
Kawula
dukana yang berpuluh juta
...
(Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
Pada puisi ini, penyair mengajak pembaca untuk
memberantas pemimpin yang semena-mena. Yang menggunakan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Imaji
Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata
yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair.
Melalui pengimajian, apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (imaji
visual), didengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil) (Waluyo,
2005:10).
Imaji Visual
Imaji visual adalah benda yang nampak
(Waluyo,1987:78). Dalam ”Perempuan-perempuan Perkasa”, Hatoyo Andangjaya
melukiskan kerja perempuan-perempuan yang dikagumi itu dengan imaji visual
sebagai berikut:
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
mereka
ibu-ibu berhati baja
perempuan-perempuan
perkasa
...
(Hartoyo Andangjaya,
Perempuan-perempuan Perkasa)
Selain itu, penerapan imaji visual tampak pada puisi ”Catatan Harian
Seorang Demonstran” karya Slamet Sukirnanto berikut ini:
Jaket kuning berlumur darah
Dengan
sedih kutatap kawan-kawan rebah
Di bumi, terik matahari kota Jakarta
O kita tahu apa arti ini semua
....
(Slamet Sukirnanto, Catatan Harian
Seorang Demonstran)
Imaji Auditori
Imaji auditori adalah penciptaan ungkapan oleh
penyair, sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara yang digambarkan oleh
penyair (Waluyo, 1989:11). Puisi ”Almanak” karya Goenawan Mohammad berikut ini
memiliki ungkapan yang dapat dinyatakan sebagai imaji auditif:
...
Antara bisik lembut Acoka
Atau
bising Zulkarnain
Dalam
ringkik kuda
(Goenawan Mohammad, Almanak)
Imaji Taktil
Imaji taktil adalah penciptaan ungkapan oleh
penyair yang mampu mempengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh
perasaannya (Waluyo, 1989:11). Dalam puisi “Asmaradana” karya Goenawan
Mohammad.
...
Lalu ia tahu perempuan
itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman
Ada tapak yang menjauh ke
utara,
Ia tak akan mencatat yang
telah lewat dan yang akan
Tiba
Karena ia tak berani
lagi.
(Goenawan Mohammad,
Asmaradana)
Bahasa Kias
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan
kepuitisan ialah dengan menggunakan bahasa kiasan. Adanya bahasa kiasan ini
menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan
terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 1987:62). Bahasa kiasan
ada bermacam-macam, namun meski bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal yang
umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara
menghubungkannya dengan sesuatu yang lain.
Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda
yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan ungkapan itu langsung berupa
kiasan (Waluyo, 1987:84). Contohnya dapat kita lihat pada karya Hartoyo Andangjaya yang berjudul
”Perempuan-perempuan Perkasa” di bawah ini :
...
Perempuan-perempuan
yang membawa bakul dalam kereta,
ke manakah mereka
Di
atas roda-roda baja mereka
berkendara
...
(Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan
Perkasa)
Hartoyo Andangjaya, dalam
“Perempuan-perempuan Perkasa” menciptakan metafora roda-roda baja untuk
mengiaskan kereta api.
Simili
Simili adalah kiasan yang tidak langsung. Benda
yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata
seperti, laksana, bagaikan, bagai, bak, dan sebagainya. Kadang-kadang juga
tidak digunakan kata-kata pembanding (Waluyo, 1987:84). Misalnya:
...
Hendak ke mana kita ini
semua
bagai kelompok lembu piara
digiring
seorang gembala
ke
rumah potong atau ke lapangan
jangan
kau tanya
...
(Abdul
Wahid Situmeang, Tanah Air)
Pada puisi tersebut penyair menyamakan kita semua dengan sekolompok lembu
piaraan yang sedang digiring oleh seorang penggembala.
Perumpamaan Epos
Menurut Pradopo (1987: )
perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) ialah perbandingan yang
dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan
sifat-sifat perbandingannya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase
yang berturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sangat panjang. Abdul Wahid
Situmeang dalam puisinya yang berjudul ”Tanah Air” membuat perumpamaan epos
sebagai berikut:
...
Hendak ke mana kita ini semua
bagai
kelompok lembu piara
digiring seorang gembala
ke rumah potong atau ke lapangan
jangan
kau tanya
...
(Abdul Wahid Situmeang, Tanah Air)
dalam puisi ini Abdul Wahid Situmeang membandingkan kita dengan lembu
piara. Kemudian perbandingannya dilanjutkan atau diperpanjang yaitu dibentuk
dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya. Dalam hal ini lembu piara
diperpanjang dengan kata /digiring
seorang gembala/ /ke rumah potong
atau ke lapangan/.
Personifikasi
Keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan
sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda
mati dianggap sebagai manusia atau persona, atau di”personifikasi”kan. Hal ini
digunakan untuk memperjelas pengambaran peristiwa dan keadaan itu (Waluyo,
1987:85). Sapardi Djoko Darmono dalam puisinya yang berjudul ”Percakapan dalam
Kamar” menggunakan personifikasi sebagai berikut:
Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tiba-
tiba menghela
nafas lalu berdiri.
Bunga plastik dan lukisan bercakap tentang seorang yang
berdiri
seperti bertahan terhadap sesuatu yang akan
menghancurkannya
...
(Sapardi Djoko Damono, Percakapan dalam
Kamar)
dalam puisi di atas penyair menggunakan kiasan personifikasi. Puntung
rokok, kursi, bunga plastik, dan lukisan dipersonifikasikan sebagai manusia,
yaitu bisa bercakap-cakap. Abdul Wahid Situmeang juga menggunakan kiasan
personifikasi dalam puisinya yang berjudul ”Tantangan” berikut :
...
Siapa lagi mau angkat
bicara
tentang
kejayaan dan kemegahan bangsa
di
atas ini bumi luka parah
bumi yang sabar dan ramah
...
(Abdul Wahid Situmeang, Tantangan)
Bumi dipersonifikasikan sebagai benda hidup atau manusia, yaitu bisa
terluka, /di atas ini bumi luka parah/.
Selain itu bumi juga dikiaskan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu sifat
sabar dan ramah.
Alegori
Alegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan
kiasan. Cerita kiasan atau lukisan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain
(Pradopo, 1987:71). Sapardi Djoko Damono membuat alegori sebagai berikut:
Seorang
wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang
melilit
sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya,
katanya
kepada suaminya, ”Alangkah indahnya kulit ular
itu
untuk tas dan sepatu!”
Lelaki
muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik
lengan
istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
(Sapardi Djoko Damono, Di Kebon Binatang)
Metonimia
Metonimia adalah kiasan pengganti nama. Bahasa ini
berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang
sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tertentu (Pradopo,
1987:77). Bahasa kias ini jarang ditemukan pemakaiannya dibanding metafora,
perbandingan, dan personifikasi. Fridolin Ukur menggunakan metonimia pada
sajaknya yang berjudul ”Cerita Kosong”. Penyair menggunakan kata ”mercedez” untuk menggantikan mobil.
...
Tiba-tiba
kau menghilang
di dalam mercedezmu
tinggal debu dan aku
kembali mendorong gerobak
(Fridolin Ukur, Cerita Kosong untuk
Gembong-gembong Tukang Bicara)
Sinekdoke
Sinekdoke adalah menyebutkan sebagian untuk maksud
keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo,
1987:85). Part pro toto (menyebut
sebagian untuk keseluruhan), pada Angkatan 66 kita dapat melihat part pro toto pada puisi karya Hartoyo
Andangjaya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa berikut ini:
...
sebelum
peluit kereta api terjaga
sebelum
hari bermula dalam pesta kerja.
Perempuan-perempuan
yang membawa bakul dalam kereta,
ke
manakah mereka
Di
atas roda-roda baja mereka
berkendara
...
(Hartoyo Andangjaya,
Perempuan-perempuan Perkasa)
Untuk melukiskan kereta api, Hartoyo Andangjaya mewakilinya dengan peluit
kereta api dan roda-roda baja. Penyair menyebutkan sebagian dari kereta api
untuk keseluruhan kereta api.
Selain itu bahasa kias
sinekdoke juga terdapat pada sajak Taufiq Ismail yang berjudul ”Seorang Tukang
Rambutan pada Istrinya”. Untuk melukiskan solidaritas rakyat kecil terhadap
para demonstran 1966, Taufiq Ismail mewakilinya dengan ”Seorang Tukang Rambutan
pada Isterinya”
...
Ya. Mahasiswa-mahasiswa
itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua
ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun
harganya
Sampai kita bisa naik bis
pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam
panas bukan main
Terbakar mukanya di atas
truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh
ikat rambutan kita, Bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rejeki
mereka
...
(Taufiq Ismail, Seorang Tukang Rambutan
pada Isterinya)
Untuk melukiskan korban-korban kekejaman Orde Lama khususnya mahasiswa
Universitas Indonesia yang berdemonstrasi, Slamet Sukirnanto melukiskankannya
dengan ”jaket kuning berlumur darah”.
...
Jaket kuning berlumur darah
Dengan sedih kutatap
kawan-kawan rebah
Di bumi, di terik
matahari kota Jakarta
...
(Slamet Sukirnanto, Catatan Harian
Seorang Demonstran)
Puisi tersebut menunjukkan peristiwa demonstrasi mahasiswa tahun 1966 dalam
menumbangkan rezim Orde Lama. Banyak korban-korban berjatuhan. Korban itu
berjaket kuning, yakni jaket para mahasiswa Universitas Indonesia.
Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang
berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik
perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan
penyair. Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena
pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh
penyairnya (Pradopo, 1987:94). Ada beberapa macam sarana retorika, namun setiap
periode atau angkatan sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang
digemari, bahkan setiap penyair mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan
memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya. Corak-corak atau jenis-jenis
sarana retorika tiap periode ditentukan atau sesuai dengan gaya sajaknya,
aliran, serta pahamnya.
Hiperbola
Menurut Waluyo (1987:85) hiperbola adalah kiasan yang
berlebih-lebihan. Penyair perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar
mendapat perhatian yang seksama dari pembaca. Penyair-penyair pada Angkatan 66
menggunakan hiperbola untuk menjelek-jelekkan sifat jelek pihak yang dikritik.
Taufik Ismail membuat hiperbola sebagai berikut :
...
Mereka yang merencanakan seratus mahligai
raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di
mancanegara
Dan memperoleh uang emas beratus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar
negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum
dari ibu kita
(Taufik
Ismail, Benteng)
Dalam puisi di atas taufik Ismail mengutuk rezim Orde Lama yang dipandang
telah menyelewengkan berbagai hal dan bersikap tamak sehingga menyengsarakan
rakyat. Kebejatan moral seolah tidak ditanggulangi, bahkan /merekalah penganjur zina secara terbuka/. Penguasa (kebejatan
moral penguasa) dilukiskannya sebagai penganjur zina secara terbuka. Lukisan
itu terlalu melebih-lebihkan. Dalam puisinya yang berjudul ”Kembalikan
Indonesia Padaku”, Taufik Ismail juga menggunakan hiperbola. /Hari depan Indonesia adalah Pulau Jawa yang
tenggelam karena seratus juta penduduknya/. Dalam puisi tersebut penyair terlalu melebih-lebihkan untuk
melukiskan hari depan Indonesia
Ironi
Dalam puisi pamflet, demonstrasi,
dan kritik sosial, banyak digunakan ironi yakni kata-kata yang bersifat berlawanan
untuk memberikan sindiran. Ironi dapat berubah menjadi sinisme dan sarkasme,
yakni penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik
(Waluyo, 1987:86). Nada ironi dapat kita hayati pada puisi Taufiq Ismail yang
berjudul “Yang Kami Minta Hanyalah” sebagai berikut:
...
Kirimkan kapur dan
semen insinyur ahli
Lupakan tersianya
sedekah berjuta-juta
Yang tak sampai kepada
kami
...
(Taufiq Ismail, Yang Kami Minta
Hanyalah)
penyair bertujuan untuk mengkritik dengan keras pemimpin pada masa itu
dengan menggunakan kata ”insinyur ahli”.
Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras namun dibungkus
dengan pengucapan bahasa yang lembut dan halus.
Sarkasme
Sarkasme ialah penggunaan kata-kata yang keras
dan kasar untuk menyidir atau mengkritik (Waluyo, 1987:86). Sarkasme dapat kita
hayati pada puisi “Cerita Kosong” karya Fridolin Ukur. Penyair menyindir dengan
kasar pemimpin Orde Lama yang “cuma
banyak bicara”, sudah sepuluh tahun menjabat (sejak kemerdekaan bangsa
Indonesia), tetapi keadaan rakyat masih menderita.
Jemu
aku dengar bicaramu
“kemakmuran
keadilan
kebahagiaan”
sudah 10 tahun engkau bicara
aku masih tak punya celana
(Fridolin Ukur, Cerita Kosong)
Selain itu kita dapat melihat
sinisme pada puisi karya Abdul Wahid Situmeang yang berjudul “Tantangan”
berikut ini.
Jangan
lagi kau bicara dan bicara
membeber cerita fitnah dan dusta
membela kerakusan hatimu yang hina
karena cukup kami kenal siapa kau sebenarnya
macam penghulu belantara
(Abdul Wahid Situmeang, Tantangan)
Penyair menyebut pemimpin pada saat itu dengan kata-kata yang kasar
yaitu “macam penghulu belantara”,
yang maksudnya rakus dan serakah.
Pararelisme
Menurut Slametmuljana (dalam Pradopo, 1987:97)
pararelisme (persejajaran) adalah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya
serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari
kaliamat yang mendahului. Contoh penerapan pararelisme dapat dilihat pada puisi
“Pidato Seorang Demonstran” karya Mansur Samin berikut ini:
...
rakyat diam saja
...
rakyat masih diam
saja
...
toh rakyat masih terus diam saja
...
apakah kita masih terus diam saja ?
(Mansur Samin, Pidato Seorang
Demonstran)
selain itu dapat pula kita jumpai pada puisi “Telah Gugur Beberapa Nama”
karya Bur Rusuanto berikut ini:
Telah gugur beberapa nama
Telah gugur
...
Telah gugur beberapa nama
Telah gugur
...
Telah gugur
beberapa nama
Telah gugur
...
(Bur Rusuanto, Telah Gugur Beberapa
Nama)
Dalam puisi di atas Bur Rusuanto menggunakan pararelisme, yaitu pada setiap awal bait, penyair menggunakan
kata /telah gugur beberapa nama/.
Dalam puisinya yang berjudul Tirani, Bur Rusuanto juga menggunakan pararelisme.
tirani adalah
...
tirani adalah
...
tirani adalah
...
tirani adalah
(Bur Rusuanto, Tirani)
Dalam puisi ini, Bur Rusuanto selalu mengawali tiap awal baitnya dengan
kata /tirani adalah/ yang maksudnya
adalah pengikat beberapa bait, sehingga baris-baris itu bergelombang dan
menimbulkan ritma.
Retorik retisense
Retorik retisense adalah sarana yang mempergunakan
titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan (Pradopo,
1987:97). Penggunaan retorik retisense dapat kita temui pada puisi “Doa di
Tengah-tengah Masa” karya Sapardi Djoko Damono.
...
dari kebohongan dan
penjajahan.
lindungilah kami, yang dengan gemuruh bergerak
dalam teriakan-teriakan, tangan-tangan terkepal,
agar tidak mabuk dan terpelanting ke dalam
jurang yang hampa .
. . . . . . . . .
...
(Sapardi Djoko Damono, Doa di Tengah-tengah Masa)
Selain itu, penggunaan retorik retisense dapat pula kita lihat dalam
karya Fridolin Ukur yang berjudul “Cerita Kosong” berikut ini:
...
kau ulang cerita:
. . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . .
tanganmu
dan tanganku,
dapat bikin ini negara
sempurna bahagia .
. . . . . . . . . . . .”
...
(Fridolin Ukur, Cerita Kosong)
Kita juga dapat menjumpai penggunaan retorik retisense pada puisi
“Muara” karya Sapardi Djoko Damono.
...
Dan ketika pada
suatu hari ada bangkai manusia
Terapung di muara.itu, di sana-sini timbul
Pusaran air, dan tepi-tepi muara tiba-tiba
Bersuara ribut : ‘Tidak ! Bukan aku yang
di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata,
membiarkan
dirinya terlempar ke bawah dan,
sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab
bahkan
lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubuk-
mu, tidaklah sedalam . . . . . . . . . .”
(Sapardi Djoko Damono, Muara)
Tautologi
Tautologi adalah sarana
retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata
atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar (Pradopo, 1987:95).
Dalam Angkatan 66 kita dapat melihat tautologi pada puisi “Doa di Tengah-tengah
Masa” karya Sapardi Djoko Damono
...
berseru dengan keras, dengan terkepal teracu,
bergegar bergerak;
wahai, lindungilah kami
dari nikmatnya mabuk dan lupa diri
dari nikmatnya mabuk dan lupa diri,
...
(Sapardi Djoko Damono, Doa di
Tengah-tengah Masa)
Pada puisi “Doa di Tengah-tengah Masa”, Sapardi Djoko Damono menggunakan
kata yang artinya sama atau hampir sama dengan kata sebelumnya, yaitu /bergegar bergerak.../.
Goenawan Moammad juga menggunakan tautologi pada puisinya yang berjudul
“Almanak”. Penyair mengulang kata yang hampir sama maknanya yaitu hitam legam.
...
di benteng-benteng kejauhan, sayang, dan
di kaki langit yang hitam
legam
dan di hari-hari
dari tengah-tengah Nagasaki merangkan Asia yang sepi
...
(Goenawan Mohammad, Almanak)
Pleonasme
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana
retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang sebenarnya
telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal
yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar (Pradopo,
1987:95). Kita dapat menemukan pleonasme pada puisi yang berjudul “Muara” karya
Sapardi Djoko Damono.
...
Dan ketika pada
suatu hari ada bangkai manusia
Terapung di muara.itu, di sana-sini timbul
Pusaran air, dan tepi-tepi muara tiba-tiba
Bersuara ribut : ‘Tidak ! Bukan aku yang
di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata,
membiarkan
dirinya terlempar ke bawah dan,
sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab
bahkan
lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubuk-
mu, tidaklah sedalam . . . . . . . . . .”
(Sapardi Djoko
Damono, Muara)
Karakteristik Bentuk Puisi
Perulangan Bunyi
Rima
Rima ialah pengulangan bunyi dalam puisi untuk
membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu puisi
menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga
mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi
mendukung perasaan dan suasana puisi (Waluyo, 1987:90). Ada beberapa puisi
Angkatan 66 yang menggunakan rima yang terikat, seperti pada puisi “Demontrasi”
karya Gerson Poyk berikut ini:
Wajah-wajah
terbakar mentari
Semangatnya terbakar mentari
Tak ada tempat berteduh di sini
Suara resah tambah meninggi
Yang pawai ini
Atau berdiri berjam-jam menanti
Jawaban yang pasti
...
(Gerson Poyk, Demonstrasi)
dari kutipan
puisi di atas dapat kita lihat persamaan bunyi yang terdapat pada akhir baris
yang berpola a-a-a-a.
Namun, karena pada Angkatan 66 didominasi oleh
gaya prosais maka rima dan ritma dalam puisi kurang mendapatkan perhatian dari
penyair yang lebih dipentingkan adalah isi.
Asonansi
Asonansi adalah perulangan bunyi vokal (Waluyo,1987:92).
Dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul ”Perempuan-perempuan Perkasa”.
Perempuan-perempuan yang
membawa bakul di pagi buta,
dari manakah
mereka
Ke stasiun kereta mereka
datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta api terjaga
sebelum hari bermula
dalam pesta kerja.
Perempuan-perempuan yang
membawa bakul dalam kereta,
ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja
mereka berkendara,
Mereka berlomba dengan
surya menuju ke gerbang kota
merebut hidup di
pasar-pasar kota
...
(Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan
Perkasa)
Aliterasi
Perulangan bunyi pada suku
kata pertama (Waluyo, 1987: 92). Dalam puisi Mansur Samin yang berjudul ”Pidato
Seorang Demonstran”. /Mereka telah tembak teman kita/
Verifikasi
Ritma
Menurut Waluyo (1987: 90), ritma sangat
berhubungan dengan bunyi dan juga dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan
kalimat.
Perempuan-perempuan yang
membawa bakul di pagi buta,
dari manakah mereka
...
Perempuan-perempuan yang
membawa bakul dalam kereta
ke manakah mereka
...
Perempuan-perempuan yang
membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
...
(Hartoyo Andangjaya, Perempuan-perempuan
Perkasa)
Puisi di atas terdiri dari tiga bait, dalam
tiap-tiap bait diikat dengan frase: /perempuan-perempuan
yang membawa bakul di pagi buta .../. Ikatan itu membentuk ritma puisi. Jawaban atas ikatan itu merupakan
perkembangan gagasan dalam tiga bait itu, yakni: /dari manakah mereka/, /ke manakah mereka/, dan
/siapakah mereka/.
Soneta
Soneta adalah puisi empat
belas larik dengan pola rima tertentu.
Siapa
menggores di langit biru
Siapa
meretas di awan lalu
Siapa
mengkristal di kabut itu
Siapa
mengertap di bunga layu
Siapa
cerna di warna ungu
Siapa
bernafas di detak waktu
Siapa
berkelebat setiap ku buka pintu
Siapa
mencair di bawah pandangku
Siapa
terucap di celah kata-kataku
Siapa
mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa
tiba menjemput berburu
Siapa
tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa
meledak dalam diriku
: siapa Aku
(Sapardi Djoko Damono, Sonet: X)
Bentuk Konvensional
Puisi dalam Angkatan 66
cenderung menggunakan puisi konvensional. Yakni adanya pembicaraan langsung dan
adanya bait yang hanya terdiri atas satu baris. Ada juga bait yang terdiri atas
satu baris. Ada juga bait yang terdiri dari dua dan tiga baris yang membubuhkan
tanda titik di tengah baris. Hal ini dipergunakan penyair untuk menguraikan
cerita yang kait-mengait. Tingkat kepadatan gagasan yang dikemukakan pada
setiap bait tidak sama, oleh sebab itu terdapat bait yang terdiri atas tiga
baris, dua baris, dan satu baris. Pembicaraan langsung merupakan pengikat
narasi, dan juga menjadi inti gagasan dalam renungan yang bersifat filosofis
dari penyair.
”Batik
Madrim, Batik Madrim, mengapa harus patihku
Mengapa harus seorang
mencintai kesetiaan lebih dari
kehidupan dan sebagainya
dan sebagainya?”
(Goenawan Mohammad, Dongeng Sebelum
Tidur)
Pada kutipan puisi di atas, mengandung maksud
pertanyaan sang raja merupakan misteri yang sulit mendapatkan jawaban dan
merupakan renungan yang membuat manusia sadar akan eksistensinya. Manusia
sering memilih tindakan berdasarkan atas sesuatu yang terlalu diyakini dan
membuang pilihan lainnya, kendatipun secara rasional kedua alternatif tersebut
sama pentingnya.
Karakteristik Isi
Karakteristik isi puisi pada Angkatan 66
bertemakan protes sosial. Protes sosial dikemukakan begitu berapi-api. Protes
yang dikemukakan dalam Angkatan 66 ditujukan kepada kemunafikkan dan
kesewenang-wenangan pemerintahan pada masa Orde Lama. Dalam puisi-puisi protes
sosial makna karya sastra sering dibungkus dengan bahasa yang kasar atau
berlebih-lebihan, namun demikian karya-karya protes sosial sering pula begitu
lembut. Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras namun
dibungkus dengan wujud pengucapan bahasa yang lembut dan halus. Sebenarnya
kritik yang diberikan dalam puisi protes bertujuan untuk memperbaiki
kehidupan.Setiap penyair sadar akan puisinya untuk memperjuangkan keadilan,
kebenaran, dan hak-hak azasi manusia meskipun hanya lewat kata-kata.
Jika nada merupakan sikap penyair terhadap
pembaca, bisa disimpulkan Angkatan 66 nada kritik dikemukakan begitu
berapi-api. Nada kritik yang disampaikan penyair dapat menimbulkan suasana
penuh pemberontakkan bagi pembaca.
Amanat yang hendak disampaikan penyair dapat
ditelaah setelah memahami tema dan nada puisi (Waluyo, 1987:130). Pada Angkatan
66, amanat yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca yaitu agar
pembaca mau merenungi dan mau memperjuangkan harkat dan martabatnya. Jika
rakyat hanya diam dan pasrah saja menerima keadaan, martabat rakyat akan terus
diinjak-injak. Oleh karena itu keadilan, kebenaran, hak-hak azasi harus
diperjuangkan.
Tema
Menurut Herman Waluyo
(1987: 106), tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau
pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi
landasan utama pengucapannya. Jika yang kuat adalah dorongan untuk memprotes
ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial.
Mansur Samin, dalam
puisinya yang berjudul “Pidato Seorang Demonstran”, mengkritik dan memprotes
pemimpin dan para menteri pada masa itu.
. . .
Ketika produksi negara
kosong
para pemimpin asyik
ngomong
tapi harga-harga terus
menanjak
sebab percaya diatasi
dengan mupakat
rakyat masih diam saja
...
(Mansur Samin, Pidato Seorang
Demonstran)
Bisa disimpulkan tema puisi di atas adalah protes sosial karena dorongan yang
kuat yang kuat adalah dorongan untuk memprotes ketidakadilan, mengkritik
pemimpin yang cuma”asyik ngomong”,
hanya memberikan janji-janji, padahal harga terus naik.
Puisi “Dari Seorang Guru kepada
Murid-muridnya” karya Hartoyo Andangjaya, melukiskan penderitaan ekonomi
seorang guru pada masa itu.
. . .
Kalau di hari Minggu
engkau datang ke rumahku
Aku takut, anak-anakku
Kursi-kursi tua yang di
sana
Dan meja tulis sederhana
Dan jendela-jendela yang
tak pernah diganti kainnya
Semua padamu akan
bercerita
Tentang hidupku di rumah
tangga
. . .
(Hartoyo Andangjaya, Dari Seorang Guru kepada
Murid-muridnya)
Puisi di atas bertemakan tentang keadilan sosial. Penyair mengisahkan
tentang penderitaan dan kemiskinan seorang guru. Tema keadilan sosial bertujuan
agar pembaca turut memikirkan kesejahteraan guru.
Dua puisi di atas sudah cukup mewakili tema-tema
puisi pada Angkatan 66. Sebagian besar puisi pada Angkatan 66 bertemakan protes sosial.
Kebanyakan kritik sosial pada Angkatan 66 mengemukakan tentang ketidakadilan.
Ketidakadilan dalam bidang politik, pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Dalam
berbagai sektor kehidupan terjadi ketidakadilan sehingga penyair merasa perlu
memberikan kritiknya.
Perasaan
Puisi mengungkapkan perasaan penyair (Waluyo,
2005:39). Pada Angkatan 66 perasaan geram terhadap ketidakadilan nampak sekali.
Dalam menghadapi ketidakadilan, perasaan penyair yang satu berbeda dengan
penyair yang lain. Taufiq Ismail sangat menonjolkan perasaan geram itu karena
penyair merasa bahwa ketidakadilan sudah begitu merajalela. Seperti dalam puisi
Taufiq Ismail yang berjudul “Kemis Pagi” di bawah ini :
...
Hari ini kita serahkan
mereka
Untuk
digantung di tiang Keadilan
Penyebar
bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun
lamanya.
...
(Taufiq Ismail, Kemis Pagi)
berbeda dengan Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Darmono juga mengemukakan
kritik terhadap ketidakadilan, namun dengan perasaan yang mengendap, sabar,
penuh pertimbangan, dan perenungan. Seperti dalam sajaknya yang berjudul “Doa
di Tengah-tengah Masa”.
wahai, lindungilah kami
dari kemusnahan yang sia-sia
berjuta rakyat-Mu yang
sedang gemuruh bergerak,
dalam teriakan-teriakan,
dengan tangan-tangan terkepal,
di bawah matahari yang
leleh; ya, lindungilah kami
dari dusta dan tipu daya,
dari hasutan-hasutan bergula.
...
(Sapardi Djoko Darmono, Doa di
Tengah-tengah Masa)
Nada dan Suasana
Menurut Waluyo (1987:125) nada merupakan sikap
penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah
membaca puisi sebagai akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap
pembaca. Pada Angkatan 66 nada kritik yang ditimbulkan penyair menimbulkan
suasana penuh pemberontakan bagi pembaca. Seperti dalam puisi yang berjudul
“Pidato Seorang Demonstran” karya Mansur Samin.
...
Mereka telah diupah oleh
jerih orang tua kita
tapi tak tahu cara terima
kasih, bahkan memfitnah:
Kita dituduh mendongkel
wibawa kepala negara
apakah kita masih terus
diam saja ?
(Mansur Samin, Pidato
seorang Demonstran)
Amanat
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat
ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada dari puisi itu. Amanat
merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya (Waluyo,
1987:130). Dalam puisi-puisi protes sosial, makna karya sastra yang tinggi
sering dibungkus dengan pengucapan bahasa yang kasar atau berlebih-lebihan.
Kritik yang diberikan dalam puisi protes bertujuan untuk memperbaiki kehidupan.
Tidak ada penyair yang berniat jelek dengan puisinya. Setiap penyair sadar akan
misinya untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi manusia
meskipun hanya lewat kata-kata.
Karya-karya protes sering pula begitu lembut.
Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras, namun
dibungkus dengan wujud pengucapan yang lembut dan halus. Puisi-puisi pada
Angkatan 66, memiliki amanat yang sangat berguna bagi hidup kita, yaitu agar
pembaca mau merenungi dan mau memperjuangkan harkat dan martabatnya. Jika
rakyat hanya pasrah dan diam saja menerima keadaan, martabat rakyat akan terus
diinjak-injak. Oleh karena itu, keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi harus
diperjuangkan.
Dari amanat dan tema
puisi-puisi Angkatan 66, kita bisa menyimpulkan nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya. Di dalam tema kritik sosial, diungkapkan nilai politik, nilai sosial,
nilai moral, maupun nilai ekonomi.
...
Yang kami minta hanyalah
sebuah bendungan saja
Tidak tugu atau tempat
main bola
Yang mancur warna-warni
Kirimkan kapur dan semen
insinyur ahli
Lupakan tersianya sedekah
berjuta-juta yang tak sampai kepada kami.
Bertahun-tahun kita
merdeka, Bapa
Yang kami minta hanyalah
sebuah bendungan saja
Kabulkanlah kiranya.
(Taufiq Ismail, Yang Kami Minta
Hanyalah)
Sajak di atas menunjukkan ekspresi jiwa Taufiq Ismail yang menghendaki agar
para pemimpin memikirkan kebutuhan yang langsung berhubungan dengan hajat hidup
rakyat. Air mancur, tugu, dan tempat main bola, tidak diminta oleh rakyat. Yang
mereka minta hanyalah sebuah bendungan. Kita bisa menyimpulkan amanat yang
terkandung dalam puisi tersebut adalah agar para pemimpin memperhatikan nasib
rakkyatnya. Nilai yang terkandung dalam puisi tersebut ialah nilai sosial.
HASIL APRESIASI PUISI
ANGKATAN 66 DENGAN PENDEKATAN ANALITIK DAN SOSIOLOGIS
Puisi 1:
KITA ADALAH PEMILIK SAH
REPUBLIK INI
Tidak ada lagi
plihan. Kita harus
Konkret,visual
Berjalan terus
Konkret,visual
Karena
berhenti atau mundur
Konkret,visual
Berarti hancur.
Konkret, taktil
Apakah akan kita jual
keyakinan kita
Konkret,taktil
Dalam pengabdian
tanpa harga
Konkret,taktil
Akan maukah kita duduk
satu meja
Konkret,visual
Dengan para
pembunuh tahun yang lalu
Konotatif,taktil,sarkasme
Dalam setiap
kalimat yang berakhiran :
”Duli Tuanku?”
ironi
Tidak ada lagi
pilihan lain. Kita harus
Konkret,visual
Berjalan
terus.
Konkret,visual
Kita adalah manusia
bermata kuyu, yang di tepi jalan
Konotatif,visual,metafora
Mengacungkan
tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Konotatif,visual
Kita adalah berpuluh
juta yang bertahun hidup sengsara
Hiperbola,taktil
Dipukul
banjir, gunung api, kutuk dan hama
Personifikasi,taktil
Dan
bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Konkret,auditor, ironi
Kita yang tak
punya kepentingan dengan seribu slogan
Konotatif,auditori
Dan seribu
pengeras suara yang hampa suara.
Konotatif,auditori
Tidak ada lagi
pilihan lain. Kita harus
Konkret,visual
Berjalan
terus.
Konkret,visual
Dari: Tirani
Apresiasi Puisi dengan Menggunakan
Pendekatan Analitik
Puisi ini dibuka dengan kalimat yang baik oleh
penyair. Penyair dengan tegas menyatakan bahwa kita (rakyat) adalah pemilik sah
republik ini. Diksi yang digunakan Taufiq Ismail langsung menyaran ke gagasan
pokok dalam puisi tersebut. Diksi yang digunakan kebanyakan adalah kata
konkret. Dalam pemakaian kalimat yakni lebih cenderung kepada kalimat yang
panjang, sederhana, dan jelas artinya. Dalam perbendaharaan kata, Taufiq Ismail
memilih kata-kata khas. Banyak diungkapkan kata-kata yang berisi pembelaan
secara keras terhadap kelompoknya (rakyat) dan kecaman keras kepada pihak yang
dikritik. Oleh sebab itu untuk pihak yang dikritik digunakan kata-kata kasar
atau umpatan, kadang juga digunakan kata-kata yang manis dan lembut dengan
maksdu menyindir secara keras, sebaliknya untuk pihak yang dibela digunakan
kata-kata manis penuh pujian dan penghargaan. Hal itu bisa kita lihat pada bait
kedua, baris ketiga /Dengan para pembunuh
tahun lalu/. Untuk pihak yang dikritik digunakan kata-kata kasar, yaitu
para pembunuh tahun lalu. Kata pembunuh disini maksudnya adalah orang-orang
yang kejam dan sewenan-wenang, para pemimpin yang hanya mementingkan
kepentingan pribadi. Dalam hal ini penyair mengkritik pemimpin dengan wujud
pengucapan bahasa yang kasar dan berlebih-lebihan. Namun demikian, pada bait
kedua baris keenam, /”Duli Tuanku?”/,penyair
menggunakan kata yang halus padahal tujuannya adalah menyindir keras. Pemilihan
kata duli tuanku dirasa kebih intens untuk mengemukakan tujuan penyair. Kata
tersebut halus namun mengesankan sindiran keras. Penyair menyindir pemimpin
pada masa itu dengan sebutan duli tuanku yang artinya orang yang dihormati atau
sebutan untuk raja. Sebaliknya untuk pihak yang dibela penyair menggunakan
kata-kata yang manis penuh pujian dan pembelaan. Hal itu bisa kita lihat dalam
bait keempat baris ketiga /kita adalah
manusia bermata kuyu yang di tepi jalan/ dan juga pada baris kelima /Kita adalah berpuluh juta yang bertahun
hidup sengsara/. Penyair menggunakan pembelaan secara keras untuk
kelompoknya.
Pengimajian dan kata
konkret juga digunakan dalam puisi tersebut. Dengan pengimajian dan kata
konkret diharapkan pembaca dapat membayangkan gambaran yang terjadi pada masa
itu. Imajivisual yang berbunyi /Kita
adalah manusia yang bermata kuyu, yang di tepi jalan/ Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/ memperkonkret
gambaran tentang rakyat yang menderita, kalah, dan dijajah oleh penguasa bangsa
sendiri. Imaji taktil yang berbunyi /Kita
adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/ Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama/ semakin memperkonkret
gambaran rakyat yang menderita.
Pada puisi ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini”
hanya sedikit yang menggunakan bahasa kias. Metafora pada bait ketiga baris
ketiga /...manusia bermata kuyu.../,
manusia bermata kuyu adalah kiasan untuk rakyat yang kecil yang menderita.
Personifikasi dapat kita lihat pada bait keempat baris kesatu /Dipukul banjir, gunung api kutuk dan hama/,
jadi banjir, gunung api, kutuk dan hama dipersonifiasikan seperti sifat manusia
yang bisa memukul. Namun demikian sarana retorika sangat kental digunakan untuk
mengemukakan protes sosial. Misalnya Ironi pada bait kedua baris keenam /duli tuanku?/ penyair menyindir pemimpin
otoriter pada masa itu dengan sebutan ”duli
tuanku?” yang artinya orang yang dihormati atau sebutan untuk raja. Jadi
walaupun tujuan yang dikemukakan penyair adalah kritik yang cukup keras, namun
dibungkus dengan wujud pengucapan bahasa yang lembut dan halus Selain itu
sarkasme juga kental sekali dirasakan. Misalnya dalam bait kedua baris keempat
/para pembunuh tahun yang lalu/
penyair menyebut para pemimpin dengan sebutan para pembunuh tahun yang lalu. Kata pembunuh disini maksudnya adalah orang yang kejam dan
sewenang-wenang para pemimpin sewenang-wenang yang hanya mengutamakan
kepentingan sendiri. Dalam hal ini penyair mengkritik para pemimpin dengan
wujud pengucapan bahasa yang kasar dan melebih-lebihkan. Selain itu juga
ditemukan sarana retorik paralelisme dalam puisi ini yaitu pada kalimat /Tidak ada pilihan lain. Kita harus/Berjalan terus/. Kalimat /tidak
ada pilihan lain. Kita harus berjalan
terus/ merupakan pengikat beberapa baris, diulang-ulang yaitu pada bait
kesatu, ketiga dan kelima sehingga baris-baris itu bergelombang menimbulkan
ritma.
Puisi di atas adalah puisi modern, bukan puisi
lama dan bukan puisi baru (angkatan Pujangga Baru). Hal ini dapat kita lihat
dari struktur baris dan baitnya. Adanya tanda titik di tengah baris menunjukkan
perbedaan puisi tersebut dari puisi dari puisi lama dan puisi baru. Ada bait
yang hanya terdiri dari dua baris dan dibubuhkan tanda titik di tengah baris.
Hal ini dipergunakan penyair untuk menguraikan cerita yang kait-mengait.
Dari segi bentuk, puisi ”Kita Adalah Pemilik Sah
Republik Ini” tidak terikat oleh pembagian bait, baris, maupun persajakan. Pada
bait pertama terdiri dari empat baris, baris kedua terdiri dari enam baris,
pada bait ketiga terdiri dari lima baris, dan bait keempat terdiri dari empat
baris, dan pada baris kelima terdiri dari dua baris. Jika kita perhatikan rima
dalam puisi di atas adalah bait kesatu aabb, bait kedua a-a-a-b-a-b, baris
ketiga a-a-b-a-b,bait keempat a-a-a-a, dan baris kelima a-a. Dalam puisi
tersebut juga terdapat perulangan bunyi vokal (asonansi) pada bait keempat
baris kesatu /dipukul banjir, gunung,
kutuk dan hama/ pada bait tersebut asonansi vokal u pada kata dipukul, gunung, kutuk
dan asonansi vokal a pada kata banjir,
api, dan hama.
Dari judulnya saja ”Kita Adalah Pemilik Sah
Republik Ini” di atas, lebih
lanjut dapat disimpulkan bahwa judul ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik” Ini tersebut
mengandung pengertian bahwa Taufiq Ismail mewakili ”kita”, yakni orang-orang yang nasibnya tidak diperhatikan di masa
Orde Lama (rakyat). Penyair dengan tegas menyatakan bahwa kita (rakyat) adalah
pemilik sah republik ini, yaitu Indonesia. Dan dengan tegas pula penyair
menyatakan tidak ada pilihan lain/kita
harus berjalan terus. Penyair menyatakan tidak ada alasan untuk tidak berjuang
melawan kesewenang-wenangan karena berhenti
atau mundur / berarti hancur. Rakyat akan semakin menderita. Penyair
mengajak rakyat agar tidak mau kompromi lagi dengan para penguasa orde lama
yang tidak memikirkan kepentingan rakyat. Kita tidak boleh menjual keyakinan/dalam pengabdian tanpa harga. Kita juga tidak
boleh duduk satu meja/dengan para
pembunuh tahun lalu. Kata pembunuh
artinya kekuasaan sewenang-wenang para pemimpin yang mau menang sendiri. Rakyat
diharapkan agar tidak lagi tunduk patuh kepada pemimpin otoriter (dalam setiap kalimat yang berakhiran duli
tuanku). Penyair merasa bahwa rakyat sudah lama menderita, kalah, dan
dijajah oleh penguasa bangsa sendiri /kita
adalah manusia bermata kuyu/. Rakyat kecil tersisih tidak pernah turut
menikmati hasil pembangunan /yang di tepi
jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/kita adalah berpuluh juta yang bertahun
hidup sengsara/. Selama ini rakyat diam dalam kekalahan dan ketakutan /bertanya-tanya diam inikah yang namanya
merdeka/. Penyair mengkritik pidato-pidato tanpa isi yang tidak bermanfaat
bagi rakyat /tak punya kepentingan dengan
seribu pengeras suara yang hampa suara/. Pada bait terakhir penyakit
menegaskan lagi bahwa rakyat harus mempunyai ketetapan hati untuk membela
keadilan dan kebenaran. Kita tidak boleh ragu seperti larik /tidak ada lagi pilihan lain/Kita harus/Berjalan terus.
Dari struktur isi puisi tersebut bertema tentang
patriotisme, yaitu mengungkapkan perjuangan membela bangsa dan tanah air.
Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras, sebenarnya
puisi protes bertujuan untuk memperbaiki kehidupan. Penyair sadar akan puisinya
untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi manusia meskipun
hanya lewat kata-kata.
Perasaan penyair nampak sekali saat membahas bait
demi bait. Perasaan geram terhadap ketidakadilan nampak sekali dalam puisi di
atas. Perasaan geram itu ditonjolkan karena penyair merasa bahwa ketidakadilan
sudah begitu merajalela. Penyair merasa tidak puas dan tidak setuju terhadap keadaan
masyarakay yang dihadapi. Nada revolisuoner dan nada kritik nampak pada puisi
tersebut. Nada kritik yang ditujukan kepada pemerintah karena tidak adil. Dan
nada revolusioner yang dikemukakan agar rakyat terus menerus mengobarkan sikap
patriotik untuk melanjutkan pembangunan. Amanat dalam puisi di atas ialah agar
pemerintah mau memperhatikan rakyat kecil, meningkatkan kesadaran nasional
pembacanya, pembaca harus berusaha agar dirinya tidak menjadi penonton
pembangunan. oleh karena itu penyair memberi nasihat, mengatakan bahwa ”Kita
Pemilik Syah Reublik Ini”. Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa nilai
dalam puisi di atas adalah nilai patriotisme.
Apresiasi Puisi Dengan Pendekatan
Sosiologis
Untuk melengkapi pemahaman global tentang puisi di
atas kita perlu mengenal siapakah Taufiq Ismail dan periode pada saat puisi di
atas diciptakan. Taufik Ismail Abdul gafar Ismail, itulah nama lengkap
sastrawan yang lahir di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1937. setelah
menamatkan pendidikannya di SMA B negeri Pekalongan, ia melanjutkan kuliah di
Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan di Bogor dan tamat pada tahun 1963,
kemudian beberapa waktu lamanya ia bekerja di fakultas tersebut sebagai asisten
pada bagian ilmu ternak, namun ia diberhentikan karenatermasuk salah seorang
penanda tangan Manifes Kebudayaan. Taufiq Ismail adalah pelopor puisi-puisi
demonstrasi. Puisi-puisinya adalah puisi demonstrasi yang mengungkapkan
tuntutan membela kebenaran dan keadilan. Selama menjadi mahasiswa ia aktif
dalam organisasi kemahasiswaan. Puisi Taufik Ismail menandakan suatu
kebangkitan Angkatan 66 dalam dunia perpuisian Indonesia yang selama kurang
lebih 5 tahun telah dikuasai oleh LEKRA. Sedangkan Taufiq Ismail adalah salah
satu pengarang yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan. Puncak klimaks daripada
sastra perlawanan dalam angkatan 66 adalah adanya sajak-sajak perlawanan yang
lahir di tengah-tengah masa yang mengadakan aksi demonstrasi untuk mengajukan
protes politik dan protes sosial, dan salah satunya adalah sajak-sajak Taufik
Ismail.
Dari puisi yang berjudul ”Kita Adalah Pemilik Sah
Republik” ini lebih lanjut bisa disimpulkan bahwa pada saat penciptaan puisi
itu terjadi ketidakadilan. Pada saat itu memang terjadi kemelut di berbagai
bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh PKI dan ormas-ormas yang
bernaung di bawahnya. Pada akhirnya rakyat kecillah yang menjadi korban.
Terjadi penginjak-injakkan martabat manusia . kemelaratan, kemiskinan, dan
penderitaan terjadi di mana-mana. Sekarang bagaimana sikap penyair terhadap
kemelut politik dan pemerintahan yang benar-benar menjadikan rakyat kecil
sebagai korban? Penyair menyuarakan dengan lantang bahwa ”Kita Adalah Pemilik
Sah Republik Ini”, oleh karena itu kita harus maju, tidak hanya menjadi
penonton pembangunan saja. Merdeka tetapi keadaan tetap menderita. Penyair
menyadari bahwa selama bertahun-tahun negara seolah-olah menjadi pemilik
segelintir penguasa yang berbuat apa saja semata-mata hanya untuk kepentingan
golongan penguasa saja.
Lalu bagaimana sikap pembaca terhadap karya
tersebut? Sikap pembaca adalah menerima dengan terbuka karena bacaan semacam
itu sangat didambakan orang untuk memenuhi selera hatinya yang sudah begitu
penuh dengan penderitaan batin itu. Pengaruh karya sastra tersebut bagi pembaca
adalah sebagai penyemangat, meningkatkan kesadaran nasional pembacanya agar
tidak hanya menjadi penonton pembangunan saja. Sikap patriotik harus terus
menerus kita kobarkan dalam dada kita untuk melanjutkan pembangunan. Dalam hal
ini penyair memberi nasihat mengatakan bahwa kita semua adalah pemilik sah
republik ini. Efek positif bagi penyair adalah penyair secara praktis bisa
menyumbangkan daya ciptanya dalam memberikan perlawanan terhadap kezaliman, dan
kebatilan yang dilakukan para penguasa, penyair bisa membangkitkan semangat
para pembacanya agar terus maju untuk membina rasa kesatuan dan rasa
kenasionalan. Protes sosial yang terdapat dalam puisi tersebut adalah protes
terhadap pemerintah utamanya para pemimpin agar menegakkan keadilan untuk
rakyat kecil, tidak hanya mementingkan kepentingannya saja.
Puisi 2:
PERNYATAAN
Sebab terlalu
lama meminta
konkret
tangan
terkulai bagai dikoyak
konkret, simili
sebab terlalu
pasrah pada derita
konkret, taktil
kesetiaan
makin diinjak
personifikasi
Demi amanat
dan beban rakyat
konkret
kami nyatakan
ke seluruh dunia
konkret, visual
telah bangkit
di tanah air
visual
sebuah aksi
perlawanan
konkret, visual
terhadap
kepalsuan dan kebohongan
konkret, visual
yang bersarang
dalam kekuasaan
personifikasi
orang-orang
pemimpin gadungan
sarkasme
Maka pagi ini
konkret, visual
dengan resmi
konkret
kami memulai
konkret, visual
aksi
demonstrasi
konkret, visual
Pernyataan ini
auditori
disahkan di
Jakarta
konkret
kami
konkret
Mahasiswa
Indonesia
konkret
Dari: Perlawanan
Apresiasi Puisi dengan Menggunakan Pendekatan Analitik
Mansur Samin dalam karyanya yang berjudul
”Pernyataan” mencoba menunjukkan kepada pembaca tentang sebuah perlawanan
terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah.
Dari segi bahasa, diksi yang digunakan sebagian besar adalah kata konkret,
yaitu langsung merujuk pada makna sebenarnya. Dalam pemakaian kalimat yakni
lebih cenderung kepada kalimat yang sederhana dan jelas artinya. Misalnya pada
bait terakhir /pernyataan ini disahkan di
Jakarta. Kami mahasiswa Indonesia/.
Diksi tersebut bersifat denotatif atau bermakna yang sesungguhnya. Yaitu
menunjukkan pernyataan para mahasiswa Indonesia yang memprotes pemerintah Orde
Lama yang disahkan di Jakarta. Citraan atau imaji yang digunakan sebagian besar
adalah imaji visual. Selain itu digunakan pula sarana retorika berupa sarkasme
yang terdapat pada bait ke tiga, baris ke tiga /orang-orang pemimpin gadungan/. Dalam puisi-puisi yang bertemakan
protes sosial, sering kali digunakan kata-kata yang kasar untuk menyebut pihak
yang dikritik. Mansur Samin menyebut pemerintah Orde Lama dengan sebutan
orang-orang pemimpin gadungan. Hal ini digunakan bukan karena penyair memiliki
niat yang jelek, melainkan bertujuan untuk memperbaiki kehidupan.
Dari segi bentuk puisi ”Pernyataan” termasuk puisi
bebas, karena puisi ini tidak terikat oleh bentuk, jumlah baris dan bait, rima,
dan sebagainya. Mansur Samin hanya menumpahkan ketidakberterimaannya pada
pemerintah Orde Lama. Meski begitu, dari kelima bait puisi ini hanya terdapat
satu bait yang berima bebas, sedangkan yang lain berima a-b-a-b dan a-a-a-a.
Dari struktur isi, puisi Pernyataan bertemakan
protes sosial yang sudah dibahas sebelumnya. Setelah memahami makna puisi
tersebut, dapat kita ketahui bahwa melalui puisi tersebut penyair ingin
menunjukkan perlawanan mahasiswa Indonesia kepada pemerintah Orde Lama pada
saat itu.
Apresiasi Puisi dengan
Menggunakan Pendekatan Sosiologis
Untuk melengkapi pemahaman kita tentang puisi
Mansur Samin di atas kita harus mengenal sosok pengarang lebih jauh. Mansur
Samin lahir di Batang Toru, Tapanuli pada tanggal 29 April 1930. Sastrawan ini
dapat dikategorikan sebagai penyair demontrasi karena ada sebagian
puisi-puisinya yang merupakan puisi demonstrasi. Mansur Samin menamatkan
pelajarannya di SMA Solo. Setelah itu ia menjadi guru dan menggiatkan deklamasi
di sekolahnya. Ia juga pernah menjadi redaktur siaran Sastra RRI Solo, menjadi
redaktur mingguan Adil di Solo, menjadi redaktur majalah Cerpen di Jakarta, dan
menjadi wartawan harian Merdeka di Jakarta. Sejak permulaan tahun 1966 ia
pindah ke Jakarta dan mengikuti dari dekat pergolakan mahasiswa dan pemuda
pelajar yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Tema dari puisi “Peryataan” ini adalah protes
sosial. Pada periode Angkatan 66 mula-mula timbul dua kelompok karya sastra,
yakni para pengarang Lekra dan para pengarang yang tergabung dalam kelompok
Manifes Kebudayaan. Para pengarang Lekra menulis sajak-sajak, cerpen-cerpen,
dan esei-esei yang dinyanyikan kemenangan perjuangan sedangkan para pengarang
Manifes Kebudayaan menghasilkan karya sastra yang berisi keinginan membela
martabat manusia, yakni yang ingin membela kebebasan manusia yang diinjak-injak
oleh tirani mental dan fisik. Perjuangan antara kedua kelompok tersebut
akhirnya dimenangkan oleh kelompok kedua setelah pengkhianatan G 30 S/PKI dan
Orde Lama ditumpas oleh Orde Baru. Puncak atau klimaks pada sastra perlawanan
dalam periode ini ialah sajak-sajak Taufiq Ismail, Bur Rusuanto, Mansur Samin,
Abdul Wahid Situmeang, dan lain-lainnya, yang ditulis di tengah-tengah
demonstrasi mahasiswa dan pelajar pada permulaan tahun 1966. Salah satu bentuk
sastra perlawanan yang ditulis oleh Mansur Samin adalah “Peryataan”.
Dalam puisi tersebut Mansur Samin berusaha
menggambarkan perlawanan para mahasiswa Indonesia terhadap pemerintah yang
menyalahgunakan kekuasaan mereka, sehingga rakyat kecillah yang menjadi korban.
Dalam hal ini mahasiswa berfungsi sebagai kontrol sosial yang membela
kepentingan rakyat.
Efek positif yang dapat diperoleh oleh pembaca
adalah bahwasannya kita
sebagai kaum yang lemah, haruslah dapat mempertahankan harkat, martabat, serta
harga diri kita. Meskipun para penguasa yang kuat sewenang-wenang
menginjak-injak kita, tetapi kita harus bisa bangkit dari itu semua, kita harus
memperjuangkan hak kita dengan perjuangan yang sangat keras meskipun suara kita
nantinya tidak akan pernah dihiraukan.
Puisi 3:
DEMONSTRAN
Melengking
ringkik kuda lepas
kendali
Auditori, konkret
Suara yang
telah lama hilang
Auditori, taktil
Suara saksi
yang tak diperlukan kesaksiannya
Auditori,
majas personifiksi
Suara yang
dirindukan anak negeri
Auditori, taktil
Menghingarkan
Ibu Kota
Auditori,
taktil
Membentur
tembok istana
Visual, konkret, majas hiperbola
Mereka
berangkat ke istana
Visual,
konkret
Tanpa upeti
Konotatif, visual
Karena bukan
mau menghadap raja
Visual,
konkret
Mereka
berbondong ke istana
Visual,
konkret
Barisan pemuda
yang habis sabar
Konotatif, visual
Menunggu janji
Konotatif, taktil
Bukan barisan
kehormatan dalam acara resmi
Konotatif, visual
Barisan kebangkitan
menjalarkan api
Konotatif, taktil
Menurut janji
kepada pemimpin
Konotatif, visual
Siapa merasa
bisa tahan
Konotatif, taktil
Dibanting
gelombang datang beruntun
Konotatif, majas personifikasi
Musnahlah
engkau pemimpin yang linglung
Konotatif, majas sarkasme
Dari
: Pembebasan
Apresiasi Puisi Dengan Menggunakan Pendekatan Analitik
Jika kita lihat
dari karakteristik bahasa, yakni mengenai diksi/ pemilihan kata dalam sajak
“Demonstran” ini lebih cenderung kepada kalimat panjang, sederhana, dan jelas.
Pada puisi “Demonstran” ini, banyak mengungkapkan kata-kata yang berisi
pembelaan secara keras terhadap kelompoknya, dan kecaman keras pada pihak yang
dikritik. Untuk pihak yang dikritik, para penyair menggunakan kata-kata yang
kasar atau umpatan /Musnahlah engkau pemimpin yang linglung/.
Selanjutnya mengenai imaji yang digunakan dalam sajak ini lebih banyak
menggunakan imaji visual /Barisan pemuda yang habis sabar/, imaji taktil /Suara
yang telah lama hilang/, serta auditori /Melengking ringkik kuda
lepas kendali/, di sini
cara penyampaian makna puisi agar bisa sampai kepada para pembaca dengan baik,
lebih mengarah kepada suara, penglihatan, serta perasaan yang seolah-olah dapat
digambarkan dengan mudah oleh kata-kata di dalam puisi ini. Untuk mendapat
kepuitisan ialah dengan menggunakan bahasa kiasan. Adanya bahasa kiasan ini
menyebabkan sajak menjadi menarik perjatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan
terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 1987:62). Dalam puisi
”Demonstran” ini, kiasan yang digunakan menggunakan majas metafora /Melengking ringkik kuda lepas kendali/.
Yang dimaksudkan melengking ringkik kuda di sini bukanlah kuda yang sebenarnya,
melainkan suara dari para demonstran yang dikiaskan sebagai lengkingan kuda.
Jika kita telaah lebih dalam lagi, sarana retorika yang diambil di dalam puisi
ini menggunakan tiga majas, yakni majas personifikasi /Dibanting gelombang datang beruntun/, majas sarkasme /Musnahlah engkau pemimpin yang linglung/,
serta majas hiperbola /Membentur tembok
istana/, sehingga dalam puisi ”Demonstran” ini juga tidak bisa lepas oleh
majas-majas yang justru menambah kekuatan makna dari kata itu sendiri.
Jika kita lihat pada paragraf pertama tadi lebih
menganilisis puisi ”Demonstran” dari segi karakteristik bahasa, maka pada
pembahasan ini kita akan menganalisis puisi dari segi karakteristik bentuk
bunyi, kita lihat di sini, bahwa pada puisi ”Demonstran” ini termasuk kedalam
bentuk bebas, karena didalam puisi ini tidak terikat pada rima serta penataan
larik yang keluar dari konvensional, aliterasi dan asonansi, serta onomatope.
Jelaslah disini, bahwa pengarang mencurahkan kata-katanya disini sehingga
menjadi sebuah puisi taerjadi secara spontanitas, dan tidak terlalu rumit
memikirkan tentang rima, aliterasi dan asonansi, serta onomatope di dalamnya.
Mengenai struktur isi puisi pada sajak ini, tema
yang dimbil lebih menekankan kepada protes sosial yang acapkali sering terjadi
pada saat itu, sesuai dengan karakteristik pada puisi-puisi lain yang
seangkatan dengannya, yakni Angkatan 66 yang lebih mengambil protes sosial
sebagai tema kebanyakan puisi lainnya. Nada dan suasana puisi sikap penyair
terhadap pembaca di sini, lebih menggambarkan susana kejiwaan yang dapat
membangkitkan emosi yang sangat kuat oleh para demonstran terhadap para
penguasa. Perasaan yang dapat diambil dalam puisi tersebut ialah perasaan marah
yang meluap terhadap janji-janji para penguasa yang tak kunjung dapat ditepati.
Amanat serta nilai yang dapat kita ambil di sini bahwasannya kita sebagai kaum
yang lemah, haruslah dapat mempertahankan harkat, martabat, serta harga diri
kita. Meskipun para penguasa yang kuat dengan seenaknya menginjak-injak kita,
tetapi kita harus bisa bangkit dari itu semua, kita harus memperjuangkan hak
kita dengan perjuangan yang sangat keras meskipun suara kita nantinya tidak
akan pernah dihiraukan.
Apresiasi Puisi dengan
Menggunakan Pendekatan Sosiologis
Sastrawan yang bernama Abdul Wahid Situmeang ini
lahir di Sibolga, Tapanuli Sumatera Utara pada tanggal 22 Juni 1939. Setelah
tamat SMEA Negeri, ia bekerja di Departemen Kesehatan (1957-1958) dan kemudian
di Departemen Perdagangan. Sebagai Sastrawan ia menulis sajak yang pernah
dimuat dalam Majalah Mimbar Indonesia
dan Sastra.terbukti sebagi sastrawan
yang banyak mengeluarkan sajak-sajaknya yang sebagian besar mengangkat tentang
kehidupan sosial di dalamnya, tidak hanya Puisi ”Demonstran” saja yang ia
hasilkan, melainkan terdapat sajak-sajak karyanya yang lain berjudul Bapak,
Demonstran, Senjata, Kaki, Tanah Air, dan Kepada Pemimpin oleh H.B. Jassin
dimuat dalam buku antaloginya yang berjudul Angkatan 66 Jilid II.
Sajak-sajak tersebut dikutipnya dari buku Abdul
Wahid Situmeang yang berjudul ”Pembebasan”, kumpulan sajak dalam bentuk stensilan
yang diterbitkan oleh sanggar ibukota pada tahun 1966.
”Demonstran”, merupakan puisi yang menggambarkan
keadaan sosial masyarakat pada saat itu yang sangat teraniaya karena hak-hak
mereka yang tak kunjung ditepati. Puisi ”Demonstran” merupakan puisi sebagai
ungkapan jiwa pengarang yang melihat secara jelas peristiwa-peristiwa
demonstrasi mahasiswa yang terjadi, sebagai seorang sastrawan, tentunya Abdul
Wahid Situmeang tidak dapat diam saja melihat peristiwa sosial yang sedang
terjadi saat itu, dimana demonstrasi mahasiswa acapkali sering terjadi. Dari
situlah timbul perlawanan pengarang yang ingin membela martabat manusia yang
diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik oleh kaum pengusa pada saat itu.
Pengarang menciptakan puisi ini sebagai protes sosial dan protes politik
terhadap penginjakan martabat manusia. Pengarang memahami dan merasakan
bagaimana kemelaratan dan penderitaan rakyat Indonesia yang sampai di lembah
penderitaan yang paling dalam akibat adanya kebijaksanaan politik luar negeri
yang tidak realistis lagi dan petualangan dalam bidang ekonomi yang sudah
sangat parah. Para demonstran pada masa itu yang tidak terkendali lagi /Melengking ringkik kuda lepas kendali/,
yang sudah menelan beberapa korban jiwa, apalagi mahasiswa yang selama ini
tunduk patuh terhadap rezim yang menindas mereka /suara yang telah lama hilang/, mereka yang sudah tidak didengar
lagi aspirasinya /suara saksi yang tak
diperlukan kesaksiannya/, pengarang di sini melihat secara langsung
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu, ia melihat para demonstran
menuju ke istana tempat para pejabat berkuasa /mereka berangkat ke istana/. Mereka para demonstran, sudah tidak
mau lagi bersabar kepada para pejabat yang hanya memberikan janji /barisan pemuda yang habis sabar menunggu
janji/, mereka sudah tidak bisa lagi bertahan terhadap kebijaksanaan konyol
yang diambil pemimpin dan mereka menuntut kebijaksanaan baru sesuai dengan apa
yang mereka harapkan. Efek positif yang pengarang berikan serta yang pembaca
terima, bahwasannya kita sebagai kaum yang lemah, haruslah dapat mempertahankan
harkat, martabat, serta harga diri kita. Meskipun para penguasa yang kuat
dengan seenaknya menginjak-injak kita, tetapi kita harus bisa bangkit dari itu
semua, kita harus memperjuangkan hak kita dengan perjuangan yang sangat keras
meskipun suara kita nantinya tidak akan pernah dihiraukan.
Puisi 4:
RAKYAT
Rakyat ialah
kita
konkret
jutaan tangan
yang mengayun dalam kerja
konkret
di bumi di
tanah tercinta
konkret, sinekdok
jutaan tangan
mengayun bersama
konkret
membuka hutan
lalang jadi ladang-ladang berbunga
konkret, visual
mengepulkan
asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
konkret, visual
menaikkan
layar menebar jala
konkret, visual
meraba kelam
di tambang logam dan batu bara
konotatif, metafora
Rakyat ialah
tangan yang bekerja
konkret
Rakyat ialah
kita
konkret
otak yang
menapak sepanjang jemaring angka-angka
konotatif, metafora
yang selalu
berkata dua adalah dua
konkret
yang bergerak
di simpang siur garis niaga
konotatif, metafora
Rakyat ialah
otak yang menulis angka-angka
konkret
Rakyat ialah
kita
konkret
beragam suara
di langit di tanah tercinta
konkret
suara bangsi
di rumah berjenjang bertangga
konkret, auditif
suara kecapi
di pegunungan jelita
konkret, auditif
suara bonang
mengambang di pendapa
konkret, auditif
suara kecak di
muka pura
konkret, auditif
suara tifa di
hutan kebun pala
konkret, auditif
Rakyat ialah
suara beraneka ragam
konkret
Rakyat ialah
kita
konkret
puisi kaya
makna di wajah semesta
konkret, hiperbola
di darat
konkret, visual
hari yang
berkeringat
konkret,taktil, personifikasi
gunung batu
berwarna coklat
konkret, visual
di laut
konkret, visual
angin yang
menyapu kabut
konkret, personifikasi
awan menyimpan
topan
konkret, personifikasi
Rakyat ialah
puisi di wajah semesta
konkret
Rakyat ialah
kita
konkret
darah di tubuh
bangsa
konotatif
debar sepanjang masa
konotatif, hiperbola
(Hartoyo Andangjaya)
Apresiasi Puisi dengan Menggunakan Pendekatan Analitik
Dapat dilihat, bahwa kata konkret mendominasi
puisi ini. Kata konotatif terdapat pada /otak
yang menapak sepanjang jemaring angka-angka/ ,/yang bergerak di simpang siur garis niaga/, /darah di tubuh bangsa/,dan /debar sepanjang masa/. Imaji visual terdapat pada /membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga/, /mengepulkan asap
dari cerobong pabrik-pabrik di kota/, dan /menaikkan layar menebar jala/. Serta terdapat pada /di darat/, /gunung batu berwarna coklat/, dan /di laut/. Imaji auditif terdapat
pada /suara bangsi di rumah berjenjang bertangga/. Imaji taktil terdapat pada /hari yang berkeringat/.
Majas sinekdok terdapat pada /di bumi di tanah tercinta/. Majas metafora terdapat pada /meraba kelam/, yang berarti menjalankan
suatu ketidakpastian, ”meraba”
biasanya digunakan untuk mengetahui keberadaan benda nyata melalui indra
peraba, namun di puisi ini digunakan pada kata ”kelam” yang bukan merupakan benda nyata, /menapak sepanjang jemaring angka-angka/, berarti bekerja keras
untuk mendapatkan uang, umumnya ”menapak”
digunakan untuk menunjukkan suatu rah yang dituju, yaitu jalan, /simpang siur garis niaga/, berarti
kehidupan yang terus berubah-ubah, umumnya digunakan untuk jalan. Majas
personifikasi terdapat pada /hari yang
berkeringat/ berarti cuaca yang panas, ”berkeringat”
umumnya digunakan untuk menyatakan manusia yang mengeluarkan air keringat di
badannya, /angin yang menyapu kabut/,
”menyapu” lazimnya digunakan untuk
manusia yang melakukan kegiatan ”sapu”,
/awan yang menyimpan topan/ berarti di dalam ketenangan menyimpan suatu
kekuatan yang besar, ”menyimpan”
biasanya digunakan untuk manusia yang melakukan kegiatan ”simpan”.
Sarana retorika hiperbola terdapat pada /puisi kaya makna di wajah semesta/,
rakyat adalah sesuatu yang memiliki banyak peranan di dalam suatu kehidupan
berbangsa, /debar sepanjang masa/,
yang berarti kehidupan yang terus berjalan selamanya. Pararelisme terdapat pada
/Rakyat ialah kita/ yang diulang-ulang setiap baitnya.
Dilihat dari segi bentuk, puisi ini memiliki rima
terikat a-a-a-a. Pembagian baris tiap bait tidak beraturan, bait pertama
terdiri dari sembilan baris, bait kedua terdiri dari tigabelas baris, bait
ketiga terdiri dari sembilan baris, dan bait keempat terdiri dari tiga baris.
Perulangan bunyi atau asonansi banyak terdapat pada tiap bait di puisi ini.
Tema puisi ini adalah kedaulatan rakyat. Karena
rakyat mempunyai suara yang penting dan menentukan kekuasaan. Pemerintah dan
penguasa harus mencerminkan kepentingan rakyat.
Perasaan penyair terharu kepada rakyat yang terus
bekerja keras dan tidak mengenal lelah demi kelangsungan hidupnya dan
keluarganya.
Nada dan suasana bercerita bersifat memberitahu
kepada pembaca tentang kehidupan bernegara yang tidak akan sanggup berjalan
tanpa adanya rakyat.
Amanat yang terkandung adalah rakyat itu sebagai
tonggak penting dalam kelangsungan pemerintahan dan negara, sekaligus dalam
kehidupan berbangsa.
Apresiasi Puisi dengan Pendekatan
Sosiologis
Hartoyo Andangjaya lahir
di Solo pada tahun 1930 dan meninggal dunia pada tahun 1990 di kota Solo.
Beliau pernah menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Pernah juga menjadi redaktur
majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964).
Panggilan kepenyairannya sangat kental, sehingga beliau tidak mau bekerja di
luar bidangnya itu.
Di dalam puisi ini terkandung segi sosial yaitu
kepedulian kepada rakyat yang pada waktu itu tidak diperhatikan oleh pemerintah
padahal rakyat adalah sesuatu yang sangat penting bagi kelangsungan
pemerintahan.
Dengan puisi ini, diharapkan masyarakat mampu
menilai karya sastra tersebut dengan konsep mereka sendiri. Apakah karya
tersebut dapat memberikan efek positif atau bahkan memberikan efek negatif.
Dari tema puisi, dapat disimpulkan bahwa penyair
begitu peduli dengan nasib rakyat yang saat itu masih berada dalam garis
kemiskinan, dan penyair juga menyadari bahwa rakyat adalah sesuatu yang penting
dalam kehidupan suatu bangsa.
Bagi pembaca, puisi tersebut dapat mempengaruhi
pandangan mereka dalam menilai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedang
bagi penulis, bisa mendapatkan timbal balik dari pembaca karya sastra.
Protes sosial yang terkandung adalah kemiskinan
yang melanda rakyat pada masa itu memberikan dampak bagi kehidupan mereka.
Mereka harus bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan mereka, terus bekerja
dengan tidak mengenal lelah walaupun pada masa itu pemerintah kurang peduli
dengan kesengsaraan yang menimpa mereka. Padahal merekalah yang menggerakkan
roda kehidupan suatu bangsa.
Puisi 5:
LAGU PEKERJA MALAM
Lagu pekerja
malam
Konkret, auditori
Sesayup-sayup
embun
Konkret, auditori, personifikasi
Antara dinamo
menderam
Konkret, auditori
Pantun demi
pantun
Konkret, auditori
Lagu pekerja
malam
Konkret, auditori
Lagu padat
damai
Konkret, taktil
Lagu tak
terucapkan
Konkret, auditori
Jika duka pun
usai
Konkret, taktil
Tangan yang
hitam, tangan lelaki
Konkret, visual
Lengan melogam
berpercik api
Konkret, visual
Dan batupun
retak di lagu serak
Konotatif, visual, auditori
Majulah jalan,
majulah setapak
Konkret, visual
Nada akan
terulang-ulang
Konkret, auditori
Di antara
lampu-lampu sepi
Konotatif, visual
Alangkah
panjang, alangkah panjang
Konkret, taktil
Dinihari, o,
dinihari!
Konkret, visual
Lagu pekerja
malam
Konkret, auditori
Lagu
tiang-tiang besi
Konotatif, auditori
Lagu tak
terelahkan
Konkret, taktil
Memintas sepi
Konkret, taktil
Sastra, Th II
No.6, 1962
Apresiasi Puisi dengan Pendekatan
Analitik
Puisi ini merupakan karya dari Goenawan Mohamad.
Pada puisi ”Lagu Pekerja Malam” ini, banyak menggunakan kata konkret seperti /lagu pekerja malam/, /tangan yang hitam/,
/tangan lelak majulah jalan/, /majulah setapak/, /lagu tak terelahkan/
/memintas sepi/ dan imaji auditori seperti /sesayup-sayup embun/, /antara dinamo menderam/, /nada akan
terulang-ulang/. Penggunaan
kta konotatif hanya sebagian saja, yakni terdapat pada /dan batupun retak di lagu serak/ yang berarti dapat menghancurkan
sesuatu yang keras sekalipun. /Di antara
lampu-lampu sepi/ yang berarti pada malam hari yang sepi hanya ditemani
lampu-lampu. /Lagu tiang-tiang besi/
yang berarti dentuman-dntuman besi yang saling bergesekan. Sedangkan bahasa
kiasnya tidak banyak digunakan. Dalam puisi ini hanya ada satu bahasa kias
berupa personifikasi yang terdapat pada /Sesayup-sayup
embun/ yang mana embun diibaratkan suara manusia yang sayup-sayup. Puisi
ini menggunakan rima a-b-a-b pada bait satu, dua, empat, dan lima yang terdapat
pada kata malam, embun, menderam, pantun,
malam, damai, terucapkan, usai,ulng, sepi, panjang, dinihari, malam, besi,
terelahkan, sepi. Sedangkan pada bait tiga menggunakan rima a-a-b-b yang
terdapat pada kata lelaki, api, serak, dan
setapak. Penggunaan aliterasi dapat
dijumpai pada /Sesayup-sayup embun/, /Pantun demi pantun/tangan yang hitam, tangan lelaki. Penggunaan
asonansi dapat dijumpai pada kata-kata /Lagu
pekerja malam/Sesayup-sayup embun/Lagu padat damai/Jika duka pun usai/Tangan yang hitam, tangan lelaki/Majulah jalan, majulah setapak/Lagu
tiang-tiang besi/Lagu tak terelahkan. Penggunaan
ritma pada puisi ini tampak pada kata-kata
/lagu..../ yang diulang-ulang. Selain itu, dalam puisi ini dapat ditemukan adanya pararelisme yang tampak
pada /Lagu pekerja malam/ yang
diulang-ulang setiap baitnya.
Apresiasi Puisi dengan Pendekatan
Sosiologis
Puisi ini diciptakan oleh Goenawan Mohamad. Beliau
lahir di Batang pada 29 Juli 1942. Pernah kuliah di Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Kemudian melanjutkan ke jurusan Ilmu Politik College
d’Europe, Brugge, Belgia (1965-1966), tidak tamat. Pernah menjadi wartawan
Harian KAMI (1966-1970), pemimpin redaksi majalah Ekspress (1969-1970), redaksi
majalah Horison (1967-1672), anggota Dewan Penasehat majalah Horison (sejak
1972). Tahun 1973 beliau mengikuti festival Penyair Internasional di Rotterdam.
Ia adalah seorang penandatangan Manifes Kebudayaan (1963). Pada tahun 1972,
Goenawan Mohamad mendapatkan Anugerah Seni. Sebagai sastrawan, beliau di
samping menggubah sajak, juga menulis esei dan menghasilkan karya terjemahan.
Sajak-sajak dan esei-eseinya pernah dimuat harian Abadi dan majalah Sastra, Basis, Gelora, dan Horison. Esei-eseinya
pernah mendapat hadiah pertama dari majalah Sastra untuk esei-esei yang dimuat
pada majalah itu pada tahun 1963. Baik sajak-sajak maupun esei-eseinya banyak
yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, antara lain ke dalam
bahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jepang.
Pada puisi ini penyair ingin menunjukkan tentang
kerja keras para pekerja malam /lagu
pekerja malam/sesayup-sayup embun/antara dinamo menderam/pantun demi pantun/. Pekerja malam dalam puisi ini dapat
disamakan sebagai para kuli bangunan yang selalu bekerja keras siang malam.
Penyamaan dengan kuli bangunan itu tampak pada /tangan yang hitam, tangan lelaki/. Aktivitas mereka setiap hari
seakan-akan seperti lagu padat damai.
Hal ini dilakukan karena demi menyambung hidup. Kesengsaraan ini terjadi karena
setiap hari mereka harus bekerja keras seolah-olah /lagu tak terucapkan/jika duka pun usai/. Tapi tampakanya penyair
ingin tetap memberi semangat lewat /majulah
jalan, majulah setapak/. Semua
aktivitas rutin itu telah menjadi /lagu
tiang-tiang besi/lagu tak terelahkan/nada akan berulang-ulang/alangkah
panjang/dinihari, o, dinihari/.
Pada puisi ini penyair ingin memberikan semacam
kritik di mana pada kehidupan nyata pernah kita jumpai para kuli bangunan yang
bekerja siang malam untuk mencari nafkah. Mereka terpaksa melakukannya demi
kebutuhan ekonomi. Secara tersirat penyair juga ingin memberi kritikan pada orang-oarang
yang memeperkerjakan para kuli bangunan tersebut agar tidak memperkerjakan
mereka siang malam.
Tema yang terkandung dalam puisi ini adalah tema
tentang protes sosial di mana penyair merasa tergugah dengan keadaan para kuli
bangunan yang senantiasa bekerja siang malam tanpa lelah. Nada dan suasana
dalam puisi ini menggunakan nada yang penuh belas kasih dengan menggunakan
perasaan yang terharu yang disampaikan
oleh penyair. Amanat yang terkandung dalam puisi ini antara lain: jangalah
memperkerjakan seseorang siang malam tanpa mengenal waktu, semua manusia
memiliki hak yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dalam kehidupan, dan
hendaknya kita saling menghargai dan toleransi satu sama lain.
PENUTUP
Dari
segi bentuknya, puisi-puisi Angkatan 66 pada umumnya masih meneruskan bentuk
sajak yang dipergunakan oleh Angkatan 45 yakni sajak bebas. Jadi bentuk-bentuk
sajak tidak bertambah. Hanya dalam pemakaian kalimat tampak suatu gejala umum
yakni, lebih cenderung kepada penggunaan kalimat yang panjang, sederhana, dan
jelas artinya. Ritma ataupun rima kurang mendapatkan perhatian penyair.
Dalam Angkatan 66 yang
lebih ditonjolkan adalah dari segi isi. Puisi protes dan demostrasi sangatlah
dominan. Hal itu menggambarkan suasana yang sedang terjadi pada masa itu yaitu
terjadinya kemelut dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan
oleh ulah teror politik yang dilakukan oleh PKI dan ormas-ormas yang bernaung
di bawahnya. Selain itu tema protes sosial dikemukakan begitu berapi-api, oleh
karena itu slogan dan sarana retorika begitu kuat. Sarana retorika yang paling
dominan adalah ironi dan sarkasme yang bertujuan untuk menyindir pemerintahan
Orde Lama. Protes yang dikemukakan dalam Angkatan 66 ditujukan kepada Orde Lama
dan juga kepincangan-kepincangan politik yang terdapat di dalamnya, selain itu
juga ditujukan kepada para pemimpin yang sewenang-wenang dan tidak memikirkan
kepentingan rakyat kecil. Selain isi yang dipentingkan adalah misi karya
tersebut yaitu agar sampai kepada rakyat banyak dan dapat dibaca di kalangan
luas. Dalam hal ini sastra benar-benar berfungsi sebagai alat perjuangan,
seperti pamflet-pamflet yang sekian banyak beredar dan coretan-coretan di
tembok-tembok seluruh kota.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi
Puisi. Bandung: Sinar Baru
Pradopo, Rachmad Djoko. 1989. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada
University Press.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian
Sastra. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan
Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman. 2005. Apresiasi Puisi.
Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar