Senin, 02 Juli 2012

JEJAK-JEJAK ROMANTISME PUISI ANGKATAN PUJANGGA BARU


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angkatan Pujangga Baru disebut juga angkatan ’33 atau ’30-an. Angkatan ini menginginkan perubahan dari budaya statis menuju budaya yang dinamis. Angkatan sebelum Pujangga Baru lebih menonjolkan sisi didaktisnya daripada ide-ide seni murninya. Sedangkan angkatan Pujangga Baru dalam karya sastra khususnya puisi cenderung bersifat estetis, individualis, dan murni ditujukan untuk seni itu sendiri. Ini berkaitan dengan aliran sastra yang tampak pada puisi-puisi Pujangga Baru yaitu aliran romantik.
Dasar pemikiran aliran ini (Waluyo,1987: 32) adalah ingin menggambarkan kenyataan hidup dengan penuh keindahan tanpa cela. Jika yang dilukiskan itu adalah kebahagiaan, maka kebahagiaan itu sempurna tanpa tara. Sebaliknya jika yang dilukiskan kesedihan, maka pengarang ingin agar air mata terkuras. Oleh karena itu, antara aliran romantis sering dikaitkan dengan sifat sentimental atau cengeng.
Dalam aliran ini perasaan lebih ditonjolkan, sedang rasio dinomorduakan. Oleh karena itu, pendekatan yang sesuai untuk mengapresiasi puisi-puisi angkatan Pujangga Baru adalah pendekatan analitik dan pendekatan ekspresif. Dengan pendekatan analitik kita dapat memahami gagasan, figurasi, mekanisme unsur-unsur puitik dan kontribusinya dalam membina keutuhan karya sajak. Sedangkan dengan pendekatan ekspresif, kita dapat mengetahui pemikiran, pandangan perasaan, dan proses kejiwaan pengarang.    

Tujuan Penulisan Hasil Apresiasi
Tujuan penulisan apresiasi puisi angkatan 30-an ini adalah untuk memaparkan karakteristik puisi angkatan 30-an yang dianalisis menggunakan pendekatan analitik dan ekspresif. Dengan demikian dapat diketahui perbedaan angkatan 30-an ini dengan angkatan sebelumnya.


Pengertian Pendekatan dan Prosedur Kerja Apresiasi
Pendekatan analitik dimaksudkan untuk dapat memahami gagasan, figurasi, mekanisme unsur-unsur puitik, kontribusinya dalam membina keutuhan karya sajak (Soedjijono,1996:74). Pendekatan ini disebut pendekatan paling bersifat literer karena dalam analisisnya memperhatikan unsur-unsur kesastraan yang membangun karya puisi. Unsur-unsur kesastraan yang membangun struktur sajak di antaranya adalah irama, bunyi indah (aliterasi, asonansi, onomatope), larik, bait, gaya bahasa.
Prosedur kerja untuk mengapresiasi puisi dengan pendekatan analitik adalah membaca puisi yang akan dianalisis secara berulang-ulang, menetapkan butir masalah yang akan dianalisis, menganalisis puisi dengan tata urutan yang telah ditetapkan, dan menyusun hasil analisis.
Pendekatan lain yang digunakan untuk menganalisis puisi angkatan Pujangga Baru merupakan pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang terletak dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan ekspresi pengarang (Badrun, 1989:104). Karya sastra adalah hasil proses kreatif yang bersumber dari tekanan perasaan dan terbentuk dari gabungan persepsi, pemikiran, dan perasaan penyair.
Jadi, masalah pokok yang dibahas dalam pendekatan ini adalah pemikiran, pandangan, dan proses kejiwaan pengarang atau hal-hal lain yang berkaitan dengan pengarang. Dengan pendekatan ekspresif, kita dapat mengapresiasi puisi-puisi angkatan Pujangga Baru yang menganut aliran romantisme, yang lebih menonjolkan perasaan yang mungkin dialami oleh pengarang.

KARAKTERISTIK PUISI
Karakteristik Bahasa
Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata dalam puisi (Waluyo, 1987:72). Puisi angkatan Pujangga Baru merupakan puisi yang beraliran romantik. Oleh karena itu, dalam aliran ini perasaan lebih sering ditonjolkan. Pertimbangan rasio sering dinomorduakan, seringkali puisi karya angkatan Pujangga Baru berusaha membuai perasaan pembacanya. Termasuk pembicaraan diksi ialah tentang denotasi dan konotasi.

Denotasi
Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan atau diceritakan (Altenbernd dalam Pradopo, 1987:58). Puisi angkatan Pujangga Baru lebih banyak menggunakan kata denotasi. Penyair ingin menggambarkan sesuatu secara lebih konkret. Bagi penyair mungkin dirasa lebih jelas karena lebih konkret. Contoh puisi angkatan Pujangga Baru yang menggunakan kata denotasi adalah:

            Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
(Amir Hamzah, Doa)

...
Di tengah manusia
Aku tersia-sia,
Mencari khabar
Yang agak benar
...
(Y.E Tatengkeng, Gadis Belukar)

...
Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai.
Hanya dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada.
(STA, Prjuangan)

...
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
...
(Muhammmad Yamin, Indonesia Tumpah Darahku)

Konotasi
Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi menambah denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai, dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang telanjang dengan perasaan atau akal (Altenbernd dalam Pradopo, 1987:59). Contoh puisi angkatan Pujangga Baru yang menggunakan kata konotasi adalah:

            ...
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
...
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)

...
Gairah menggulung menuju teluk
Selara tua gugur ke tanah
Pucuk muda tertawa mengolak sela,
Keranda muram diusung ke makam,
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)

...
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri, Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
...
(Sanusi Pane, Teratai)

Imaji
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil) (Waluyo,1987:78).

Imaji visual
Imaji visual menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair lebih jelas seperti dapat dilihat oleh pembaca (Waluyo, 2005:10). Puisi angkatan Pujangga Baru banyak menggunakan imaji visual. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa contoh puisi di bawah ini:

...
O, kulihat tali,
Yang tak terpandang oleh mata
...
(Y.E Tatengkeng, Nelayan Sangihe)

...
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
...
(Muhammad Yamin, Indonesia Tumpah Darahku)

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang lalu.
...
(Sanusi Pane, Teratai)

Imaji taktil
Imaji taktil (perasaan) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu memengaruhi perasaan sehingga pembaca ikut terpengaruh perasaannya (Waluyo, 2005:11). Hal ini dapat dilihat dalam beberapa contoh puisi di bawah ini:
...
Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi.
Tenteram dan damai berbaju putih di dalam kubur.
Tetapi hidup adalah perjuangan
...
(STA, Perjuangan)

Selain itu penerapan imaji taktil juga terdapat dalam puisi “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dan puisi “Jangan Tanggung Jangan Kepalang” karya Sutan Takdir Alisyahbana.

...
Dalam rupa mahasempurna
Rindu sendu mengahru kalbu
Ingin datang merasa ssentosa
Menyerap hidup tertentu tuju
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)

...
Mengapa bimbang berhati walang
Berhenti tertegun langkah tertahan
Takut percuma segala kerja
Sangsi berharga apa dipuja?
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)
                                                                                        


Imaji auditif
Imaji auditif (pendengaran) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga pembaca seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan oleh penyair (Waluyo, 2005:11). Hal ini dapat dilihat dalam beberapa contoh puisi di bawah ini:

...
Demikian rasa
datang semasa,
Membisik, mengajak, aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat diingin.
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)

...
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejari bumi ayah dan ibu
...
(Muhammmad Yamin, Indonesia Tumpah Darahku)

...
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahana suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti,
Pekik dan tempik sambut menyambut.
...
(STA, Menuju ke Laut)

...
Susah sungguh saya sampaikan,
Degup-deguoan di dalam kalbu,
lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.
...
(Rustam Effendi, Bukan Beta Bijak Berperi)

Bahasa Kias
Pengiasan disebut juga simile atau persamaan, kerena membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan hal yang lain (Waluyo,1987:82). Adanya bahasa kias ini menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup dan terutama menimbulkan kejelasan angan.

Simile
Simile ialah bahasa kiasan yang mempersamakan satu hal dengan hal yang lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, dan kata-kata pembanding yang lain (Pradopo, 1987:62). Perumpamaan atau perbandingan ini merupakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan banyak digunakan dalam sajak. Contoh puisi angkatan Pujangga baru yang menggunakan simile adalah;

Bagaikan banjir gulung-gemulung
Bagaikan topan seruh-menderuh
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)

...
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
 Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musa di puncak tursina.
(Amir Hamzah, Hanya Satu)

...
Perjuangan semata lautan segara
Perjuangan semata alam semesta
...
(STA, Perjuangan)

Personfikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 1987:75). Penerapan majas personifikasi puisi angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut:

...
Ombak ria berkejar-kejaran
Di gelanggang biru bertepi langit
...
(STA, Menuju ke Laut)


...
Selara tua gugur ke tanah
Pucuk muda tertawa mengolak sela,
Keranda muram diusung ke makam
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)

...
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas
...
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)

...
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejari bumi ayah dan ibu
...
(Muhammmad Yamin, Indonesia Tumpah Darahku)

Metafora
Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pemabanding, seperti bagai, laksana, seperti dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Pradopo, 1987:66). Penerapan majas personifikasi puisi angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut:

...
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
...
(Muhammmad Yamin, Indonesia Tumpah Darahku)

...
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri, Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
...
(Sanusi Pane, Teratai)

Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain (Pradopo, 1987:71). Allegori ini sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Puisi angkatan Pujangga Baru yang menggunakan majas allegori adalah “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisyahbana dan “Teratai” karya Sanusi Pane.

Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang, tiada beriak,
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin topan,
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimipi yang nikmat
....
(STA, Menuju ke Laut)

Puisi karya Sutan Takdir Alisyahbana “Menuju ke Laut” merupakan puisi yang melambangkan angkatan baru yang berjuang ke arah kemajuan. Angkatan baru ini dikiaskan sebagai air danau yang menuju ke laut dengan melalui rintanagn-rintangan. Laut penuh gelombang, mengiaskan hidup yang penuh dinamika perjuangan dan penuh pergolakan. Jadi, puisi tersebut mengiaskan angkatan muda yang penuh semangat menuju kehidupan baru yang dinamis, meninggalkan adat yang statis, kehidupan lama yang beku dan tidak mengalir. Selain itu penerapan majas alllegori juga terdapat dalam “Teratai” puisi karya Sanusi Pane.

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
...
(Sanusi Pane, Teratai)

Puisi Sanusi Pane “Teratai” melambangkan Ki Hadjar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat kebangsaan dan bersifat Indonesia asli.




Sinekdoki
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang paling penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Pradopo, 1987:78). Penerapan sinekdoki dalam puisi angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut:

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
...
(Sanusi Pane, Teratai)

Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd dalam Pradopo, 1987:93). Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan da dimaksudkan oleh penyairnya.

Tautologi
Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang dgunakn untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama (Pradopo, 1987:95). Contoh tautologi dalam puisi angkatan Pujangga Baru adalah:

...
Kami berbuai dalam nafasmu
Tiada kuasa tiada berdaya
Turun naik dalam ‘rama-Mu
(STA, Dalam Gelombang)

...
Sarat saraf seloka lama,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
...
(Rustam Effendi, Bukan Beta Bijak Berperi)


Pleonasme
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar (Pradopo,1987:95). Contoh pleonasme dalam puisi angkatan Pujangga Baru adalah:
Alun bergulung naik meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah,
...
(STA, Dalam Gelombang)

Pararelisme
Pararelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud dan tujuaannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Pradopo, 1987:97). Contoh paralelisme dalam puisi angkatan Pujangga Baru adalah:

...
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkau turut menjaga zaman
(Sanusi Pane, Teratai)

...
Dalam tubuh Kau berkuasa,
Dalam hati Kau bertakhta!
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)

Jangan tanggung jangan kepalang
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan,
Berperang berjuang.
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)

Hiperbola
Hiperbola adalah sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Maksudnya di sini untuk menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas (Pradopo, 1987:98). Contoh hiperbola dalam puisi angkatan Pujangga Baru adalah:

...
Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,
...
(Y.E Tatengkeng, Perasaan Seni)

Karakteristik Bentuk
Perulangan bunyi
Rima
            Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca (Waluyo, 1987:90). Ada beberapa puisi angkatan Pujangga Baru yang masih menggunakan bentuk-bentuk tradisi lama. Hal ini terlihat dari rima yang dihasilkan dalam puisi. Rima yang terikat (seperti puisi angkatan Balai Pustaka) masih terlihat pada puisi ”Berdiri Aku” karya Amir Hamzah. Rima puisi tersebut abab.

...
            Angin pulang menyejuk bumi
            Menepuk teluk mengempas cemas
            Lari ke gunung memuncak sunyi
            Berayun-ayun di atas alas.
...
            (Amir Hamzah, Berdiri Aku)

Namun, sebagian besar penyair Pujangga Baru sudah tidak lagi terikat dalam bentuk-bentuk tradisi lama ketika menciptakan sebuah puisi. Rima atau pengulangan bunyi di akhir larik-larik puisi pada karya beberapa penyair lebih banyak ditemukan yang bebas. Oleh karena itu, jika pada angkatan Balai Pustaka bentuk roman lebih dominan, maka pada angkatan Pujangga Baru puisi lebih dominan. Hal ini dapat diamati pada puisi ”Perjuangan” karya Sutan Takdir Alisjahbana:

            Tenteram dan damai?
            Tidak, tidak Tuhanku!
            Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi
            Tenteram dan damai berbaju putih di dalam kubur
            Tetapi hidup ialah perjuangan
            Perjuangan semata lautan segara
            Perjuangan semata alam semesta
            Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai
            Hanya dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada
            (STA, Perjuangan)

            Jadi, rima pada angkatan Pujangga Baru tidak khusus berarti persamaan bunyi atau dalam istilah tradisional disebut sajak. Rima lebih luas lagi karena menyangkut perpaduan bunyi konsonan dan vokal.

Asonansi dan Aliterasi
Aliterasi merupakan persamaan bunyi pada suku kata pertama. Sedangkan asonansi merupakan ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan (Waluyo, 1987:92). Sebagian besar puisi pada angkatan Pujangga Baru menyebutkan adanya bentuk asonansi (persamaan/perulangan bunyi vokal). Dalam “Persatuan” karya Y.E. Tatengkeng berikut ini unsur vokal lebih mendominasi.

Sebegini,
Sukmaku seni

Merindu, mencari ketentuan hati
Kebenaran, Damai, dan Kasih sejati
...
(Y.E. Tatengkeng, Persatuan)

Pada baris pertama sampai keempat, bunyi /i/ cukup dominan. Kita akan menemukan adanya persamaan bunyi /i/ pada kata sebegini, seni, mencari, hati, damai, dan sejati. Hal yang sama juga terjadi pada puisi J.E. Tatengkeng  lainnya, yaitu “Nelayan Sangihe”.

            O, kulihat tali,
            Yang tak terpandang oleh mata,
            Menghubung hati
            Kalbu nelayan di laut bercinta
...
            (Y.E. Tatangkeng, Nelayan Sangihe)

Pada baris pertama, dan ketiga bunyi vokal /i/ terdapat pada kata tali dan hati. Vokal /a/ juga ditemukan dalam baris kedua, dan keempat pada kata mata dan bercinta. Namun, ada pula sebagian kecil puisi pada angkatan Pujangga Baru ini yang berbentuk aliterasi (persamaan/perulangan bunyi konsonan). Dalam ”Sukma Pujangga” karya Y.E. Tatengkeng berikut ini unsur konsonan lebih mendominasi,


O, lepaskan daku dari kurungan,
Biarkan daku terbang melayang,
Melampaui gunung, nyebrang harungan,
Mencari Cinta, Kasih, dan Sayang.
...
(J.E. Tatengkeng, Sukma Pujangga)

Pada baris pertama, kedua, ketiga, dan keempat, bunyi /ng/ cukup dominan. Kita akan menemukan adanya persamaan bunyi /ng/ pada kata kurungan, terbang melayang, gunung, nyebrang harungan, dan sayang.

Versifikasi
Ritma
            Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma berasal dari bahasa Yunani, rheo, yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus, dan tidak putus-putus (mengalir terus). Ritma merupakan pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Waluyo, 1987:94).
            Tiap penyair, aliran, periode, dan angkatan mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang membentuk ritma itu. Dalam puisi lama jelas sekali pemotongan baris puisi menjadi dua frasa merupakan teknik pembentuk rima yang padu, namun teknik tersebut bersifat statis. Dalam puisi-puisi angkatan Pujangga Baru, keadaan seperti itu kiranya masih dapat dipertahankan. Dalam puisi Y.E. Tatengkeng misalnya, juga kita dapati ritma berupa pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian (dua frasa).         

Bagaikan banjir / gulung gemulung
            Bagaikan topan / seruh menderuh
            Demikian rasa / datang semasa
            Mengalir, menimbun / mendesak, mengepung
            Memenuhi sukma / menawan tubuh
...
            (Y.E. Tatengkeng, Perasaan Seni)

Baris atau Larik
Baris atau larik puisi tidak membangun periodisitet atau yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Puisi angkatan Pujangga Baru memiliki keragaman bentuk. Namun, bentuk stanza dan bentuk bebas banyak digunakan oleh penyair pada angkatan ini.
            Puisi ”Menyesal” karya Ali Hasjmi dan ”Perasaan Seni” karya Y.E. Tatengkeng, dan ”Bukan Beta Bijak Berperi” menggunakan bentuk stanza. Kelompok stanza merupakan kelompok larik yang terikat dengan skema rima. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan puisi dibawah:

Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak negeri,
Musti menurut undangan mair.

Sarat saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
....
(Rustam Effendi, Bukan Beta Bijak Berperi)

Lain halnya dengan karya-karya Amir Hamzah, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, karyanya lebih termasuk ke dalam bentuk bebas, penataan lariknya keluar dari aturan konvensional. Hal ini dapat diamati dalam contoh kutipan puisi dibawah:

Jangan tanggung jangan kepalang
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan,
Berperang berjuang.

Mengapa bimbang berhati walang
Berhenti tertegun langkah tertahan
Takut percuma segala kerja
Sangsi berharga apa dipuja?
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)

Karakteristik Isi
            Puisi merupakan ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan berirama (Pradopo, 1987:7). Dalam sebuah puisi tentu terdapat tema, nada dan suasana, perasaan dalam puisi dan amanat puisi yang ingin disampaikan oleh penyair kepada para pembaca.

Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya (Waluyo, 2005:17). Pada Angkatan Pujangga Baru tema yang diangkat oleh penyair sangat beragam seperti tema ketuhanan, pendidikan atau budi pekerti, patriotik dan cinta tanah air.
            Tema ketuhanan sering  kali disebut tema religius filosofis, yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan Tuhan dan menghargai alam seisinya (Waluyo, 2005:18). Dalam puisi “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dapat dilihat contoh puisi yang bertemakan ketuhanan.

Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyerap hidup tertentu tuju.
(Amir Hamzah, Berdiri Aku)

Pada puisi tersebut dapat terlihat bahwa kuasa Tuhan sangat besar dalam menentukan jalan hidup dari seorang anak manusia. Segala sepi yang dirasakan dan pengalaman hidup, serta renungannya dikembalikan untuk merenungkan kuasa Tuhan yang memberikan kepastian dalam hidupnya.
            Tema pendidikan atau budi pekerti juga terdapat pada angkatan Pujangga Baru. Tema pendidikan atau budi pekerti dapat dilihat pada puisi ”Menyesal” karya Ali Hasjmi.

...
Kepada yang muda kuharapkan,
Atur barisan di hari pagi,
Menuju ke arah padang bakti!
(Ali Hasjmi, Menyesal)

Puisi ”Menyesal” karya Ali Hasjmi ini berisikan nasihat agar para remaja mempersiapkan masa depan dengan belajar. Pada bait terakhir tersebut penyair menyampaikan pesan kepada para pemuda agar mempersiapkan masa depan dengan belajar agar dapat berbakti pada nusa dan bangsa dan dapat hidup lebih bermakna.
            Puisi yang memiliki tema patriotisme oleh penyair digunakan untuk mengajak pembaca untuk meneladani orang-orang yang telah rela berkorban demi bangsa dan tanah air. Tema patriotisme dapat dilihat pada puisi karya Sanusi Pane yang berjudul “Teratai”.

...
Akarnya tumbuh di hati dunia
            Daun berseri, laksmi mengarang
            Biarpun ia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
...
(Sanusi Pane, Teratai)

Puisi karya Sanusi Pane yang berjudul "Teratai" merupakan nyanyian pujian yang ditujukan kepada Ki Hajar Dewantara atas jasa beliau kepada bangsa Indonesia. Pada petikan bait tersebut menyatakan bahwa tokoh yang terkenal di seluruh penjuru Indonesia karena pemikiran yang ia miliki. Meskipun tokoh itu telah diabaikan orang, tetapi gagasan-gagasannya yang luhur dan mulia tersebar ke mana-mana.
            Tema cinta tanah air berupa pujaan kepada tanah kelahiran atau negeri tercinta (Waluyo, 2005:23). Puisi yang bertemakan cinta tanah air dapat kita lihat pada puisi karya Muhammad Yamin yang berjudul “Indonesia Tanah Airku”.

Bersatu kita teguh
Bercerai kiat runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tampat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
(Muhammad Yamin, Indonesia Tanah Airku)

Puisi tersebut mengungkapkan keindahan tanah Indonesia yang sangat indah dengan aneka ragam tumbuhan, lautan yang sambung-menyambung, ribuan pulau dan bentukan alam yang beraneka ragam seperti telaga, danau ataupun gunung. Keanekaragaman itu menyebabkan penyair menyatakan bahwa kita harus mencintai tanah air kita secara mendalam. Dengan cinta itu, kita akan senantiasa bersatu padu.

Nada dan Suasana
            Nada merupakan ungkapan sikap penyair terhadap pembaca (Waluyo, 2005:37). Dari sikap penyair tersebut terciptalah suasana puisi. Dalam karya Sutan Takdir Alisyahbana yang berjudul “Jangan Tanggung Jangan Kepalang” mempunyai nada menggurui kepada pembaca, memberi semangat dan berupa nasihat.

Jangan tanggung jangan kepalang
Bercipta mencipta
Bekerja memuja
Berangan mengawan,
Berperang berjuang.
...
(STA, Jangan Tanggung Jangan Kepalang)

Pada bait tersebut penyair memberikan pandangan bahwa dalam mengerjakan suatu hal harus dengan kesungguhan, penuh semangat dan tidak tanggung-tanggung. Jika kita dalam mengerjakan suatu hal dengan penuh semangat dan bersunguh-sungguh pasti hasilnya akan memuaskan.

Perasaan dalam Puisi  
Puisi mengungkapkan perasaan penyair yang mana dapat terlihat bahwa perasaan penyair pada puisi tersebut bisa sedih, bahagia, gembira, menyesal ataupun yang lainnya. Dalam puisi karya Rustam Effendi yang berjudul ”Bukan Beta Bijak Berperi” yang merupakan perasaan dari penyair yang menyesal karena tidak dapat membuat perubahan yang baru pada susunan puisi.

...
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
(Rustam Effendi, Bukan Beta Bijak Berperi)

Pada bait tersebut penyair mengungkapkan perasaannya bahwa ia tidak membuat sesuatu yang baru tetapi hanya berangan-angan suntuk mengadakan pembaharuan.

Amanat
Amanat adalah pesan atau nasihat yang merupakan kesan yang ditangkap oleh pembaca setelah membaca puisi (Waluyo, 2005:40). Dari kutipan puisi karya Y.E Tatengkeng yang berjudul ”Perasaan Seni” kita dapat melihat kekusaan Tuhan dan agar kita selalu merenungkan kekusaan Tuhan.

...
Jika kau datang sekuat raksasa,
Atau kau menjelma secantik juita,
Kusedia hati,
Akan berbakti,
Dalam tubuh Kau berkuasa
Dalam dada Kau bertahta!
(Y. E Tatengkeng, Perasaan Seni)

Pada bait tersebut penyair memberikan pesan kepada pembaca bahwa kita tidak dapat menolak kuasa Tuhan jika Tuhan sudah mempunyai kehendak. Dalam puisi tersebut digambarkan seorang yang mendapat panggilan dari Tuhan untuk menjadi seorang seniman dan Tuhan ikut menentukan jalan hidupnya sebagai seniman, karena itu penyair harus menghargai panggilan itu sebagai kekayaan diri yang harus dikembangkan dan digunakan untuk sesama manusia. Dalam puisi tersebut penyair juga menyampaikan pesan pada pembaca bahwa Tuhan itu sangat berkuasa pada diri manusia seutuhnya dan seluruh dunia ini. 

HASIL ANALISIS PUISI ANGKATAN PUJANGGA BARU DENGAN PENDEKATAN ANALITIK DAN EKSPRESIF
Puisi 1:


Turun Kembali
Kalau aku dalam engkau
Imaji taktil,  kata konkret              
retorika paralelisme

Dan engkau dalam aku
Imaji taktil, kata konotasi

Adakah begini jadinya
Imaji taktil, kata konkret

Aku hamba engkau penghulu?
Imaji visual, metafora,imaji taktil
Kata konotasi

Aku dan engkau berlainan
Imaji visual. Imaji taktil
          kata konotasi

Engkau raja, maha raja
                      Metafora
 kata konotasi, imaji taktil

Cahaya halus tinggi mengawang
Imaji visual, metafora, kata konotasi

Pohon rindang menaung dunia
Imaji visual,       metafora
            Kata konotasi

Di bawah teduh engkau kembangkan
Imaji taktil, metafora, kata konotasi

Aku berhenti memati hari
Imaji taktil, metafora, kata konotasi

Pada bayang engkau mainkan
Imaji taktil, metafora, kata konotasi

Aku melipur meriang hati
Imaji taktil, metafora, kata konotasi

Diterangi cahaya engkau sinarkan
Kata konkret,            imaji visual

Aku menaiki tangga mengawan
Imaji taktil, kata konotasi

Kecapi firdusi melena telinga
Imaji auditif,     metafora,
              kata konotasi

Menyentuh gambuh dalam hatiku
Imaji taktil, kata konotasi

Terlihat ke bawah
Imaji visual, kata konkret

Kandil kemerlap
Imaji visual, metafora, kata konotasi

Melambai cempaka ramai tertawa
Imaji taktil, kata konotasi, personifikasi

Hati duniawi melambung tinggi
Imaji taktil, kata konotasi

Berpaling aku turun kembali
Imaji taktil, kata konkret         



Analisis Puisi Dengan Pendekatan Analitik
Berdasarkan analisis puisi “Turun Kembali” karya Amir Hamzah, dengan menggunakan pendekatan analitik dapat disimpulkan bahwa diksi atau gaya bahasa yang digunakan sebagian besar adalah kata konotasi. Imaji yang digunakan adalah imaji taktil (yang dirasa). Sedangkan majas yang digunakan adalah majas metafora yakni gaya bahasa kias seperti perbandingan dengan melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain (Pradopo, 1987:66). Selain majas metafora terdapat puila majas personifikasi. Sarana retorika yang dipakai adalah paralelisme  yakni mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa (Pradopo, 1987:97).
Dari segi bentuk puisi tersebut tidak memakai rima yang berpola abab tapi berpola bebas, meskipun ada yang memiliki rima abab tapi itu hanya pada bait ketiga. Bentuk larik pada puisi tersebut termasuk bentuk bebas karena tiap bait tidak harus terdiri atas 4 baris. Contohnya pada bait kelima terdiri atas lima baris.
Puisi tersebut terdapat perulangan bunyi vokal (asonansi). Contohnya pada baris pertama bait pertama /kalau aku dalam engkau/ dan baris keempat bait pertama /aku hamba engkau penghulu/. Jika kita perhatikan pada kalimat tersebut terdapat pengulangan huruf vukal u. pengulangan bunyi juga terdapat pada bait kedua baris kedua /engkau raja maha raja/ yang menggunakan pengulangan huruf a. terdapat pula pada bait ketiga baris kedua /aku berhenti memati har/i yang merupakan pengulangan huruf i.
Secara umum puisi ini bertemakan tentang kekuasaan Tuhan yang berbeda jauh dengan manusia. Serta mampu mengajak manusia untuk meningkatkan keimanannya. Suasana puisi ini adalah pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca agar dapat merenungkan kekuasaan Tuhan dan betapa manusia tidak berdaya dihadapan Tuhannya. Dan manusia sampai kapanpun tidak dapat menyamakan dirinya dengan Tuhan apalagi menjadi Tuhan. Amanat yang terkandung pada puisi tersebut menyuruh agar manusia itu tidak harus bersatu dengan Tuhan. Manusia itu seorang hamba, sedangkan Tuhan itu adalah sang pencipta. Manusia harus selalu berlindung di bawah lindungan Tuhan. Manusia dapat merasakan kesenagan hidup karenaa karunia dari Tuhan.

Analisis Puisi dengan Pendekatan Ekspresif
Pada bait pertama diungkapakan bila si aku dalam Tuhan dan Tuhan dalam diri si aku tentunya kedudukannya akan menjadi sama. Tetapi antara keduanya tidak sama karena dia adalah seorang hamba sedangkan Tuhan adalah zat yang manguasai seluruh alam.
Pada bait kedua dikatakan bahwa antara si aku dengan engkau (Tuhan) sangat berlainan. Tuhan diungkapkan sebagai raja, maha raja yang kedudukannya jauh di atas manusia. Tuhan adalah pelindung manusia dan tempat manusia memohon sedangkan manusia adalah seorang hamba.
Pada bait ketiga dikemukakan bahwa keteduhan, ketentraman, kenikmatan yang diberikan Tuhan membuat seorang manusia tidak ingin berpaling dari-Nya. Dan di bawah lindungan Tuhan si aku sangat senang sekali dan suasana hatinya tidak gundah.
Pada bait keempat, atas cahaya yang telah diberikan Tuhan kepadanya dia dapat berkhayal seandainya ia dapat naik ke atas awan serta mendengarkan kecapi firdusi atau dapat dikatakan sebagai do'a yang sangat merdu sekali dan hatinya terasa ingin menari mengikuti alunan do'a tersebut.
Pada bait kelima, saat si aku melihat ke bawah yakni dunia ia melihat lilin dunia yang terang. Si aku masih terfikirkan oleh kehidupan dunia. Sebagai manusia biasa, si aku turun kembali ke dunia untuk merasakan kehidupan dunia yang sangat menyenangkan dan penuh kegairahan bagi dirinya.
Dari analisis tersebut dapat disimpulkan penyair ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa mnusia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Hal tersebut merupakan suatu pendapat dari diri penyair yang menolak anggapan manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Pemakaian kata kias digunakan untuk menunjukkan antara Tuhan dengan manusia berbeda. Tuhan itu mahakuasa sedangkan manusia hamba yang lemah dan selau berlindung pada kekuasaan Tuhan. Untuk menyatakan Tuhan itu mahakuasa, penyair menggunakan kata kias engkau penghulu, engkau raja, maha raja, cahaya halus tinggi mengawang, pohon rindang menaung dunia, di bawah tedu engkau kembangkan, pada baying engkau mainkan, dan kandil kemerlap. Sebaliknya untuk menggambarkan manusia itu makhluk yang lemah penyair menggunakan kata kias aku berhenti memati hari, malipur meriang hati, aku menaiki tangga mengawan, berpaling aku turun ke bawah.



Puisi 2:


Padamu Jua


Habis kikis
Kata konkret, imaji visual, asonansi i-i, aliterasi s-s

Segala cintaku hilang terbang
Kata konotasi, Imaji taktil, majas metafora

Pulang kembali aku pada-Mu
Kata konkret, imaji taktil

Seperti dahulu
Kata konkret, imaji taktil

Engkaulah kandil kemerlap
Kata konkret, Imaji visual, majas metafora

Pelita jendela di malam kemerlap
Kata konkret, Imaji visual, majas metafora

Melambai pulang perlahan
Kata konotasi, Imaji visual, majas personifikasi

Sabar, setia selalu
 kata konkret, Imaji taktil

Satu kekasihku
Kata konkret, Imaji visual

Aku manusia
Kata konkret, Imaji visual

Rindu rasa
Kata konotasi,
Imaji visual,                 aliterasi r-r
asonansi a-a                           
Rindu rupa
Kata konotasi, Imaji visual

Di mana Engkau
Kata konkret, Imaji taktil

Rupa tiada
Kata konkret, Imaji visual

Suara sayup
Kata konkret, Imaji auditif

Hanya kata merangkai hati
Kata konotasi, Imaji auditif

Engkau cemburu
kata konkret, Imaji taktil

Engkau ganas
kata konkret, Imaji visual

Mangsa aku dalam cakarmu
Kata konkret, Imaji visual

Bertukar tangkap dengan lepas
Kata konkret, Imaji visual

Nanar aku, gila sasar
Kata konotasi, Imaji visual

Sayang berulang pada-Mu jua
Kata konotasi, Imaji taktil

Engkau pelik menarik ingin
Kata konotasi, Imaji visual, majas simile

Serupa dara di balik tirai
Kata konotasi, Imaji visual

Kasihmu sunyi
Kata konotasi, Imaji auditif

Menunggu seorang diri
Kata konkret, Imaji taktil

Mati hari-bukan kawanku
Kata konotasi, imaji taktil
(Nyanyian Sunyi, 1937)



Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Analitik
Berdasarkan puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah dapat disimpulkan bahwa diksi yang digunakan adalah kata konkret dan kata konotasi. Sedangkan imaji yang banyak digunakan adalah imaji visual dan taktil. Majas yang  digunakan adalah majas metafora, personifikasi, dan simile.
Dari segi bentuk, puisi tersebut rimanya berpola bebas tetapi ada pula yang memiliki pola teratur. Pada bait pertama dan kedua rimanya berpola bebas, sedangkan puisi yang berpola teratur terdapat pada bait kelima yaiti rima abab. Bentuk larik dalam puisi tersebut termasuk bentuk terikat karena tiap baitnya hanya terdiri dari empat baris.
Perulangan bunyi konsonan (aliterasi) terdapat pada bait pertama, baris pertama /habis kikis/ yaitu perulangan konsonan s-s pada kata tersebut. Aliterasi dan asonansi (perulangan bunyi vokal) terdapat pada paragraf ketiga baris ketiga dan keempat /rindu rasa, rindu rupa/ dengan perulangan konsonan r-r dan perulangan vokal a-a.
Secara umum puisi ini bertemakan kerinduan terhadap kekasihnya. Pada bait ketujuh penyair pasrah terhadap keadaannya yang jauh dengan kekasihnya. Ia harus menerima cinta dalam kesepian dan kesendirian seperti yang diungkapkan pada baris kedua serta tidak mempunyai waktu untuk berjumpa dengannya.
Kekasih yang dimaksudkan di sini bisa berarti kekasih dalam arti sesungguhnya, namun dapat pula mengacu kepada Tuhan yang sangat dirindukan penyair. Amanat yang yang ingin disampaikan oleh penyair adalah penyair menyampaikan kepada pembaca saat kita melupakan Tuhan ataupun memisahkan diri dengan-Nya, dapat membuat Tuhan murka, karena kemurkaan Tuhan sangat besar pada orang yang berpaling darinya. Tanpa disadari, manusia tidak dapat lepas dari Tuhan dan suatu saat manusia akn kembali pada-Nya.

Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Ekspresif
Pada bait pertama baris pertama dan kedua saling berkaitan. Dalam baris pertama dikatakan bahwa ada sesuatu yang telah hilang, /habis, kikis/. Kemudian pada baris kedua baru dijelaskan bahwa sesuatu yang hilang itu adalah cintanya /habis, kikis, dan hilang terbang/. Kemudian di baris ketiga dan keempat penyair mengungkapkan walau dia telah berpisah dengan kekasihnya itu, hatinya selalu kembali kepadanya /pulang kembali aku pada-Mu/ seperti dahulu/.
Pada bait kedua, baris pertama dan kedua ditunjukkan bahwa kekasihnya itu sangat berharga bahkan diumpamakan lampu kecil dimalam gelap /kandil kemerlap pelita jendela dimalam gelap/. Di baris ketiga diungkapkan bahwa meski sudah berpisah, kekasihnya selalu memanggil-manggil agar pulang dan dibaris keempat dijelaskan bahwa kekasihnya selalu sabar dan setia menanti kepulangannya.
Pada bait ketiga penyair ingin mengungkapkan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Di baris ketiga penyair menambahkan bahwa ia tidak kuat jika hanya membayangkan kekasihnya dalam angan-angan dan di baris keempat penyair menyampaikan keinginannya untuk berjumpa dengan kekasihnya, menatap wajahnya, dan bersalaman dengannya.
Pada bait keempat penyair mulai penasaran karena tidak pernah bertemu dengan kekasihnya. Ia mempertanyakan keberadaan kekasihnya di baris pertama /dimana engkau, rupa tiada, suara sayup/. Penyair hanya bisa mendengar suara kekasihnya secara sayup-sayup. Hal ini membuat hatinya sedih /hanya kata merangkai hati/.
Pada bait kelima, penyair mengatakan kekasihnya cemburu dan ganas pada baris pertama dan kedua karena dianggap hanya mempermainkannya dengan kejam yang diungkapkannya dalam bait ketiga /mangsa aku dalam cakarmu/
dan tidak mempunyai belas kasihan yang diungkapkan dalam baris keempat.
Pada bait keenam baris pertama, penyair mengatakan bahwa dia merasa patah arang, bingung dan penasaran /nanar, gila sasar/, tetapi cintanya selalu kembali kepada sang kekasih seperti yang dijelaskan dalam baris kedua dan di baris ketiga dan keempat penyair mengungkapkan bahwa kekasihnya itu mempunyai kekuatan gaib yang memikat dirinya.
Pada bait ketujuh penyair pasrah terhadap keadaannya yang jauh dengan kekasihnya. Ia harus menerima cinta dalam kesepian dan kesendirian seperti yang diungkapkan pada baris kedua serta tidak mempunyai waktu untuk berjumpa dengannya.
Kekasih yang dimaksudkan di sini bisa berarti kekasih dalam arti sesungguhnya, namun dapat pula mengacu kepada Tuhan yang sangat dirindukan penyair.



Puisi 3:
Anakku

Engkau datang menghintai hidup
    Imaji visual, kata konotasi

Engkau datang menunjukkan muka
    Imaji visual, kata konotasi

Tapi sekejap matamu kau tutup,
Imaji visual, kata konkret

Melihat terang anakda tak suka
Imaji visual          imaji taktil
Kata konotasi      kata konkret

Mulut kecil tiada kau buka,
Kata konkret, imaji visual


Tangis teriakmu takkkan diperdengarkan
Kata konkret, imaji auditif

Alamat hidup wartakan suka,
Kata konotasi, imajii taktil

Kau diam, anakku, kami kau tinggalkan.
Kata konkret                kata konkret
Imaji auditif                 imaji taktil

Sedikit pun matamu tak mengerling,
Kata konkret, imaji visual

Memandang ibumu sakit berguling
Kata konkret,               kata konotasi
imaji visual                  majas hiperbola

Air matamu tak bercucuran,
Kata konkret, imaji visual

Tinggalkan ibumu tak berpenghiburan
Kata konkret, aliterasi, imaji taktil

Kau diam, diam, kekasihku
Kata konkret, imaji auditif

Tak kau katakan barang pesanan,
Kata konkret       kata konotasi
Imaji auditif                

Akan penghibur duka di dadaku,
Kata konkret, imaji taktil

Kekasihku, anakku, mengapa kian?
Kata konkret, imaji taktil

Sebagai anak melalui sedikit,
Kata konkret    kata konotasi

Akan rumah kami berdua,
Kata konkret, imaji visual

Tak anak tak insyaf sakit,
Kata konkret, imaji taktil

Yang diderita orang tua.
Kata konkret, imaji taktil

Tangan kecil lemah tergantung,
Kata konkret, imaji visual

Tak diangkat memeluk ibumu,
Kata konkret, imaji visual
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Kata konotasi, majas personifikasi

Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
Kata konkret, imaji taktil

Selekas anaknda datang,
Kata konkret, imaji visual

Selekas anaknda pulang.
 Kata konotasi, imaji taktil

Tinggalkan ibu sakit terlintang,
Kata konkret, imaji taktil

Tinggalkan bapa sakit mengenang.
Kata konkret, imaji taktil

Selamat datang anaknda kami,
Kata konkret, imaji visual, asonansi

Selamat jalan kekasih hati.
Kata konkret, imaji taktil, asonansi

Anak kami Tuhan berikan,
Kata konkret

Anak kami Tuhan panggilkan,
Kata konkret

Hati kami Tuhan hiburkan,
Kata konkret, imaji taktil

Nama Tuhan kami pujikan.
Kata konkret, imaji visual
                                                            (Rindu Dendam, 1934)





Analisis Puisi dengan Pendekatan Analitik
Puisi “Anakku” karya Y.E Tatengkeng diatas didominasi dengan kata konkret. Penyair mengungkapkan kesedihannya dengan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pembacanya. Hal ini bisa dilihat di setiap baris puisi Anakku diatas. Selain itu puisi diatas didominasi oleh imaji visual dan imaji taktil. Penyair jarang menggunakan bahasa kias dalam menuliskan puisinya. Kesedihan yang dialami oleh penyair diungkapkan melalui kata-kata yang sederhana.
Puisi ”Anakku” karya Y.E Tatengkeng berbentuk stanza, yang terdiri atas kelompok larik dan terikat oleh skema rima di setiap akhir barisnya. Bait pertama sampai dengan bait keenam berbentuk kuatrin (4 baris), sedangkan bait ketujuh sampai bait kesembilan berbentuk distichon (2 baris). Rima akhir pada puisi tersebut  merupakan rima tetap. Pada bait pertama, kedua, keempat, kelima dan keenam berima akhir abab. Bait ketiga berima akhir aaaa, bait ketujuh, kedelapan, dan kesembilan berima akhir aa. Dan pada bait yang terakhir berima aaaa.

Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Ekspresif
Puisi ”Anakku” karya Y.E Tatengkeng bertemakan tentang kesedihan yang dialami penyair akibat ditinggal oleh anaknya yang baru lahir. Kesedihan dan rasa kehilangan yang mendalam tercermin di setiap bait puisi tersebut. Namun penyair tetap berpasrah kepada Tuhan dengan musibah yang ia alami karena ia tahu bahwa semua hal diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali pula kepada Tuhan.
Pada bait pertama keseluruhan baris menggunakan kata konkret dan imaji visual. Baris pertama dan kedua, penyair mengisahkan tentang kelahiran anaknya /engkau datang menghintai hidup/ engkau datang menunjukkan muka/. Namun pada baris kedua dijelaskan bahwa anak yang baru saja dilahirkan menutup mata /tapi sekejap matamu kau tutup/. Penyair menggambarkan anaknya seolah-olah enggan membuka mata untuk melihat dunia /melihat terang anaknda tak suka/. Penyair dan istrinya ingin mendengar jerit dan tangis anaknya yang baru lahir namun hal itu tidak pernah bisa diwujudkan oleh sang anak yang baru dilahirkan kerena Tuhan terlebih dahulu memanggilnya. Hal ini terlihat dalam bait ketiga /sedikitpun matamu tak mengerling/ memandang ibumu sakit berguling/ air matamu tak bercucuran/ tinggalkan ibumu tak berpenghiburan/.
Hal yang sama diungkapkan penyair pada bait kedua sampai dengan bait keenam tentang kematian anaknya. Pada bait tersebut penyair mengungkapakn kesedihan dan penderitaan yang ia alami karena ditinggal oleh anaknya yang baru lahir.
Pada bait ketujuh dan bait kedelapan dilukiskan peristiwa itu dalam larik /selekas anaknda datang/ selekas anaknda pulang/. Duka cita penyair dan istrinya dilikiskan dengan /tinggalkan ibu sakit terlintang/ tinggalkan bapa sakit mengenang/.
Pada bait kesembilan penyair mulai sadar bahwa ia harus penuh kerelaan menerima dan melepas anaknya /selamat datang anaknda kami/ selamat jalan kekasih hati/. Sebagai orang yang bertakwa pada Tuhan, penyair menerima dengan ikhlas kematian anaknya karena ia menyadari bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umat-Nya. Hal ini dapat kita lihat pada bait terakhir /anak kami Tuhan berikan/ anak kami Tuhan panggilkan/ hati kami Tuhan hiburkan/ nama Tuhan kami pujikan/.
Amanat yang terkandung dalam puisi ini adalah kita harus berpasrah pada takdir yang diberikan oleh Tuhan. Karena segala sesuatu yang Tuhan berikan pasti akan kembali lagi pada-Nya. Oleh karena itu, kita harus ikhlas menerima semua cobaan yang diberikan oleh Tuhan.



Puisi 4:
Dibawa Gelombang
Alun membawa bidukku perlahan
Imaji taktil, kata konotasi, personifikasi

Dalam kesunyian malam waktu
Imaji taktil, kata konkret

Tidak berpawang, tidak berkawan
Imaji visual, kata konkret

Entah kemana aku tak tahu
Imaji taktil, kata konkret

Jauh di atas bintang kemilau
Imaji taktil, kata konotasi

Seperti sudah berabad-abad
Imaji taktil, kata konotasi, personifikasi

Dengan damai mereka meninjau
Imaji visual, kata konotasi

Kehidupan bumi yang kecil amat
Imaji visual, kata konkret

Aku bernyanyi dengan suara
Imaji auditif, kata konkret

Seperti bisikan angin di daun
Imaji taktil, kata konotasi, simile

Suaraku hilang dalam udara
Imaji auditif, kata konotasi

Dalam laut yang beralun-alun
Imaji taktil, kata konotasi, personifikasi

Alun membawa bidukku perlahan
Imaji taktil, kata konotasi, personifikasi

Dalam kesunyian malam waktu
Imaji taktil, kata konkret

Tidak berpawang, tidak berkawan
Imaji visual, kata konkret

Entah kemana aku tak tahu
Imaji taktil, kata konkret



Analisis dengan Pendekatan Analitik
Berdasarkan analisis puisi ”Dibawa Gelombang” karya Sanusi Pane, dengan pendekatan analitik dapat disimpulkan bahwa diksi atau gaya bahasa yang digunakan sebagian besar adalah kata konotasi. Pada baris pertama terdapat penggunaan majas personifikasi, yakni pada /alun membawa bidukku perlahan/ yang bermakna kias. Kata ”alun” lazimnya digunakan pada sesuatu yang bisa didengar. Bait ketiga juga menggunakan kata kias pada baris pertama sampai keempat. Pada kalimat /aku bernyanyi dengan suara seperti bisikan angin di daun/ menggunakan majas simile karena terdapat kata pembanding yaitu ”seperti”. Imaji yang dominan digunakan adalah imaji taktil (yang dirasa).
Rima pada puisi ”Dibawa Gelombang” termasuk dalam rima terikat dari sebagian kecil puisi-puisi pada angkatan Pujangga Baru. Puisi ini berima abab karena baris pertama dan ketiga memiliki persamaan bunyi di akhir larik puisi. Begitu pula dengan baris kedua dan keempat.
Puisi ”Dibawa Gelombang” mempunyai unsur asonansi (perulangan bunyi vokal) yang lebih dominan daripada aliterasi (perulangan bunyi konsonan). Dalam hal versifikasi, puisi Sanusi Pane ini termasuk dalam puisi yang memiliki bentuk stanza karena mempunyai kelompok larik yang masih terikat dengan skema rima.
Puisi ”Dibawa Gelombang” menggambarkan tentang kesendirian sang penyair dalam mencapai cita-citanya. Dari sana pembaca dapat mengambil amanat bahwa dalam menjalani kehidupan sebenarnya kita tidak sendirian, ada Tuhan yang akan selalu menjadi pembimbing setiap manusia dalam menjalani hidupnya.


Analisis dengan Pendekatan Ekspresif
            Pada bait pertama penyair menceritakan tentang kesendiriannya dalam mengejar tujuan hidup atau cita-cita. Penyair merasa tidak memiliki kawan /tidak berpawang, tidak berkawan/ bahkan penyair tidak tahu harus menuju kemana.
            Pada bait ketiga, penyair merasa dibimbing oleh Tuhan. Karena itu pada bait ketiga penyair merasa menemukan jalan yang ditunjukkan oleh Tuhannya dan merasa memperoleh semangat baru untuk hidup dengan petunjuk dari Tuhannya.
            Pada bait keempat penyair mulai menyadari bahwa walaupun ia sendirian secara fisik tetapi Tuhan senantiasa menuntunnya kemanapun dan dimanapun ia berada.

PENUTUP
Setelah melakukan apresiasi terhadap puisi angkatan Pujangga Baru dengan mengunakan pendekatan analitik dan emotif dapat disimpulkan bahwa puisi angkatan Pujangga Baru sudah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang bisa diamati dari puisi angkatan Pujangga Baru ini adalah bentuk atau struktur puisinya mengikuti bentuk atau srtuktur puisi baru, seperti soneta, distichon, tersina, oktaf, dan sebagainya. Bentuk atau struktur larik-lariknya adalah simetris. Apabila diamati dari karakteristik bahasa, puisi angkatan Pujangga Baru banyak menggunakan kata konkret. Selain itu imaji visual dan taktil mendominasi puisi pada angkatan ini. Oleh karena itu pendekatan ekspresif sangat cocok digunakan untuk menganalisis puisi angkatan ini.
Dari hasil analisis yang dilakukan oleh kelompok, puisi angkatan Pujangga Baru bertemakan tentang ketuhanan. Puisi yang diciptakan oleh penyair berisikan tentang kesedihan yang mereka alami. Dengan membaca puisi angkatan Pujangga Baru pembaca dapat merenungi bahwa kita sebagai makhluk Tuhan hanya bisa berpasrah dengan semua keputusan Tuhan. Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali pula pada-Nya.

DAFTAR RUJUKAN
Dermawan, Taufik dkk. 1996. Teori Sastra. IKIP Malang: Malang.
Badrun, Ahmad. 1989. Teori Puisi. Jakarta: Dirjen Dikti.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, Herman J. 2005.  Apresiasi Puisi. Jakarta: Grame



2 komentar: